Dalam beberapa sesi parenting yang saya isi, biasanya saya memulai dengan memberikan “kuis”. Kuisnya sih sederhana, saya berikan pernyataan dan peserta diminta memilih apakah jawabannya benar atau salah. Selain berfungsi sebagai ice breaker, melalui “kuis sederhana” ini saya bisa mengetahui pengetahuan serta “value” peserta mengenai materi yang akan saya bawakan. Salah satu pertanyaan yang sering dijawab salah oleh para peserta adalah pertanyaan saat anak kita “bermasalah” atau melakukan perilaku yang “buruk”, kita harus menerimanya. Rata-rata peserta menjawab “salah” …..
Saya percaya dan meyakini, bahwa orangtua terutama ibu adalah “perwujudan” sifat Rahim-nya Allah. Salah satu penafsiran “Rahim” dalam tafsir Al Misbah adalah, rahim itu adalah kasih sayang Allah untuk seluruh umat manusia. Mau muslim atau bukan, mau baik atau jahat…. Di dalam diri seorang ibu ada yang namanya “rahim”, tempat ia mengandung anaknya selama sembilan bulan. Jadi, seorang ibu haruslah memiliki sifat rahim; yaitu menyayangi anaknya; mau anaknya melakukan perbuatan baik atau buruk, berprestasi atau tidak, “bermasalah” atau tidak……dalam psikologi, itulah namanya unconditional love. Anak tak perlu memenuhi persyaratan apapun untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang ibunya.
Salah satu bentuk dasar dari mencintai dan menyayangi adalah menerima apapun kondisi anak kita. Baik kondisi yang baik maupun yang buruk. Secara lebih konkrit, saat anak kita mengalami kondisi perkembangan yang kurang ideal: misalnya mengalami gangguan perkembangan tertentu, yang pertama kali yang harus kita lakukan adalah menerima kondisi itu. Misalnya anak kita mengalami mental retardation sehingga perilakunya jauuuuh dibanding usianya, anak kita mengalami autism, speech delay, attention deficit disorder, kesulitan belajar, dll dll. Demikian pula jika anak kita melakukan sesuatu yang buruk; misalnya kecanduan nonton pornografi, agresif sehingga membully temannya, melawan, sampai hal-hal sederhana seperti malas belajar, tidak disiplin, dll.
Kenapa menerima ini menjadi hal yang sangat penting? Karena sikap ini akan menentukan secara signifikan langkah apa yang selanjutnya dilakukan oleh si ibu, dan apa efek jangka panjangnya pada anak. Ibu yang “tidak menerima” kondisi anaknya, output perilakunya ada dua : (1) dia akan menyalahkan lingkungan, atau (2) dia akan menyalahkan anaknya. Misalnya seorang ibu punya anak hiperaktif. Di tempat umum, anak tersebut “mengganggu” orang lain. Jadilah orang lain komplain terhadap si ibu. Jika si ibu tidak menerima kondisi anaknya, yang mungkin dilakukan si ibu adalah tidak mau mendengarkan dan menyalahkan orang yang complain terhadapnya, atau memarahi anaknya yang sudah “mengganggu” orang lain. Kalau seorang ibu tak mau menerima bahwa anaknya mencuri uang teman sekelasnya, bisa jadi sikap ibu adalah mengatakan itu salah sekolah atau teman anaknya, atau memarahi anaknya.
Saya tidak mau bicara teori mengenai sikap “menerima” seorang ibu ini. Saya ingin cerita tentang penghayatan saya, karena saya mengalaminya.
Berbeda dengan kakaknya yang perkembangannya smooth dan “baik-baik saja”, anak kedua saya Umar yang sekarang sudah kelas dua SD, kondisinya membuat saya harus menghayati dan belajar mengenai makna unconditional love. Ya, hanya mengenai Umarlah saya sering menangis. Beragam macam tangis. Ia punya kelebihan yang amat menonjol sehingga beberapa kali saya menangis haru atau bangga, di sisi lain dia pun punya kekurangan yang menonjol yang membuat saya menangis sedih, khawatir atau kesal karena perilakunya.
