Itulah sebabnya, kita tak akan pernah bisa membalas sang surya …..

Beberapa hari lalu, saya bertemu seorang “senior” yang kebetulan membaca tulisan saya https://fitriariyanti.wordpress.com/2014/04/22/nyala-api-kehidupanmu-nikmatilah. Sebagai seorang ibu yang  telah berada di tahap ke-6 dalam perkembangan kehidupan keluarganya, dimana beliau akan segera me”launching” putri bungsunya, beliau menyampaikan bahwa …. “keriweuhan” di fase 3 dan 4, itu jauuuuh lebih “mudah” dibanding “mencari dan menyalakan kembali api kehidupan” kita di masa ketika tak ada anak-anak yang “tergantung” pada kita.

Saya terus terang merasa sangat beruntung bisa beraktifitas bersama banyak rekan-rekan, senior dan junior dari beragam tahap perkembangan kehidupan. Amat banyak pelajaran dan penghayatan yang saya dapat terutama mengenai hubungan orangtua-anak. Membaca puluhan kali buku “life span development” ga ada apa-apanya dibanding mendengarkan pengalaman dan perasaan mereka…

Selama ini, fokus saya adalah hubungan antara saya sebagai ibu, dengan anak-anak saya. “Bergaul” dengan para senior saya, melebarkan cakrawala penghayatan saya, pada hubungan ibu-anak, dimana saya sebagai anak.

Jujur saja, dalam tahap perkembangan kita sekarang, kita cenderung jauuuuh lebih fokus pada keluarga kita sekarang. Ibu-ayah kita, mungkin jadi prioritas keberapaaaa secara psikologis. Ruangnya di hati kita, keciiiil sekali. Rutinitas keseharian dengan anak-anak kita membuat kita seakan “melupakan” mereka. Mungkin secara psikologis kita hanya menghadirkan mereka setahun sekali, saat lebaran. Atau 2 tahun sekali, plus saat mereka ultah. Atau saat mereka sakit. Di hari-hari biasa… Mungkin kita tak merasakan kehadiran mereka, dan oleh karenanya tak memberi perhatian.

Saya dulu pernah terkaget-kaget, ketika mendengarkan  senior yang sedang mengobrol dan bercurhat ria tentang bagaimana “beratnya” rasa ketika mereka harus “melepas” anak-anak mereka pada orang lain. Saya gak pernah kebayang…dan karena mamah saya bukan orang yang biasa mengungkapkan emosinya pada saya, sangat mungkin mamah saya juga mengalami hal serupa, namun tak terungkapkan.

Ya, saat prosesi pernikahan kita sungkem pada ortu, kita saling menangis, seringkali kita merasakan sedih yang amat sangat. Rasanya, memori-meori indah selama puluhan tahun bersama orangtua, hadir kembali di moment itu. Sekarang saya tahu… bahwa kesedihan itu, tak ada apa-apanya dibandingkan kesedihan orangtua kita. Kenapa? Karena kita akan menyongsong kehidupan baru bersama orang yang kita cintai….sedangkan orangtua kita, ibu kita…mereka akan melepas orang yang mereka cintai, seseorang yang mereka “miliki”, seseorang yang menjadi “pusat dunia” mereka selama puluhan tahun. *berkaca-kaca*

Minggu lalu, di pengajian yang saya ikuti pak ustadz menceritakan satu kisah. Tentang seorang pemuda Yaman bernama Uwais Al Qorni. Saya pernah mendengar kisah ini waktu di tanah suci. Dia adalah seorang yang tak diketahui di kalangan manusia namun amat terkenal di kalangan malaikat. Kenapa? Karena pengorbanan pada ibunya. Ia menggendong ibunya yang tuli, buta dan lumpuh dari Yaman ke Mekah untuk berhaji. Pak Ustadz bercerita kalau Uwais Al-Qoniy bertanya pada Rasulullah, apakah apa yg ia lakukan bisa membalas jasda ibunya padanya? Rasulullah menjawab tidak. “Andaikan seluruh tubuh ibumu bernanah dan kau jilati seluruhnya, belum bisa membalas jasanya” begitu yang disampaika pak ustadz.

love motherDulu, setiap kali ada bahasan tentang orangtua, saya selalu membayangkan pengorbanan mereka yang sifatnya kasat mata. Semakin lemah dan bertambah lemahnya saat hamil, meregang nyawa saat melahirkan, jatuh bangun menyusui, kelelahan begadang menemani saat sakit…kini, saya menghayati satu aspek pengorbanan mereka, yaitu pengorbanan psikologis. Rasa cemas, khawatir, sedih, takut, campur aduk perasaan negatif mereka, mulai dari kita masih dari rahim, sampai mereka harus melepaskan kita….Dan tak hanya sampai itu! mereka pun harsu “belajar” bagaimana menjadi mertua, menjadi nenek….yang kadang…pengalaman belajar mereka tak selalu menyenangkan.

Ya, ya…kita memang tak akan pernah bisa membalas jasa mereka. Apalagi jasa ibu, yang diisyaratkan oleh Rasul, tiga kali  lipat dari ayah.

Saya jadi malu…kadang saya menilai mama saya “lebay” kalau sering nelpon bilang kangen cucu-cucu, padahal baru minggu kemarin berkunjung. Saya juga malu karena dengan alasan kesibukan rutinitas gak rutin telpon mertua setiap minggu.

Ya, kita memang tak bisa membalas jasa ibu-ayah kita. Namun sedikit  membahagiakan meraka, masih bisa kita lakukan. Dengan menelpon, berkunjung, dan pak ustadz bilang, mendoakan ba’da sholat itu WAJIB ! Hukumnya. Apalagi jika ortu kita sudah wafat. Doa adalah satu-satunya cara “memeluknya”. Melapangkan dan menerangi kuburnya.

Dan yang lebih penting lagi, ingetin pula suami kita. Jangan sampai justru kita jadi penghgalang cinta suami kita sama ibu mereka. Dorong suami untuk prioritaskan ibunya dibanding kita. Kalau terasa berat, bayangkanlah bagaimana beratnya perasaan mertua, saat anak laki-laki yang mereka urus sejak kecil, mereka sekolahkan sampai sarjana, mereka khawatirkan, kini kita “rebut cintanya”. Kalau kata mamah dedeh mah gini : “eh, istri…elu tuh ketemu sama suami dia udah ganteng, udah keren, udah sarjana. Nah emaknya…die yang ngurus dari suami kita gak bisa apa-apa sampai jadi keren pas ketemu kita “

Robbighfirli wali walidayya warhamhumma kama robbayani soghiro.
Ya Tuhan kami ampunilah kedua orangtuaku dan kasihanilah keduanya sebagaimana mereka telah mengasihi dan mendidikku di waktu kecil.{QS: AL ISRO’ 24}

Kasih ibu….Kepada beta….Tak terhingga sepanjang masa…. Hanya memberi …… tak harap kembali ……

Bagai sang surya menyinari dunia….

Mendengar(kan)….

“Ih, de Azzam kayak anak kampung”

“Bu, hari ini Ghaza romantis banget sama kaka Hana”

Pernah gak temen-temen mendengar hal-hal yang “mengagetkan” dari di kecil, seperti yang saya dengar dari Hana si TK A di atas? Mungkin pernah, atau pasti pernah?

Apa reaksi kita saat mendengar hal-hal yang kita rasa “kurang pas” dikatakan oleh anak kita, seperti sebutan “anak kampung” yang merendahkan, atau kata “romantis” yang rasanya kurang pantas diucapkan anak 4,5 tahun? Mungkin kita kaget. Sebagai bentuk kekagetan kita, mungkin kita langsung bereaksi memberi umpan balik pada anak, misalnya: “eh, gak boleh bilang anak kampung. Kita tidak boleh mengejek orang lain“. … atau “anak kecil kok udah tau romantis-romantisan…nanti gak boleh nonton TV lagi ya…”

Katanya, kalau sikap kita cenderung dan terus menerus seperti itu, artinya kita tidak membangun pola komunikasi yang positif dengan anak. Kenapa? karena kita tidak mendasari komunikasi kita dengan satu kemampuan dasar yang amat penting, yaitu kemampuan mendengarkan. Kita mendengar rangkaian kalimat yang diucapkan anak, tapi kita tidak mau mendengarkan apa yang sesungguhnya. Langkah pertama dari kemampuan mendengarkan adalah mengklarifikasi. Dan ini mutlak harus kita lakukan pada anak. Kenapa? karena seringkali, apa yang dimaksudkan oleh anak melalui kata yang ia sampaikan, bukanlah seperti apa yang ada di pikiran kita sebagai orang dewasa.

“Anekdot” yang pernah sangat terkenal menjelaskan hal ini adalah beberapa tahun lalu, ada cerita yang cukup terkenal. Gini ceritanya: seorang anak bertanya pada orangtuanya. “Bu, sex itu apa sih?” si orangtua langsung panik lah….menasehati ini itu pada anaknya. Si anak lalu dengan wajah bingung setelah mendengarkan segambreng nasehat dari ibunya, berkata “aku cuman mau tanya ini….” katanya sambil memperlihatkan formulir bertuliskan NAME : ….. SEX:….

Beberapa tahun lalu, saya ingat betul ada seorang ibu yang panik “curhat” sama saya. Anaknya yang kelas 2 SD, setiap kali liat mamanya pake daster pendek bilang gini: “ih, mama seksi. aku jadi tegang”. Ibunya panik. Pastilah saya juga akan panik kalau denger misalnya Umar bilang gitu. Waktu itu saya baca-baca buku untuk bisa jawab pertanyaan si ibu. Dari buku yang saya baca, dibilang jangan kaget dulu. Klarifikasi, tanya ke anak maksudnya apa. Saya sarankan demikian ke si ibu. Ternyata….waktu si anak ditanya, si anak gak tau apa itu maksudnya “tegang”.  Beda banget sama bayangan si ibu yang kepikiran anaknya punya pemikiran yang porno. Ternyata, si anak itu sering aja denger si tukang ojek depan rumahnya bilang gitu.

Nah, kalau udah ketauan bahwa anak kita sebenarnya masih polos dan tak mengkhawatirkan, langkah selanjutnya adalah memberi umpan balik. “Itu bukan  kata-kata yang bagus. Gak boleh diomongin lagi”. Beberapa anak cukup diarahkan demikian. Atau kalau ada konsep yang gak bener, kita lurusin.

Kemampuan mendengarkan ini, juga menjadi kemampuan dasar berkomunikasi pada beragam setting. Suami-istri, atasan-bawahan, bahkan psikolog-klien. Waktu menguji mahasiswa magister psikolog dalam praktikum konseling, kami menekankan sekali kemampuan ini. Gak bisa kita bantu orang lain, kalau kita tak paham betul apa yang ada di pikiran orang tersebut. Dan untuk bisa “paham” dan menghayati, satu-satunya jalan adalah dengan mau mendengarkan. Active listening bahasa kerennya.

Dan, kalau dipraktekkan….mendengarkan aktif pada anak kecil itu … bisa jadi refreshing loh…misalnya, waktu Hana bilang “de Azzam kayak anak kampung”, saya tanya “emang anak kampung itu kayak gimana sih“….dia jawab ” itu, ada bekas umbel kering di pipinya” haha….saya tanya lagi darimana dia tau itu. Dia bilang dari teh Rini, yang ngasuhnya… Lalu saya bilangin bahwa sebaiknya gak bilang anak kampung lagi, karena itu bisa berarti mengejek anak-anak yang tinggalnya di desa.

listeningSaya selalu mengingat-ingat untuk melakukan proses “klarifikasi” ini, karena kata literatur, hal ini akan menentukan sejauhmana anak akan terbuka sama kita. Padahal, keterbukaan anak pada kita sebagai orangtua akan sangat kita butuhkan terutama saat anak remaja. Kan katanya, kenapa anak lebih milih curhat sama pacar, curhat sama bandar narkoba….itu adalah karena mereka lebih didengarkan oleh pacar atau bandar narkoba itu ketimbang oleh ibu-bapaknya.

God news-nya, kemampuan active listening ini bisa dipelajari ! So….mari kita belajar mendengarkan, bukan hanya mendengar.

Soren Lorenson

Perkenalkan …tokoh utama baru yang tampaknya, mulai akan sering muncul di cerita-cerita saya. Azzam. Si bungsu berumur 2 tahun 25 hari. Kalau kemarin-kemarin dia hanya jadi figuran, tampaknya mulai hari ini akan jadi salah satu “little star” dengan aksi-aksinya yang mulai terasa signifikan dan bermakna, tentunya juga…menginspirasi.

Pagi ini, dia melakukan salah satu hobinya: main-mainin beras. Maklum, saya tak menempatkan beras di Rice Box, melainkan di ember besaaar pemberian mamah. Dan setiap kali Azzam ke dapur, favoritnya adalah memain-mainkan beras tersebut. Sudah saya kasih tau sih, bahwa boleh mainin beras, tapi berasnya gak boleh dibuang-buang.

Tadi teh Rini, yang bantu saya menyapu menemukan  banyak ceceran beras. Kata teh Rini; “ini siapa yang buang-buang beras?”. Azzam yang tengah berada di pangkuan saya menjawab dengan tegas: “Si tuda” (si kuda), sambil menunjuk mainan kuda merah yang sering dia naikin. “Ah, de Azzam kali….” kata saya. “Bukan …si tuda” katanya dengan tegas. “Masa …bener? kan kata ibu dede gak boleh numpahin beras” tanya saya lagi. “Si tuda bu yang buang-buang beuas” katanya kali ini sambil menggendong si kuda, dan “menyerahkan” si kuda pada saya.

soren lorensonSaya langsung ingat sama Lola, anak perempuan umur 4 tahun  adiknya Charlie dalam serial Charlie and Lola. Lola punya “teman imajiner” bernama Soren Lorenson. Dalam salah satu episodenya, si Lola selalu menyalahkan si Soren Lorenson untuk kesalahan yang ia lakukan.

Saya pernah baca tentang imaginer friend pada anak. Katanya, tak ada masalah dengan “teman imajiner” yang diciptakan anak pada usia prasekolah. Justru itu adalah tanda daya abstraksinya yang sedang berkembang. Tak mudah loh, membayangkan adanya seorang yang sebenarnya tak ada. Hehe..saya jadi ingat “binatang peliharaan  imajinernya” Hana, yang pernah saya tulis di https://fitriariyanti.wordpress.com/2012/09/10/de-izzy-dan-si-kiki/      Tapi yang harus diwaspadai kata literatur itu, adalah saat anak menimpakan kesalahan pada teman imajinernya. Karena kalau dibiarkan, itu akan selalu menjadi pola perilaku anak. Dan tak menghayati kesalahan yang dilakukannya, melemparkan kesalahan pada orang lain, tentunya akan menjadi ciri orang yang tak bertanggung jawab.

Tampaknya si pencipta kisah Charlie & Lola juga membaca literatur yang sama hehe….soalnya dalam episode tersebut, si Charlie menegaskan bahwa yang melakukan kesalahan adalah Lola, bukan Soren Lorenson. “Kamu tidak bisa menyalahkan Soren Lorenson untuk semua kesalahan yang kamu buat Lola, Soren Lorenson itu tidak bisa memecahkan gelas. Kamu yang memecahkan gelas, dan kamu yang harus bertanggungjawab membersihkannya” begitu kurang lebih kata si Charlie.

Ya, kalau belajar tentang aspek -aspek dan perkembangan kognitif pada anak, kita akan tahu bahwa perilaku-perilaku anak yang “biasa-biasa” aja, sebenarnya melibatkan proses kognitif yang kompleks. Termasuk “mencari kambing hitam” seperti yang dilakukan Azzam. Itu adalah hal positif dan perkembangan yang menggembirakan. Tapi di sisi lain, dalam perkembangan sosial, si anak 2 tahun harus mulai dikenalkan aturan.

Jadi, saya langsung berkata pada Azzam: “Yang buang-buang beras bukan si kuda. Tapi de Azzam. Lain kali boleh main beras tapi engga dibuang ya…kalau dibuang-bunag nanti dede engga boleh main beras lagi”. Si dua tahun itu pun mengangguk. Tentunya saya tak percaya anggukan dan kata-anak anak umur 2 tahun. Tapi saya setuju bahwa si dua tahun, harus mulai dikenalkan dengan aturan dan tanggung jawab. Meskipun tak selalu mengikutinya. Ia tetap harus diberitahu apa yang boleh apa yang tidak boleh, apa yang baik apa yang tidak baik, apa makna tanggung jawab, dan harus dikenalkan dengan konsekuensi sederhana.

Selamat berkenalan dengan  Soren Lorenson – Soren Lorenson masing-masing anak-anak kita ….hehe…

 

Sinetron Indonesia, Film-Film PIXAR, Franklin The Turtle dan Umar Bin Khatab

Anak-anak saya suka banget film-film pixar. Toy story 1,2 dan 3; Bug’s Life, Monster Ink 1 & 2, Finding Nemo, The Incredibles, Cars, Ratatoulite, Monster University 1&2. Saya? Gak suka banget. Tapi sukaaaaaa bangggeeeeets…Kalau anak-anak saya cuman suka sama aspek visualnya, saya sebagai orang dewasa menangkap hal-hal yang lebih esensial; “value” yang ingin disampaikan lewat film-film tersebut.
Meskipun tokoh, konteks alur cerita, maupun value utama yang disampaikan berbeda, namun ada beberapa kesamaan dari semua film-film PIXAR yang saya sebut diatas.

Kesamaan-kesamaan itu adalah, bahwa si pemeran utamanya, bukanlah orang yang “sempurna”.

Mereka memiliki kelemahan, pernah melakukan kesalahan, mengalami masalah, menghayati “pergulatan psikologis”, lalu….ini bagian kerennya…mereka menyadari kesalahan dan kelemahan mereka, berjuang  menemukan cara untuk mengatasi permasalahan mereka, dan akhirnya ….berhasil memenangkan pergulatan psikologis yang berat mereka rasakan, dengan nilai kebaikan yang menang. Dan, permasalahan-permasalahan yang mereka alami itu adalah persoalan “sederhana”, yang “natural”, tapi memang itulah persoalan psikologis keseharian yang dialami oleh anak-anak kita maupun kita.

Woody sebagai tokoh utama Toy Story, misalnya….di Toy Story 1 mengalami permasalahan “rivalry” dengan si Buzz. Betapa “berat”nya beban psikologis yang ia rasakan saat ia “dicuekin” teman-temannya yang beralih “mengagumi” si mainan ruang angkasa, Buzz. Itu yang kita dan anak-anak yang secara natural kita rasakan dalam keseharian kan…di dunia pertetanggaan, di dunia kerja, anak-anak kita di sekolahnya, di rumah karena lahirnya adik baru… Dalam film ini, diceritakan juga bagaimana dia sempat merasakan iri dan dengki sampai mencelakakan si Buzz, namun akhirnya….melalui pergulatan psikologis yang tergambar dengan keren di film itu, justru ia yang menyadarkan dan menemani si Buzz saat si Buzz merasa “down” akibat menyadari bahwa ia “hanyalah sebuah mainan”.

Di film the Incredibles, kita diajarin gimana setiap orang itu punya kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri yang kalau bersatu…akan dahsyat hasilnya. Di Monster University 2, kita melihat betapa si Mike yang “biasa-biasa saja” berusaha begitu keras untuk mencapai keinginannya kuliah di MU…

Nah, “pelajaran-pelajaran”  itu yang gak saya dapat kalau saya nonton sinetron Indonesia. Sebenarnya udah lamaaaaa banget saya gak nonton sinetron Indonesia. Dulu yang sesekali saya tonton adalah sinetron Tersanjung 1 yang pemeran utamanya adalah Lulu Tobing. Haha….itu tahun berapa ya?