Salah satu kondisi yang harus saya terima dari dia adalah kecenderungan perilaku “ADD”-attention deficit disorder- atau bahasa indonesianya “gangguan pemusatan perhatian”. Memang sangat ringan. Bahkan untuk akademik tidak mengganggu. Alhamdulillahnya dia dikarunia kecerdasan sehingga dengan masalahnya ini, dia tetap mendapatkan nilai-nilai yang menonjol. Hanya yang terasa cukup siginifikan adalah dalam perilakunya dan muncul secara nyata waktu dia mulai masuk SD. Kehilangan buku dan alat tulis di sekolah seriiiing sekali terjadi. Ketinggalan alat tulis dan buku untuk dibawa ke sekolah pun bukan sekali-dua kali. Kehilangan jadwal pelajaran, jadwal ujian dan informasi penting lainnya dari sekolah pun tak jarang terjadi. Di semester satu kelas satu, yang saya lakukan adalah …. “menasehati”, “memberi konsekuensi” (gak beliin lagi dia alat tulis untuk ganti alat tulisnya yang ilang)….”mengomeli” …… yang semuanya itu, ternyata tak berhasil menyelesaikan masalah. Saya tetap kesal, perilaku Umar tak berubah. Nangis karena kehilangan barang atau gak tau besok mau ujian apa, sering terjadi.
Sampai suatu saat, saya ketemu dengan seorang anak. Remaja. Dia kecanduan main game. Ada kata-kata anak itu yang begitu “menusuk” buat saya : “Saya pengen mama bantu saya. Nyita komputer saya kek, apa kek…gak cuman nasehatin atau marahin. Saya tau banget apa yang saya lakukan salah, sia-sia, gak berguna…saya juga pengen berhenti….tapi saya gak bisa sendiri…. saya perlu dibantu….saya gak mau ditinggalin berjuang sendirian” .
Ya Allah…..itulah yang selama ini saya lakukan pada Umarku. Saya “meninggalkannya berjuang sendirian”. Saya hanya menuntutnya…tak mau peduli kesulitan yang ia alami. Ya, sebagai psikolog harusnya saya paham betul bahwa perilakunya selama ini bukan karena dia “lalai”, “tidak bertanggungjawab”, tapi dia mengalami situasi yang harus dibantu !
Saya juga jadi ingat….dua poin dalam kuesioner yang bisa digunakan dalam pemeriksaan psikologi pada siswa adalah poin pertanyaan: (1) a. apa mata pelajaran yang kamu rasakan sulit? b. bagaimana reaksi orangtuamu? (2) a. pada mata pelajaran apa kamu sering mendapat nilai jelek? b. bagaimana reaksi orangtuamu? Dari ratusan data yang pernah saya baca, hampir seluruh jawaban untuk pertanyaan 1b adalah “menasehati”, dan hampir seluruh jawaban untuk pertanyaan 2b adalah “memarahi”.
Tidak !!! saat anak kita mengalami masalah, dia tidak butuh dinasehati, apalagi dijudge, diomelin, dihukum, dimarahi……yang dia butuhkan adalah diterima, dipahami, ditemani dan dibantu untuk memecahkan masalahnya.
Jangan-jangan, saat kita hanya menuntut dan tak mau “terjun” membantu anak kita mengatasi masalahnya, itu karena kita juga gak tau gimana cara mengatasinya !!! Sebenarnya, kita gak perlu jadi “super” dan “bisa” memecahkan masalah anak kita sendirian….tapi sikap menerima, memahami, menemani dan membantu, akan mengarahkan kita pada upaya mencari bantuan dari pihak lain…jadi anak juga belajar dan punya model untuk melakukan langkha-langkah pemecahan masalah…
Sejak saat itu sikap saya pada Umar berubah. Memang berproses. Saya harus berterima kasih banyak pada Mas, yang banyak membantu saya untuk memahami kondisi Umar (mungkin karena mas memiliki kecenderungan yang sama dengan Umar haha….). Saya mengajarkannya untuk melakukan tindakan antisipasi untuk menanggulangi masalahnya. Setiap kali dia mendapat surat penting, entah itu jadwal uts, jadwal pelajaran, dll saya ajarkan dia untuk menscannya langsung. Jadi, saat hilang dia masih punya kopiannya di komputer. Saya ajarkan dan ingatkan terus untuk menyimpan semua keperluan sekolahnya di meja dan lemari belajarnya. Saya belikan styrofoam buat dia menempelkan seluruh lembaran penting yang dia dapat dari sekolah. Dan dengan cara yang amat sederhana ini, seluruh permasalahan mengenai kehilangan informasi penting dari sekolah, terselesaikan ! Lupa bikin PR yang dulu sering terjadi? sudah tak pernah terjadi lagi dengan aturan membereskan buku dan mengecek pelajaran untuk pelajaran besok siang hari sepulang sekolah, sebagai syarat dia boleh main.