Setelah itu, saya “gak kuat” nonton lagi. Kenapa? Because it is not real. Yang jahat, digambarkan jahaaaaaaat banget. One hundred percent evil. Yang baik? Aduuuuh…sempurna…banget. Cantik, baik, sholeh, rajin menabung, taat pada orangtua, ….. Dan ekpresi para pemainnya itu loh, yang lebih bikin gak kuat. Sebagai orang psikologi yang belajar mengenai emosi, saya begitu amat sangat kagum sama si PIXAR yang bisa banget, menggambarkan emosi itu secara mendalam melalui bahasa non verbal si tokoh. Padahal, tokonya itu kartun. Mobil. Semut. Tikus. Monster. Tapi bener kerasaaa banget … Kalau sinetron Indonesia? Superfisial banget. Kalau marah, matanya melotot, teriak sekeras-kerasnya, lalu wajahnya di zooom…….terus kalau si tokoh soleh, pasti ngomongnya lempeeeeng…kayak malaikat gitu. Haduuuh….gak kuat sayah nontonnya…

Itu yang pertama. Yang kedua, saya gak suka nonton sinetron Indonesia karena tak mengajarkan kemampuan menyelesaikan masalah. Gak ada “pergulatan psikologis yang natural” di dalamnya. Yang ada adalah jalan pintas yang tak melibatkan upaya si tokoh. Misalnya, jreeeeeng….tiba-tiba diketahui bahwa ia cucu orang yang kayaaaaa banget. Sama sekali tidak mengajarkan apa-apa selain mengajarkan adanya “keberuntungan”.

Padahal, salah satu teori kepribadian “Locus of Control”, menyatakan bahwa hal-hal yang baik akan dicapai oleh orang yang punya kepribadian Locus of Control Internal, dimana ia berprinsip pencapaian yang ia raih adalah disebabkan upayanya, bukan karena hal-hal yang sifatnya unpredict seperti keberuntungan. Dan di agama pun, bukankan kita diajarkan konsep ikhtiar, bahwa “Allah tidak akan menolong suatu kaum jika kaum itu tak mau merubah keadaannya” ….

Dengan alasan yang sama seperti pada film-film PIXAR, itu sebabnya pula saya ngefans berat sama buku si FRANKLIN THE TURTLE. Kami mengoleksi puluhan bukunya. Kalau saya perhatikan, seluruh kisah di seri si Franklin, menunjukkan hal yang sama dengan “pesan” yang ingin disampaikan film-film PIXAR.

Bahwa kita, manusia ini tak sempurna. Kita punya kelemahan. Kita melakukan kesalahan. Bahkan kesalahan yang buruk. Kita mengalami ketidakberdayaan karena kelemahan kita. Tapi di sisi lain, kita punya kelebihan. Kelebihan yang bisa kita gunakan untuk mengatasi masalah yang kita hadapi. Untuk bangkit memperbaiki kesalahan. BAngkit dari ketidakberdayaan. Memang tidak mudah, namun bukan tidak mungkin. Dengan bantuan dari orang-orang yang kita cintai- keluarga dan teman- yang membantu kita menerima kekurangan kita, dan saling melengkapi sehingga masalah selesai dan …. kita bisa bahagia.

Contohnya, semalam saya bacakan buku “Franklin di rumah sakit” ke Hana. Cerita tentang bagaimana Franklin sangat ketakutan menghadapi operasi, sampai dia gak mau difoto rontgen. Saya masih ingat kata-kata Franklin pada dokter Bear: “Semua orang mengatakan aku pemberani, padahal aku sangat takut. Aku takut kalau dadaku dipotret, akan ketahuan bahwa aku adalah penakut”. Jujuuuur, banget. Natural. Alami.

franklinDemikian juga di bukunya yang berjudul “Franklin di Kegelapan”, diceritakan bagaimana ia sangat takut akan kegelapan, padahal ia harus tidur di tempurungnya yang gelap. Akhirnya ia pun bertanya pada teman-temannya yang ia pikir sangat pemberani. Ia bertanya pada si singa. Si singa bilang, pada awalnya dia sangat takut mendengar aumannya yang keras. Lalu untuk mengurangi ketakutannya, ia memakai headphone. Si angsa mengatakan, pada awalnya ia takut berenang, maka ia memakai ban renang dulu….terus ke beberapa binatang lain…sampai akhirnya Franklin merasa ia tak sendirian, dan mengikuti teman-temannya untuk mengatasi ketakutannya dengan menyalakan lampu di tempurungnya.

Saya merasakan banget apa yang dialami si Franklin, karena saya seriiing sekali mengalami itu. Saya sangat bersyukur berada di antara teman-teman psikologi….Sering sekali saya melihat teman-teman saya begitu “sempurna”. Setelah saya dekat dengan mereka, ternyata meraka tak sempurna. Mereka punya kelemahan. Mereka tahu itu, menyadari itu, mengakui itu, namun menerima itu. Dan mereka berupaya keras untuk mengatasinya. Persis seperti si Franklin yang terkaget-kaget mengetahui si singa yang begitu perkasa dengan aumannya ternyata dulu takut dengan aumannya yang terlalu keras, saya juga sering kaget bahwa…teman saya yang public speakingnya hebat, ternyata punya kecemasan yang besaaar setiap kali akan tampil. Saya senang, sekali saat kami bercurhat-curhatan mengenai kekurangan kami. “You know lah, gue kan oon banget kalau soal ini”…”tau gak…gue tuh takut banget kalau telpon senior…”. Lalu setelah itu kami akan saling menguatkan….dan ketika satu demi satu persoalan berhasil dilalui…bahagiaaaa banget. Dan anehnya, mengetahui bahwa teman-teman saya yang “hebat”-“hebat” itu punya kekurangan, tak membuat saya berkurang mengagumi mereka. Malah bertambah.

Ya, mengapa sesuatu yang jujur, yang natural, yang alami. yang “manusiawi” itu punya kekuatan yang besar buat kita?  karena kita manusia. Kita manusia yang sudah amat jelas, bukan malaikat yang sempurna. Tak seperti malaikat, hidup manusia is never flat. Tapi kita dikasih potensi sama Allah buat bisa lebih hebat dari malaikat. Itulah sebabnya kealamian, kejujuran, ke”manusiawi”an kita yang kemudian diiringi oleh “jatuh bangun upaya” yang kita lakukan, itu begitu menyentuh, dan lalu “menggerakkan”.

Itu sebabnya pula saya gak suka sama yang jaim-jaim. Yang menunjukkan pada dunia bahwa ia sempurna. Biasanya, orang-orang yang menampilkan dirinya demikian adalah orang-orang yang “rapuh”, yang tak berani mengakui dan menerima kekurangan dirinya.

Jadi, menurut saya….tontonan dan bacaan buat anak-anak kita…bukanlah hal yang “tak berarti”. Tontonan dan bacaan itu, sangat berarti untuk membentuk nilai-nilai kehidupan mereka.

Ah, mereka kan gak akan ngerti. Ya, itu sebabnya mari kita amati apa yang ditonton dan dibaca anak-anak kita, berikan mereka tontonan dan bacaan yang “powerfull”, lalu kemudian…ajak mereka untuk memahami maknanya…beri contoh penerapan value tersebut dalam keseharian mereka. Saat mereka mengalami “persoalan” yang sama, ingatkan perasaan yang sama yang dialami si tokoh-tokoh itu, lalu ingatkan pula bagaimana mereka mengatasi masalah mereka.

Ah, tokoh-tokoh itu kan tak islami? hehe…..

Ada satu tokoh yang sangat islami banget, yang sangat menghayati kekurangannya, menerima kekurangannya, tapi melakukan upaya sekuat tenaga untuk mengatasi kekurangannya. Dia adalah Umar Bin Khattab, sahabat Rasul yang dijamin masuk syurga, yang dikenal amat “keras” dan “kasar”. Dalam salah satu biografinya, diungkap satu doa yang selalu beliau panjatkan: “Allahumma ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar maka lunakkanlah hatiku, Allahumma ya Allah, aku sangat lemah maka berilah aku kekuatan. Allahumma ya Allah, aku ini kikir, jadikanlah aku dermawan bermurah hati,”

Doa yang jujur dan tulus.

Jadi, buat saya, anak yang sempurna itu….bukan anak yang tak memiliki kekurangan. Tapi anak yang di satu sisi menyadari dan menerima kekurangannya, di sisi lain menghayati kelebihan yang ia miliki, dan punya keyakinan bahwa kelebihan yang ia miliki sudah Allah “setting” untuk bisa mengatasi masalah. Masalah yang akan dihadapi berat, tapi bukan tak mungkin untuk diselesaikan.

Anak yang tangguh itu bukanlah anak yang tak pernah sedih, tak pernah merasa tak berdaya , tak pernah mengalami kegagalan. Namun anak-anak yang mengalami kesedihan, ketakberdayaan dan kegagalan, namun mereka punya keyakinan untuk bisa bangkit dari kesedihan, ketakberdayaan dan kegagalan itu melalui kemampuan problem solving mereka. Mereka yakin akan kemampuannya dan yakin kalau Tuhannya, orangtuanya, teman-temannya menyayangi mereka. Itulah yang namanya anak yang “resilient”.

Nilai ini yang ingin saya tanamkan pada anak-anak saya.

Teknisnya?

  • Sedari dini, ajak anak untuk mengeksplorasi, mengenali dan menghayati kelebihan dan kekurangan dirinya
  • Jadi role model untuk semua tahap diatas. “Menampilkan diri sebagai orangtua yang sempurna” adalah hal yang salah menurut saya. Pelajaran penting yang didapat anak saat mereka melihat kita begitu sempurna, amat sedikit dibanding saat mereka melihat kita mengalami fase-fase down, bagaimana kita berjuang untuk mengatasi masalah-masalah kita.

Yang alami itu, akan menyentuh. Yang menyentuh itu, akan menggerakkan…

 

Anak Les Ini-Itu : Tanda Orangtua Cemas?

Suatu saat saya pernah mendengar ada yang berpendapat bahwa orangtua yang mengikutkan anaknya les ini-itu, tandanya orangtua tersebut cemas dan tak punya konsep pengasuhan yang jelas. Saya lupa uy…dimana saya dengar (atau baca ya? ) pendapat ini. Pendapat siapa juga saya lupa hehe…umur 35 tapi udah kena alzheimer;)

Bagaimana pendapat saya terhadap pendapat tersebut ? kkk…..sok penting ya….Tapi memang akhirnya, saya harus berpendapat. Sebab, pertanyaan “apakah anak saya perlu les ini-itu?” atau “salahkah saya jika mengikutkan anak saya les ini-itu?” beberapa kali saya terima dari orangtua.

Saya sendiri termasuk orangtua yang me-leskan anak-anaknya. Azka yang sekarang kelas 5, ikut les fotografi yang ditawarkan di sekolah.  Waktu dia kelas 2-4 pernah les bahasa Inggris dan renang. Umar yang kelas 2, sekarang les futsal. Waktu kelas 1, dia saya les-kan wushu dan bola. Selain itu, sekarang Azka, Umar dan Hana les tahfidz dengan guru privat diundang ke rumah.

Catatan: les ini-itu maksudnya adalah mengikuti beragam les; les renang, les biola, les balet, les menggambar, les calistung, les futsal, les kumon, les vokal, les piano, les pelajaran di sekolah, les ngaji, les bahasa inggris, les wushu, les robotik, les masak dll dll

Menurut saya, untuk menjawab pertanyaan SALAH atau BENAR itu, harus melihat dulu 2 hal.

(1) Faktor orangtua: tujuan orangtua  (2) Faktor anak : meliputi usia anak dan sikap anak terhadap les tersebut.

Mari kita bahas satu persatu…

(1) Faktor orangtua.

Apa tujuan orangtua mengikutkan anaknya les ini-itu? Pertanyaan ini secara CLEAR harus bisa dijawab oleh orangtua. Menurut saya, seharusnya keputusan “operasional” seperti me-leskan anak merupakan: (1)  pengejawantahan dari “visi” orangtua. Ingin mendidik anak yang seperti apa? Misalnya, ortunya pengen anaknya kuat secara fisik. “operasionalisasi”nya adalah les-in anak renang. Ortu pengen anak punya kepekaan perasaan, les-in biola…..saya pengen anak-anak saya dekat dengan  Qur’an, saya les-in tahfidz. Atau ortu mo sekolahin anak ke luar negeri pas SMA-nya, ya dari kecil di les-in bahasa Inggris.

Selain sebagai “operasionalisasi” visi dalam mendidik anak, menurut saya ada 2 lagi hal yang “seharusnya” jadi alasan ortu me-les kan anak-anaknya, yaitu ; (2)  menyalurkan minat, bakat dan potensi anak, (3) menstimulasi aspek yang kurang berkembang  pada diri anak.

Misalnya, ada temen saya les-in anaknya vokal, karena tanpa disangka anaknya juara lomba nyanyi di sekolahnya. Temen saya yang lain, ngeles-in anaknya bola, karena anaknya keren banget kalau main bola. Anak saya yang lain, ngeles-in anaknya piano karena kata guru di sekolahnya, anaknya ini peka nada. Itu contoh alasan ke-2

Saya, ngeles-in Umar futsal karena Umar ini daya tahan fisiknya kurang kuat dan kurang gesit.  Teman saya, ngeles-in anaknya gambar karena motorik halusnya gak bagus. Nah, ini adalah contoh alasan ke-3

Kenapa sih, ortu harus betul-betul mengidentifikasi tujuannya nge-les-in anak? Karena itu, akan berhubungan dengan harapan ortu terhadap anak, dan sikap ortu terhadap hasil les anak.

Dengan tujuan menstimulasi daya tahan dan kegesitan fisiknya, saat saya ‘nonton” Umar yang lagi latihan futsal … ngeliat dia bisa “nyentuh” bola sekaliiii aja saya udah bahagia banget. Saya puji-puji dia…..Coba kalau saya gak “ngeuh” apa tujuan saya…liat temen-temennya keren banget ngegocek bola, tahan sampai berjam-jam lari sana-sini sedangkan Umar setengah main udah keliyatan “teler”, saya pasti stress. Trus kesel sama Umar.

Pemahaman akan tujuan juga akan membuat orangtua memilih tempat les yang “pas” sesuai dengan tujuannya. Kalau tujuannya melatih motorik halus, gak bakalan cari tempat les gambar yang mentargetnya anak-anak lesnya jadi lomba gambar ini-itu….Kemaren saya dapet cerita dari temen yang nge-les-in anaknya balet, ternyata katanya jenis-jenis tempat les balet itu macem2. Ada yang orientasinya stimulasi berdasarkan tahap perkembangan anak, ada yang memang orientasinya ke hasil.

Ada satu lagi sebenarnya alasan yang mungkin buat ortu, yaitu ekslporasi minat, bakat dan potensi anak. Misalnya ibu pengen tahu anaknya bakat di musik ga? ikutin les musik. Pengen tahu bakal di seni gak? ikutin les gambar.

Plus satu lagi kalau jaman sekarang: “daripada di rumah gak ada orang atau cuman ama si bibi aja”….itu juga alasan yang syah sih menurut saya….tinggal liat faktor anaknya.

lesNaaah…jadi, kalau kita gak bisa identifikasi tujuan kita nge-les-in anak, maka…mungkin bener juga sih, bahwa ngeles-in anak ini-itu karena kita merasa “cemas”. Di tulisan sebelum ini, saya sudah jelaskan bedanya cemas ama takut. Mungkin cemas akan masa depan anak, mungkin cemas karena persaingan dengan teman-temannya…“teman-temannya les inggris semua, ya udah saya juga ikut aja”. “Kayaknya keren gitu les biola, ya saya les-in aja”. ….

Kan konon katanya sekarang orangtua menghayati membesarkan anak untuk bisa “survive” di masa depannya tuh beraaaaat banget. Persaingan semakin ketaaaat….Tuntutan semakin kompleks….

Faktor kedua yang harus dipertimbangakan adalah faktor anak.

Anak usia 2 tahun di les-in Bahasa Inggris? sedangkan di rumah gak ada yang ngajak bicara bahasa inggris? gak ada rencana sekolah ke luar negeri? buat apa? ini menurut saya siiih… Jadi kita perhatikan juga usia anak saat memilihkan les. Kaitannya sama faktor tujuan tadi sih.  Saya dulu pernah juga ngeles-in Umar bahasa Inggris. Umur 4-5 tahun ….. trus saya mikir buat apa sih? GJ banget alias ga jelas haha…..

Banyak yang bertanya: “anak bakal stress gak kalau ikut les ini-itu? “…jawabannya…tergantung anaknya….ada anak yang energinya buesar. Dia butuh aktifitas-aktifitas untuk menyalurkan energinya. Tapi ada anak-anak yang energi fisik dan psikologisnya terbatas. Darimana kita tahu? kita liat respons anak. Kalau buat les kumon anak harus dibujuk, trus PRnya maleeees banget dia kerjain, ampe kita paksa dan nangis-nangis….itu pertanda kita sudah “mendzalimi” anak. Tapi kalau anak kita yang balita les macem-macem trus dia tetep hepi, riang gembira….what’s the problem?

Jadi kesimpulannya….yang bisa tahu apakah yang kita lakukan pada anak adalah ekspresi kecemasan atau bukan, hanyalah diri kita sendiri. Keputusan les atau gak les itu, pertimbangan dari dua faktor tadi menjadikan hal ini menjadi kontekstual. Choose what the best for your children happiness….

 

 

Pilih mana : Anak Takut atau Anak Cemas ?

Kuis untuk emak-emak balita hari ini :

1. Kalau anda akan berangkat kerja atau beraktivitas meninggalkan anak, yang biasa anda lakukan adalah:

  • a. “ngumpet” diam-diam pergi biar anak gak nangis
  • b.  tetep “pamit” sama anak meskipun anak nangis jerit-jerit dan kita jadi guilty feeling

2. Kalau suatu saat anak anda harus ke dokter gigi atau harus diambil darah, lalu anak anda menangis, yang biasa anda lakukan adalah:

  • a. mengatakan “jangan nangis, jangan takut…gak sakit kok…” sehingga anak anda jadi tenang
  • b. mengatakan “nanti mungkin sakit” meskipun kata-kata anda membuat si anak semakin gak mau

Dua pertanyaan tadi harus dijawab jujur loh ya…..Nanti di akhir, akan saya kasih kunci jawabannya. Kalau ke mahasiswa saya sih, biasanya yang dapet nilai 100 saya kasih silver queen hehe….

Sebelum membahas jawabannya, saya mau cerita dulu….

Cartoon-Pavlov-conditioningHari ini kami, kelas Psikologi Umum I belajar mengenai topik “Learning”. Khususnya Classical Conditioning, yang merupakan proses belajar asosoatif yang paling dasar.  Yang pernah kuliah di Psikologi pasti inget sama percobaan saliva anjingnya om Pavlop. Pastinya dalam tulisan ini saya tak hendak menjelaskan apa itu NS, US, UR atau CS. Biarin aja itu mah jadi kepusingan mahasiswa saya.

Yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini adalah satu bagian yang menarik, yang ada di halaman 243 buku Atkinson & Hilgard’s Introduction to Psychology 15th edition yang kami gunakan tadi. Sub judulnya adalah : Conditioning and Fear.

Intinya adalah….tanpa sadar, seringkali sikap kita pada anak membuat anak “mempelajari” sesuatu dari kita. Apalagi prinsip Classical Conditioning ini adalah asosiasi “sederhana”, yang banyak digunakan sebagai proses “belajar” pada anak-anak kita. Jadi katanya, prinsip CC ini berperan dalam respons takut. Artinya, anak belajar menjadi takut melalui sikap kita, yang tanpa kita sadari mengikuti prinsip CC. Secara gamblang, seringkali kita tidak sadar mengkondisikan anak menjadi takut. Atau mengkondisikan anak kita menjadi cemas.

Apa sih bedanya takut sama cemas?

  • Takut (fear) adalah perasaan negatif yang membuat tidak nyaman, yang disebabkan oleh adanya ancaman yang jelas dari luar. Rasa takut berhubungan dengan tingkah laku spesifik untuk menghindar dan menjauh dari stimulus yang tidak menyenangkan.
  • Cemas (anxiety) adalah perasaan negatif yang membuat tidak nyaman, sebagai  akibat dari ancaman yang tidak jelas, tidak bisa dikontrol dan tidak bisa dihindari.

Mending mana ayo….mending anak kita mengalami takut atau mengalami cemas?

Secara teoretis dan saya sepakat, mending takut.

cemas vs fearKenapa? karena ketakutan itu, objeknya jelas. Kalau objeknya jelas, maka kita tahu bagaimana cara menghindari objek itu. Misalnya anak kita takut gelap kalau tidur sendiri. Takut direbut mainannya sama teman. Takut gak diajak main sama teman. Takut dimarahin bu guru kalau gak bikin PR. Terbayang kan, gimana kita bantu si anak untuk mengatasinya?

Kalau cemas? anak cemas pergi ke sekolah. Apa yang bikin dia cemas? bu guru? temen? tugas? gak tau. gak jelas. Itulah sebabnya, katanya kalau kita atau anak kita mengalami kecemasan, langkah pertama adalah, ubah rasa cemas itu jadi rasa takut. Identifikasi objeknya apa. Biar tau cara menghindarinya, cara mengatasinya.