Tentunya masih ada stau-dua insiden. Minggu lalu dia menangis pagi-pagi sambil mencari buku PKNnya hilang. Ada yang berubah dalam diri saya. Dulu, kalau dia nangis gitu, saya akan mengomeli dia….tapi minggu lalu itu, saya tatap wajahnya….saya rasakan kepanikannya dan ketakutannya…ya, saya tahu….dia menangis bukan karena tidak bertanggungjawab seperti yang sebelumnya suka saya bilang ke dia. Dia menangis karena bingung bagaimana dia belajar di sekolah nanti…dia menangis karena menyesal tidak disiplin menyimpan bukunya. Dia menangis, perlu dibantu. Akhirnya saya tenangkan dia, menawarkan mengontak gurunya untuk menjelaskan, dan meminta dia meminjam buku temannya untuk difotokopi kalau sampai besok buku itu dicari tidak ketemu.
Malam ini, dia minta saya membantunya menghafal perkalian. Gurunya bilang yang belum lulus test gak boleh ikut fieldtrip lusa. Fieldtripnya ke waterboom, yang dia suka banget. Senin dan Selasa dia sudah ditest dan gagal. Saya pandangi wajah kusut dan cemasnya. Saya carikan link di youtube yang bisa memudahkan menghafal perkalian itu. Saya ajak dia liat yutub itu, saya test dia…dan ketika jawabannya selalu salah serta membuat saya secara otomatis ingin marah, saya coba ingatkan diri saya….dia perlu dibantu. Saya minta dia tidur dan janji membangunkannya jam empat untuk mulai menghafal lagi. Setengah jam lalu dia terbangun, mengambil kertas PRnya yaitu menuliskan perkalian itu dalam 3 lembar HVS yang belum dia selesaikan….
Saya selalu menghayati bahwa, setiap anak yang Allah anugerahkan pada kita, mengajarkan sesuatu pada kita. Dan dari Umar-ku, saya belajar bagaimana mencintainya dengan tulus, dan selalu mengatakan “you are not alone, i’m here with you…”
Mar 26, 2014 @ 12:24:24
Dulu selalu dpt perlakuan ky gt, dmarahin, dnasehatin. Skrg udh ad perubahan sdikit dr Ibu Sy, Sy skrg sdg brmslh dlm kuliah, Ibu Sy mau membantu dan mau cb ktmu dgn doswal Sy, tp mngkn krn Sy “terbiasa” dgn cr sblmny, Sy sulit mempercayai Ibu Sy utk membantu Sy scr lgsg, krn Sy mmg trbiasa dilepas sendiri.
Mar 26, 2014 @ 18:42:46
Subhanallah, saya sllu suka dgn tulisan2 mba fitri..bljar lbh bnyak psti’a..
Mar 27, 2014 @ 09:45:04
Subhanallah… Bagus sekali sahabatku, sampai menangis bacanya… Akhir2 ini dede sering banget kehilangan kendali dan memarahi alifa karena berbagai hal. Menerima dan membantu kemudian dilakukan (terkadang), tapi selalu didahului dengan terlebih dahulu memarahi. Terimakasih banyak ya fit.. Subhanallah…
Apr 10, 2014 @ 14:26:19
Tulisan yang indaaaah,……… dari seorang Ibu yang sedang berusaha untuk tidak bersikap transaksional dan bersyarat dalam mengasuh putra-putrinya, love youuuuu Fit…….. 🙂