Jadi, apa kaitannya dengan kuis di atas tadi?

Kalau jawaban ibu-ibu untuk kedua pertanyaan di awal tadi adalah “a”, maka berarti ibu-ibu telah mengkondisikan anak-anak ibu untuk merasa cemas.

Kalau jawaban ibu-ibu untuk kedua pertanyaan di awal tadi adalah “b”, maka berarti ibu-ibu telah mengkondisikan anak-anak ibu untuk merasa takut.

Bagaimana bisa?

Untuk pertanyaan no.1 : pernah gak mengalami fase di mana anak kita, begitu kita udah siap mau pergi (kita mau pake kerudung, atau kita bedakan), itu udah nempel dan “rewel”? Nah, perilaku itu disebabkan karena yang kita lakukan (pake kerudung atau bedakan) itu, berfungsi sebagai “danger signal”. Tanda-tanda bahaya buat anak. Apa bahayanya? ibu akan pergi. Aku ditinggal. Aku gak nyaman. Saat kita “pamit”, dia merasa takut. Menangislah dia. Karena dia merasa takut ditinggal.

Nah, kalau kita pergi ngumpet-ngumpet, saat kita pergi dia gak nangis. Dia tenang karena merasa ibunya ada. Begitu nyadar ibunya gak ada, maka yang akan dia rasakan adalah cemas. Kenapa? karena dia gak liat tanda-tanda ibunya gak akan pergi, gak ada “danger signal” yang ia terima, sehingga ia “tak bersiap” untuk menghadapi “bahaya ditinggalkan ibu”.

Mekanisme yang sama berlaku pada kasus ke dokter gigi atau diambil darah. Saat anak dibilang “ga apa-apa, gak akan sakit kok” lalu dia ternyata merasa sakit, dia jadi tidak  melakukan antisipasi secara psikologis. Beda kalau kita bilang “Ya, nanti akan sakit. Mungkin sakit banget. Nanti kalau mau nangis, nangis aja engga apa-apa….pegang tangan ibu keras-keras juga gak apa-apa….tapi sakitnya sebentar..dariad agiginya gak diobatin, sakitnya akan lamaaaa” . Mungkin si anak akan nangis, jerit-jerit. Tapi seiring dengan itu, dia sudah “bersiap” secara psikologis.

Apa akibat jangka panjangnya? Kalau kita konsisten melakukan pilihan “b”, maka anak akan “rewel” hanya kalau dia melihat ibunya mau pergi atau mau pamit. Tapi kalau ibunya gak menunjukkan “danger signal”, dia merasa aman dan percaya sama ibunya. Dia akan nangis kalau ada di ruang dokter gigi. Tapi hanya kalau ada di ruang dokter gigi aja, saat kita bilang “ini akan sakit”.

Kalau kita konsisten melakukan pilihan “a”, maka anak akan bingung dan “kehilangan kepercayaan” karena tidak pasti kapan  ibunya akan pergi dan kapan akan ada disampingnya. Demikian juga kalau dia ke dokter gigi, dia akan mengembangkan rasa cemas karena dia tidak tahu kapan harus “bersiap” kapan dia tidak harus bersiap.

Kuncinya ada di satu kata …… “predictable” atau engga buat anak. Situasi yang predictable inilah yang harus selalu kita upayakan buat anak. Jangankan buat anak, buat kita sebagai orang dewasa pun…

Kalau kata bukunya: “as adults, many of us have experienced the anxiety of being in a situation where something disagreeable is likely to happen but no warning exist for us to predict it”

Dan kalimat terakhirnya keyen banget:

“Unpleasant events are, by definition, unpleasant, but unpredictable unpleasant events are downright intolerable”

 

Jadi,biarkanlah anak kita mengalami rasa takut.

Ajari dia mengidentifikasi apa yang ia takutkan, apa yang menyebabkan ia merasa takut,

dan yang terpenting, ajarkan dia untuk mengatasi ketakutannya.

Seperti kata dokter Bear pada si Franklin the Turtle saat ia merasa takut akan dioperasi, mari kita katakan pada anak-anak kita:

“Merasa takut bukan berarti kamu tidak berani.

Berani itu atinya mau melakukan apa yang harus kamu lakukan meskipun kamu merasa takut”

Tambahkan lagi lirik lagu Michael Jackson:

“You are not alone, I’m here with you”

Plus nilai ketauhidan:

“Allah pasti sudah mengukur kalau kamu punya keberanian yang lebih besar untuk mengatasi ketakutan kamu. Kalau takut kamu sebesar kuda, Allah ngasih keberanian sebesar gajah. Kalau takut kamu sebesar gajah, Allah ngasih keberanian sebesar RAKSASA GAJAH 😉 “

Nyala Api Kehidupanmu ; nikmatilah ……

Wiken kemarin adalah long wiken, dengan tanggal merah di hari Jumat. Cita-cita saya untuk menikmati long wiken dengan rileks harus pupus … Azzam si 2 tahun  yang sedang pilek ruewellnya luar biasa. Plus, tiga hari itu saya berkeliling ke toko-toko baju anak cari baju “gaun pesta” untuk Hana si TK A.

Selain pilek, Azzam punya kebiasaan baru. Dia baru saja “menguasai keterampilan nangis pura-pura”. Jadi kalau ada sesuatu yang dia gak suka, itu dia bisa nangis satu jam, tapi pura-pura. Lha wong gak ada air matanya….dan…kalau dia mau brenti, tiba-tiba dia brenti, aja ,,,dan bilang “Barusan Azzam nangis …sekarang udah nangisnya”. Lucu ya? kalau baca sih lucu haha…tapi kalau ngalaminnya, 1 jam denger anak dua tahun itu “nangis”, gak mau disentuh, gak tau maunya apa…hadeeeuh….Dan sehari bisa sampe lima kali ! bangun tidur langsung nangis, kesenggol kakaknya dikit nangis, mau jalan-jalan nangis, abis naik kuda 4 kali nangis, hadeeeeuhhh…Untunglah saya ingat “petuah” Jo Frost, si nanny di program “Extreme Parental Guidance” yang dalam satu episodenya menghadapi anak yang kayak Azzam gini nih…trus dia bilang “is he hurted? no? so…ignore him…”. Jadi saya cuekin aja dia….meskipun tampaknya lain kali saya harus pinjem headphonenya Azka hehe…

Hana, hari Senin tadi ada acara foto kelas. Harus pake baju gaun pesta. Nah, nyari gaun pesta yang  roknya panjang karena mau pake kerudung itu, udah berkunjung ke beragam toko pakaian anak, gak nemu-nemu. Mana pas udah nemu dia “gak suka warnanya” lah… “kayaknya kebesaran deh” lah… Trus pas masak buat sarapan, 4 anak ini maunya beda-beda lagi. Yang satu pengen nasi goreng, yang satu pengen nasi biasa, yang satu pengen kentang sosis, yang satu lagi pengen roti bakar….hiks…hiks…Padahal ya, di saat yang sama…dua proposal menunggu untuk dikerjakan, beberapa tulisan udah ngantri pengen dituangkan, pengen banget pesbukan plus pengen banget surfing untuk tau gimana kelanjutan perpecahan di tubuh PPP (haha…dua yang terakhir gak penting banget kkkk).

Mmmmhhh…saya yakin….teman-teman sesama emak-emak, pernah mengalami episode kayak gini. Intinya, kehidupan kita “teroccupied” oleh urusan anak-anak. Padahal ini dalam kondisi “normal”. Kondisi gak normal? pernah ada temen saya, 2 anaknya gantian sakit selama 2 bulan. 2 minggu si anak pertama, 2 minggu si anak kedua, 2 mingu selanjutnya si anak pertama lagi…..

Yah, memang tak bisa dipungkiri…punya anak itu, komitmen seumur hidup. Setiap hari. 24/7. Setiap menit, setiap detik. Komitmen dalam hal apa? dalam materi, tenaga, pikiran, psikologis, emosional. Kumplit. Coba aja….berapa banyak ibu-ibu yang “stress” saat anaknya UTS, UAS, UN, SNMPTN….hadeeeuh….Trus secara materi, saya pernah evaluasi cashflow finansial saya. Dan hasilnya adalah….75% pengeluaran kami, adalah untuk anak-anak ! sopir plus asisten; dedicated to anak-anak. Bayaran sekolah, aktivitas luar sekolah, asuransi, jalan-jalan di wiken, dan…cemilan….. Kadang-kadang saya suka bayangin…kalau saya gak punya anak, saya bisa nabung dan shadaqah berapa ya tiap bulan???

Hhhmmm….tapi pastinya, tak akan yang mau menukar seluruh materi, tenaga, pikiran, psikologis dan emosional buat anak ini dengan apapun bukan? buktinya….teman-teman yang belum dikaruniai rejeki anak, akan berusaha sekuat tenaga, menghabiskan puluhan sampai ratusan juta rupiah untuk ikhtiar mendapatkan anak ini. Kenapa sih? jawabannya, adalah inti dari tulisan ini.

………

Setiap kali saya dalam kondisi ter-occupied sama anak-anak gini, saya selalu ingat film seri kesukaan saya, yaitu serial MONK. Apa hubungannya? tenang…tenang….saya cerita dulu mengenai seri ini ya…

Jadi serial semi komedi ini bercerita tentang seorang detektif yang mengalami obsesive-compulsive disorder dan segala macam phobia bernama Monk.  Ditemani oleh si Kapten, bawahannya Randy dan asistennya Natalie, ia memecahkan satu demi satu kasus kejahatan, bermodalkan ke-obsesif-compulsive-annya. Ada juga sesi-sesi konsultasi pasikologisnya dgn psikiaternya, dr. Kroger. Bagi yang ingin tahu lebih lanjut, bisa browsing link ini http://en.wikipedia.org/wiki/Monk_%28TV_series%29, atau salah satu link yutubnya ini: http://www.youtube.com/watch?v=J6dMQVHxKEA haha….. Saya jadi inget…waktu saya harus bedrest karena hamil Hana dengan kondisi plasenta previa, saya pinjem cd-cd serial Monk ini dari seorang teman….jadi anteng nonton soalnya kata dokter harus rileks, gak boleh baca buku 😉

Satu-satunya orang yang mencintai dia dengan tulus, yaitu Trudy, meninggal dibunuh orang dengan cara mobilnya diledakkan. 12 tahun ia “mendedikasikan hidupnya” untuk mencari pembunuh istrinya tersebut. Di episode-episode terakhir, saat di Monk sudah menemukan pembunuh istrinya, suatu hari dia bangun….dan dia berkonsultasi pada dr. Kroger, psikiaternya. Ia bingung mengapa ia merasa “hampa” dan “tidak semangat”. Si dr. Kroger mengatakan bahwa…tanpa disadari, “kesibukan” mencari pembunuh istrinya selama 12 tahun, selama ini telah menjadi “nyala api kehidupan” si Monk (catatan: nyala api kehidupan ini istilah saya…), “tujuan hidupnya” selama ini. Ketika “tujuan itu telah tercapai”, maka wajar jika ia mengalami kehampaan…

Nah…itulah yang saya hayati. Bahwa segala keriweuhan kita dengan anak-anak, segala sumberdaya diri yang “terkuras” untuk anak-anak, tanpa kita sadari, sebenarnya jadi nyala api kehidupan kita. Yang membuat kita semangat menjalani hari demi hari. Saya yakin sekali akan hal ini. Kenapa? karena saya pernah mengalaminya.

Waktu anak saya masih tiga, suatu saat mereka liburan seminggu ke rumah neneknya. Di hari kedua mereka liburan, saya pun pergi ke pasar. Biasanya memang saya ke pasar seminggu sekali untuk “nyetok isi kulkas”, Di mulut pasar, saya mau beli bayem dan jagung…sayur bening bayam plus jagung adalah kesukaan mas Umar. Eh…tapi kan Umarnya gak ada ya….gak jadi saya beli bayem. Di tukang ikan, saya mau beli cumi kesukaan kaka Azka. Eh, kan kaka Azkanya gak ada? urung. Mau beli brokoli kesukaan teteh Hana? kan teteh Hana nya gak ada…. Pindang tongkol kesukaan mas Umar….Pindang bandeng kesukaan kaka Azka….bubur sumsum kesukaan teteh Hana….akhirnya…you know what? keluar pasar, saya cuma bawa satu keresek kecil. Isinya kue cucur kesukaan si abah…dan …dengan mata berlinang.

Ternyata….selama ini saya semangat ke pasar karena saya bisa membelikan orang-orang yang saya cintai, apa yang mereka sukai. Tanpa mereka….buat apa saya ke pasar? buat apa saya masak? Padahal kalau melakukannya, kegiatan masak itu begitu membuat riweuh….

Saya juga jadi ingat, beberapa tahun lalu saya pernah bertakziyah pada seorang Bapak yang ditinggal wafat anak remaja semata wayangnya. Bapak itu, sambil memeluk saya mengatakan “Kalau tidak ingat Allah, rasanya pengen ikut mati. Bapak banting tulang nyari uang, itu untuk dia…sekarang bapak kehilangan semangat hidup. Kalau tidak ingat Allah, rasanya…buat apa saya hidup?”

Yups, buat kita muslim, cinta kita pada anak-anak memang derajatnya tetap, harus dibawah cinta kita pada Allah. Tapi saya menghayati, bahwa Allah menurunkan Rahman-Rahimnya untuk “memacu” kehidupan kita, salah satunya adalah melalui anak.

Jadi, saat kita hidup kita sedang “tersabotase” oleh urusan anak- tenaga, waktu, biaya, psikologis, emosional- mari kita ingat, bahwa Allah menganugerahkan mereka sebagai nyala api kehidupan kita… segala keriweuhan, ke”putus-asa” an, kemumetan, kelelahan…mari kita nikmati. Karena kalau mereka tak ada, mungkin kita jadi hampa dan merasa hidup kita tak bermakna.

Terkait dengan hal ini pula, banyak teman yang “curhat” kalau saat ini mereka merasa “tidak menjadi istri yang baik”. Yups…buat emak-emak di fase ini, tampil cantik dan memikat buat suami tercinta, mungkin hanya ada dalam cita-cita dan dongeng semata. Mana sempat ngurus suami….ngurus diri sendiri aja kadang inget kadang engga 😉 hehe…

Tenang…tenang…hal itu wajar kok…Kalau kata Duvall & Miller (1985), dalam kehidupan berkeluarga, kita ini sedang berada di fase ke3 atau 4 (saya ke-4). Fase perkembangan kehidupan berkeluarga menurut Duvall & Miller, dihitung dari anak pertama adalah: (1) marriage couple, (2) child bearing, (3) preschool-aged children, (4) school-aged children, (5) teenage children, (6) launching the children, (7 middle age parents, dan (8) aging family member.

Kalau dikaitkan dengan kepuasan pernikahan, katanya kepuasan pernikahan itu, polanya berbentuk U. Jadi buat kita yang berada di fase ke-3,4 dan 5….kepuasan pernikahannya memang “lagi di bawah”. Tapi kan itu sementara….segera setelah anak-anak kita remaja….mulai punya “kehidupan dan dunia sendiri”, “tak membutuhkan kita lagi”…kita akan punya waktu banyaaaaak untuk ke salon, pesbukan, dan melakukan hal-hal yang kita cita-citakan di masa “riweuh” ini…Dan kalau suami kita baik, mereka akan merasa “betapa romatisnya istrinya” yang tengah keriweuhan meladeni anak-anaknya haha…(itu halusinasi saya kkk). Tapi benar kok…cob aaja tanya suami masing-masing…..apakah mereka keberatan ? pasti jawabannya tidak.

mom_hectic_morning_webJadi, sekali lagi…mari kita nikmati, karena konon katanya bagi yang sudah mengalaminya….saat fase ke 7 dan 8, saat kita harus :melepas” anak-anak kita, “menyerahkan” anak-anak kita pada orang lain, seringkali “kehampaan” kita rasakan. Perasaan “saya dibutuhkan” yang ditimbulkan oleh ketergantungan anak-anak pada kita di masa usia sekolah ke bawah, tanpa kita sadari…..telah membuat kita, secara psikologis merasa “berharga”. “dibutuhkan” dan  “berarti”. Itulah mekanisme Rahman dan Rahimnya Allah, yang membuat skenario anak manusia, menjadi makhluk yang paling lama tergantung pada ibunya.

Jadi, sekali lagi mari kita nikmati. Penghayatan untuk menikmati momen yang tak akan terulang ini, semoga membuat kita tetap legowo dan bahagia saat kita harus “menunda” bahkan “melepas” keinginan kita mengembangkan diri, sekolah di luar negeri, jadi ini-itu….

Dalam kata lain….kita nikmati sehingga kita tetap well being….sejahtera jiwa raga 😉

Buat teman-teman yang belum dikaruniai pasangan dan momongan, yakin Allah tak akan dzalim. Ia pasti telah menciptakan nyala api kehidupan yang lain. Tumpukan tugas, aktivitas sosial, deadline skripsi-tesis atau disertasi, rutinitas ini, adalah nyala api kehidupan  yang Allah ciptakan buat kita.

Mari kita nikmati sajadah panjang di kehidupan kita, sebelum kenikmatan ini Allah ambil di akhir hidup kita.

Semangat !!!!

 

Menjadi “detektif” saat anak kita mengalami “regresi”

Sudah tiga minggu, mbak yang pulang pergi bantu ngurus rumah dan nungguin Hana si TK A sebelum saya datang, resign karena kesehatannya kurang memungkinkan. Maka, tiga minggu ini kami sekeluarga disibukkan dengan adaptasi terhadap hal tersebut. Kalau beberes rumah sih…ada solusinya meski tak ideal. Yang paling bikin bingung adalah gak ada yang pegang Hana. Akhirnya saya mengerahkan bantuan dari seluruh penjuru dunia. Haha…hiperbolis. Concern saya adalah, Hana tetep nyaman secara psikologis. Banyak sih alternatif untuk dititipin. Tapi yang bikin dia nyaman???? Akhirnya, solusi sementara ada janjian sama adik saya yang kuliah di Bandung…..hari-hari apa aja dia bisa jaga Hana. Di luar hari-hari yang adik saya gak bisa…saya akan usahakan pulang siang atau Hana dianter ke Jatinangor….Hhhhmmmm…

Di tengah keriweuhan adaptasi itu, Hari Senin dan Selasa minggu lalu, Hana berturut-turut nangis di sekolah. Berjam-jam. Pengen ke ibu.  Setelah ketemu saya, dia meluk eraaaaat banget. Trus dua hari itu, di rumah dia nempeeeel….banget. Fisically. Gak boleh ibunya gak kliayatan. Pengen dipangku terus. Itu kan perilaku anak umur 2-3 tahun….

Nah….perilaku seperti Hana ini, dalam psikologi disebut perilaku “regresi”. Artinya, perilaku anak “mundur” ke tahap sebelumnya. Nangis di sekolah pengen ke ibu kan perilaku anak umur 3 tahun…dan Hana, waktu di PG pun gak pernah kayak gitu. Perilaku-perilaku regresi lain yang sering ditunjukkan anak adalah mengalami gangguan tidur (misal mimpi buruk), ngompol/bab di celana, gak mau tidur sendiri, manja banget, ngemut jari…..dengan catatan, perilaku tersebut sudah lama ditinggalkan anak.

Seberat apa dan sejauh apa regresinya, tergantung dari seberapa berat ketidaknyamanan psikologis yang dialami anak. Temen saya yang di Klinis Dewasa, pernah menemui klien yang mengalami traumatis berat, terus-menerus mempertahankan posisi “meringkuk” seperti janin. Konon, secara teoretis ia “regresi” sedemikian jauhnya sampai ke tahap ia masih dalam kandungan ibunya.

Apa penyebab dari perilaku regresi ? secara sederhana, perilaku regresi disebabkan adanya ketidaknyamanan psikologis yang dirasakan anak. Sebagai orangtua, pastinya kita harus mengetahui apa sumber ketidaknyamanan anak. Setelah mengetahuinya, kita bantu anak untuk mengatasinya agar perasaannya kembali nyaman, secara psikologsi ia kembali aman.

Sayangnya, untuk mengetahui sumber ketidaknyamanan psikologis anak itu, ada yang gamblang-terang benderang misalnya pindah rumah, ortu baru bercerai, berpisah sama orang yang sangat dekat dengan anak, lahirnya adik….ada yang “sulit terdeteksi” oleh kita sebagai orangtua. Mungkin karena secara fisik di luar pengetahuan kita, atau mungkin buat kita itu bukan “masalah”.

Saya masih yakin bahwa teori yang menyatakan bahwa perilaku reresi pada anak disebabkan oleh adanya suatu ketidaknyamanan psikologis adalah benar. Oleh karena itu, kalau kita belum mengetahui apa sumber ketidaknyamanan anak, maka kita harus lebih peka untuk menjadi “detektif” sampai kita menemukan apa sumber masalahnya.

Menghadapi anak yang mengalami regresi, biasanya kita tidak sabar. Penyebab ketidaksabaran kita adalah:

(1) Ya…kesel aja….masa anak 6 tahun bab di celana…..masa anak 7 tahun  yang biasanya mandiri, tiba-tiba gak berani tidur sendiri… Saya memahamiiii sekali kekesalan ini. Saya juga 2 minggu lalu itu kesel banget sama Hana. Pengetahuan bahwa perilaku anak disebabkan oleh hal yang membuatnya tidak nyaman secara psikologis, semoga membantu meredakan kekesalan kita. Jahat banget bukan, kalau kita semakin “menambah ketidaknyamanan psikologis” anak dengan memarahinya. Yakinlah….perilaku anak itu bukan karena dia manja….

(2) Oke…kita sudah tahu bahwa perilaku regresi anak itu merupakan ekspresi ketidaknyamanan psikologisnya. Ada jebakan “ketidaksabaran” yang kedua. Kita ingin segera mengetahui apa yang menyebabkan anak tidak nyaman secara LANGSUNG dan VERBAL dari anak. Maka, tanpa sadar kita pun MENGINTEROGASI anak. “Kenapa sih? anak teman nakal di sekolah?”….”Ayo..ngomong atuh sama ibu..ibu gak akan tau kalau kamu gak cerita…” mungkin kita akan mengatakan hal itu.

Anak yang menunjukkan perilaku regresi, pastilah akan sulit untuk mengungkapkan permasalahannya secara verbal. Da kalau dia bisa mah gak akan regresi atuh….. Ada beberapa hal penyebab anak tidak akan bisa menyampaikan sumber ketidaknyamanannya secara psikologis:

a. Anak juga tidak tahu apa yang terjadi dengan dia. Kenapa dia merasa tidak aman, tidak nyaman…..

b. Kalaupun anak tahu, seringkali kemampuan bahasa anak masih terbatas untuk mengungkapkanya pada kita.

c. Nah, ini yang harus diwaspadai. Bisa jadi perasaan negatif dan rasa tidak aman yang dirasakan anak disebabkan oleh hal-hal yang amat berat untuk dia. Misalnya dia mendapatkan ancaman, atau pelaku ketidaknyamanannya adalah orang yang dekat dengan dia, dll dll.

Maka, menghadapi situasi ini…tak lain tak bukan….kita sebagai figur yang paling dekat dengan anak, haruslah menjadi detektif ulung. Gimana caranya?

(1) Pada anak, berikan keamanan dan kenyamanan yang amat dia butuhkan saat ini. Berikan toleransi pada dia. Pelukan erat dan hangat, elusan di kepala,  biasanya sangat dia butuhkan di saat ini. Berikan dengan tulus. Dia pasti membutuhkannya, apapun penyebab ketidaknyamanan dia dan masalah yang dihadapinya.

(2) Setelah anak merasa aman dan nyaman, biasanya akan lebih mudah bagi anak untuk membuka perasaannya. Tapi jangan harap langsung jreeeeeng….anak menceritakan semuanya secara terbuka. Tetep, butuh kesabaran. Mungkin anak menyampaikannya dalam bentuk simbol. Ini yang harus kita peka.

(3) Selama masa tersebut, cobalah untuk meluangkan waktu menemani aktifitas anak. Mengantar anak ke mobil jemputan, mengantar anak ke sekolah dan ke kelasnya, lalu coba untuk peka menangkap bahasa tubuh anak. Misalnya saat melihat sopir jemputan anak memegang erat-erat tangan kita, atau anak “mogok” pas masuk kelas…..itu pertanda ada sesuatu di situ. Setelah itu, coba “korek” perasaan anak. Perasaan….bukan kejadian. Misalnya: “kaka takut sama pak sopir?” Hindarkan kata tanya “kenapa”.  

Saya punya pengalaman dengan hal ini. Setahun lalu, setiap kali Hana masuk tol, dia pasti teriak-teriak: “gak mau ke jalan tol ! gak mau ke jalan tol !” Tentunya ia gak bisa ditanya kenapa. Akhirnya kita suka “bohong” bahwa ini bukan jalan tol, sambil saya peluk erat. Beberapa minggu kemudian, waktu saya tanya…kakak takut ke jalan tol? emang di jalan tol itu ada yang jahat ya? ada yang gak nyenengin kaka ya? dll dll….barulah dia bilang :“kaka gak mau ke jalan tol soalnya jalan tol berarti ke jatinangor. kaka gak mau ke sekolah jatinangor, soalnya **** nya nakal”. Oh, ternyata waktu dia dititip di day care di Jatinangor, dia punya pengalaman buruk sama salah seorang temannya.

(4) Buka pikiran……siapkan diri untuk menghadapi sesuatu yang di luar pikiran kita. Jangan bilang “ah, gak mungkin dia mengalami ini”

(5) Saat anak sudah “terbuka”, kita harus terus menjaga kepercayaan anak. “Keep calm” istilahnya mah. Jangan reaktif. Entah reaktif menyalahkan orang lain. Misalnya anak cerita bahwa dia dibully temannya, terus kita langsung marah-marah, “biar ibu laporan tuh anak ke guru….bla..bla..“… Itu akan berat buat anak. Karena pasti kalau ringan mah dia sendiri yang akan laporin ke bu guru. Khusus untuk kasus bullying, banyak anak yang kemudian semakin tertutup karena sikap orangtua nya yang konfrontatif terhadap temannya pelaku bullying. Yang paling gak boleh lagi kalau reaksi kita “marah” ke anak. “Kaka sih, gak bilang engga. Harusnya kaka lawan dong…” Wah, it akan menghancurkan kepercayaan anak pada kita.

(6) Saat anak sudah terbuka, nyatakan secara verbal kalau kita tetap akan melindunginya, dan bicarakan alternatif penyelesaian yang akan kita lakukan (pada anak yang masih muda, umum saja). Tetap, hayati dan pertimbangkan perasaan anak. Misalnya kita bilang ; “ya udah, ibu akan bilang ke bu guru agar anak itu dijauhkan dari kamu dan gak akan pukul kamu lagi”. Kalau dia bilang “tapi kata dia, kalau aku ngadu nanti dibilang cengeng” atau yang paling ekstrim misalnya, “kalau lapor aku mau dibunuh… “ Jangan abaikan perasaan itu dengan bilang…”tenang aja, ibu yang akan beresin”. Menjaga perasaan anak nyaman dan aman, penting sekali untuk kita perhatikan, agar peristiwa yang tak menyenangkan ini tak membekas secara permanen pada kondisi psikologis anak.

(7) Mengunjungi profesional (psikolog) bisa menjadi alternatif bila kita merasa tidak sanggup.

Saya pernah mengikuti workshop Play Therapy dengan instruktur tim psikolog dari Belanda, dan salah satu kasus yang disampaikan oleh mereka adalah, ada seorang ibu ynag menduga anaknay mendapatkan sexual abuse dari kakeknya, yang selama ini menjaga dia kalau ibunya pergi. Nah, si anak sampai akhir gak mau cerita. Tapi lewat beberapa media bermain, akhirnya bisa diketahui bagaimana perasaan anak dan apa yang terjadi.

Untuk masalah Hana, akhirnya di hari Rabu, dugaan saya mengenai penyebab ketidaknyamanan psikologis dia terungkap. PAs mau pergi sekolah diabilang: “nanti kaka  pulangnya dijagain siapa? (sambil mau nangis)”. Saya peluk dia.Saya bilang, selama kita belum ada mbak baru, Kaka jangan khawatir…akan ada om nya yang jaga, atau ibu yang jemput Kaka di sekolah, atau nanti kaka ke kampus ibu dan kita makan bareng di resto favoritnya. Dia pun tersenyum dan situasi kembali “normal”

……………………

Beberapa hari ini kita mendengar banyak cerita mengenai anak 5 tahun yang disodomi di sebuah sekolah internasional. Sedah banyak yang membuat tulisan mengenai mengajarkan anak bagaimana mengatakan “tidak”, atau mengenai pendidikan sexual.

Tulisan ini saya maksudkan untuk melengkapi sisi yang berbeda,  saat anak kita mungkin mengalami hal serupa (semoga Allah selalu melindungi anak kita dari keburukan).

Melalui tulisan ini juga saya ingin mengatakan pada semua ibu…..Saat ada hal yang tak baik pada anak kita….jangan berpikir itu akan “merusak” seluruh kehidupan anak kita ke depannya. Tidak ! pasti Allah tak akan dzalim. Peristiwa itu, jadi pelajaran buat kita. Tapi Allah juga sudah memberi ilmu untuk menghindari keburukan yang lebih lama. Psikologi, telah mengenal yang namanya RESILIENSI. Yaitu kemampuan seseorang _keluarga, ibu, anak, dll_ untuk “bounce back”- bangkit kembali dari kondisi psikologis yang terpuruk. Dan kita, sebagai ibu…punya peran penting dalam menjaga anak kita …. menghindarkan diri dari keburukan yang mungkin menimpanya, dan melindunginya saat keburukan itu telah menimpa, agar efeknya tak menghancurkan sisi hidup anak kita.

 

The reason for regressive behavior can be a big event in your child’s life that she finds disruptive. Some common causes of regression are the birth of a younger sibling, moving to a new home, changing schools, divorce, severe illness or death in the family, or high levels of stress in the family. – See more at: http://www.fisher-price.com/en_US/playtime/parenting/articlesandadvice/articledetail.html?article=tcm:169-25150#sthash.nugBRByk.dpuf

Saat anak kita mengalami kegagalan …..

Kalau ada yang bilang wanita itu tidak bisa mencintai lebih dari satu orang pada waktu yang sama, saya gak setuju. Karena saya bisa. Saya mencintai 4 orang yang berbeda, dalam waktu yang sama. Dengan cinta yang sama besar, namun berbeda rasanya. Empat orang itu tentulah anak-anak saya. Kaka Azka si hampir 11 tahun, Mas Umar si 8 tahun. Kaka Hana si hampir 5 tahun, dan de Azzam si 2 tahun.

Saya mencintai mereka sama besar. Mereka berempat sudah hafal cerita “empat gunung sayang” yang suka saya ceritakan, terutama meladeni request Hana. Saya bilang “ibu punya empat gunung sayang. Satu gunung buat Kaka Azka, satu gunung buat Mas Umar, satu gunung buat de Azzam…….” saya menikmati sekali saat Hana bertanya “Satu gunung lagi buat siapa?” dengan wajah ekspresifnya yang cemas….biasanya, sengaja saya menunjukkan wajah bingung. “Buat siapa ya……buat ab……” nah, dia biasanya sampai nangis kalau dibilangin gitu. Tapi begitu saya bilang “satu gunung lagi buat  si kriwil yang istimewa” ….binar matanya yang rada sipit itu terlihat jelas sambil jerit-jerit kegirangan atau peluk-peluk dan cium basah haha…

Seperti semua ibu yang lain, saya mencintai mereka sama besar namun dengan “romantisme” yang berbeda. Saya punya memori-memori yang tak terlupakan dengan masing-masing dari mereka. Dan, dalam tulisan ini yang ingin saya ceritakan adalah memori bersama Kaka Azka. Saya punya “chemistry” yang kuat dengan Azka. Mungkin karena sama-sama anak pertama. Daaan…kalau Umar itu adalah “little abah”, maka Azka adalah “kembaran ibu”  kata si abah. Mulai dari hal-hal yang positif seperti rajin belajar, gemar menabung dan banyak sahabat haha….sampai hal negatif misalnya cara marah hehe….

azkaWaktu kelas empat, Azka pengen banget jadi dokter kecil. Karena cita-citanya ingin jadi dokter. Saya mendukungnya sepenuh hati. Dan saya pun menyemangatinya dengan menceritakan bagaimana dulu pun saya menjadi dokter kecil waktu SD. “Kebanggaan” memakai jas putih dokter itu, semangat saat mengikuti lomba dokter kecil antar sekolah….dll dll. Sayangnya karena kuota untuk jadi dokter kecil di sekolah Azka terbatas, dilakukan seleksi. Seleksinya 2 tahap. Tulis dan praktek. Di semester pertama dia ikut test, dia gagal. Semester selanjutnya, saya kembali mendorong dia. Dia pun rajin menghafalkan materi-materi yang akan diujiankan. Sampai suatu hari dengan riang dia mengatakan lolos seleksi tertulis. Tinggal test praktek.

Saya ingat banget saat itu suatu sore, sepulang sekolah dia dibawa sopir menjemput saya. Dengan ragu dia berkata…“bu, Kaka gagal lagi”. “Oh kenapa?” saya tak berhasil menyembunyikan kekagetan saya. “Iya, tadi kan ujian prakteknya disuruh praktek P3K membalut luka, terus dikasih batas waktu. Pas waktunya habis Kaka belum selesai“. Saya ingat betul apa yang saya rasakan saat itu. Saya ingat bahwa saya tidak tahu apa nama perasaan yang saya rasa. Yang jelas, rangkaian kalimat ini yang dengan lancar keluar dari diri saya adalah: “tuh kan..ibu kan udah bilang…Kaka itu, kalau apa-apa itu harus lebih cepet. Udah sering loh, ibu bilang gitu. Nah, akibatnya gini kan….Makanya, coba kaka turutin ibu…berusaha lebih cepet kalau apa-apa teh”. Tapi syukurnya, kalimat itu hanya terucap dalam hati.

Ada yang menahan saya untuk tak mengucapkannya. Yaitu kata-kata Azka selanjutnya. “Tapi gak apa-apa bu….banyak kok temen-temen Kaka juga yang gagal”. Dia menyebutkan beberapa nama sahabatnya. “Lagian kan, Kaka mungkin masih bisa ikut lagi semester depan. Kaka akan berusaha lebih keras”. Hiks..hiks…kenapa sekarang jadi berlinang ya…persis seperti saat itu. Saya sangat mengenal kalimat itu. Bukan persis kalimatnya. Tapi “pesan” yang ingin disampikan dibalik kalimat itu.Itu adalah “pesan” yang selalu saya sampaikan pada mama, pada papa saya saat saya mengalami “kegagalan”. “Menghibur mereka”. Karena saya merasa, telah mengecewakan mereka”. Saya harus menunjukkan bahwa saya kuat, I’m oke. Tapi benarkah saya sekuat itu?

Dalam waktu sepersekian detik, saya pun teringat satu pengalaman. Saya pernah bertemu seorang anak remaja. Dia gagal masuk di jurusan-jurusan yang diinginkannya di perguruan tinggi. Ibunya yang terlebih dahulu berkata pada saya, menyampaikan betapa hancur hatinya, betapa cemas dia akan masa depan anaknya. Si ibu pun mengatakan anaknya malah “lempeng-lempeng aja”. Lalu saat saya bertemu si anak, ia menyampaikan sesuatu yang tak pernah saya duga. “Ibu pikir saya tidak kecewa dengan kegagalan saya? saya kecewa bu, sedih, hancur. Dan saya harus mengatasi kekecawaan saya, juga mengatasi kekecewaan orangtua saya”.

Saat itu, saya ingat betul, saya “tersadar” dan memeluk Azka dengan erat. Saya …. secara “refleks” hampir saja akan menjadi ibu yang menambah beban bagi anaknya. Saya tahu, Azka kecewa. Sangat kecewa. Sedih, sangat sedih. Ia begitu ingin menjadi dokter kecil. Tapi dia berusaha tegar. Sikap ibunya membuatnya harus berusaha mengobati kekecawaan dan kesedihannya seorang diri, PLUS mengatasi kekecewaan ibunya. Waktu itu lalu saya tanya….“Kaka sedih ya?” dan pecahlah tangisnya. Kami pun berdua berpelukan sambil menangis. Saya usap-usap kepalanya. Saya tak mau bilang apa-apa. Takut terdengar sebagai basa-basi. Saya cuman mau peluk dia, semoga dia merasa bahwa dia tak perlu merasa  harus menguatkan diri. Saya maluuu sekali. Saya hampir melakukan satu kesalahan fatal. Seharusnya, sebagai seorang ibu saya yang “melindungi” dia, bukan dia yang berusaha “melindungi” saya.

Ya, salah satu hal terindah yang saya pelajari dari anak-anak saya adalah, bagaimana saya harus terus…terus dan terus belajar untuk mencintai mereka. Dalam keadaan apapun. Peka menghayati perasaan mereka, bersikap “bijak” menemani mereka dengan tulus, tanpa syarat. Saat anak kita mengalami kegagalan, yang mereka butuhkan adalah dukungan. Bukan celaan. Ya, seringkali kekecewaan kita sebenarnya lebih pada karena kita merasa bahwa keberhasilan yang seharusnya diraih itu, sangat penting buat anak kita. Kita sangat ingin anak kita bahagia dan berhasil mencapai apa yang kita inginkan. Sayangnya, sikap kita secara spontan sama sekali tak menggambarkan hal itu. Mungkin karena kita terlalu egois untuk lebih peduli pada perasaan kita dibanding perasaan anak kita.

Kaka Azka, Ibu love You…More and more…

Merenungi marah kita pada anak….

Teman-teman yang sudah jadi ibu, pernahkah kita marah pada anak? Kalau jawabannya “tidak pernah” ….ah, saya gak percaya….haha…. #ngapain nanya#

Pernahkah kita liyat ibu yang marah pada anaknya? saya pernah. Waktu itu si anak usia 5 tahun “mengganggu” ibunya yang tengah dengan penuh perasaan “curhat” pada temannya. Tampaknya topiknya sangat serius, karena si ibu “curhat” dengan penuh emosi. Si anak minta dianter pipis. Si ibu, tentu saja merasa terganggu dan meminta anak untuk pipis sendiri. Itu di tempat umum. Saya paham kalau si anak enggan. Kedua kalinya si anak minta dianter ibu, si ibu bereaksi dengan sangat marah, menjewer telinga si anak sekeras-kerasnya….sambil mengatakan si anak manja, penakut, dll dll….Si anak menangis. Saya pun berkaca-kaca. Terbayang rasa sakit yang dialami si anak, karena dari ekspresi wajah si ibu, tampaknya si ibu benar-benar melakukannya dengan sekuat tenaga, dengan sepenuh kemarahan yang dia punya.

Peristiwa itu memunculkan satu pertanyaan pada diri saya. Ibu itu, sebenarnya marah pada anaknya karena anaknya melakukan kesalahan, atau anak itu adalah pelampiasan dari kemarahannya pada hal lain? Pertanyaan itu menjelma menjadi cermin besar buat saya. Tiba-tiba saya menjadi begitu ingin mengingat-ingat….setiap kali marah pada anak-anak saya, apakah itu karena ulah mereka, atau karena saya sedang kesal pada sesuatu dan menumpahkannya pada mereka?

Sejak saat itu, saya iseng “men-tally” setiap kali saya ngomel ke anak-anak, apa penyebabnya. Daaaan….ternyata, hipotesis yang saya rumuskan dalam hati terbukti benar. Bahwa sebagian besar kekesalan saya pada anak-anak saya, bukanlah karena murni anak-anak saya, tapi karena kekesalan saya pada hal lain. Yups…memang sih, Azka kalau dipanggil lama untuk keluar kamarnya….tapi kalau mau jujur, harusnya saya tak se”marah” itu ….saat itu saya marah besar karena lagi sebel sama bos saya.  Ya….kayak gitu-gitu lah kejadiannya.

Kalau mau jujur, banyaaaak sekali kekesalan kita pada anak, bukanlah karena perilakunya. Saat kita omelin anak kita di restoran karena “gak mau diem” misalnya, mungkin itu karena kita kesal kenapa pesanan makanan kita gak dateng-dateng. Saat kita “mencubit” anak kita yang merengek minta jajan misalnya, mungkin itu karena justru pikiran kita lagi pusing karena sedang bokek, dll dll.

Pernahkah teman-teman memarahi panjang lebar anak padahal sebenarnya ditujukan pada suami kita? misalnya: “Kaka, kenapa sih kalau handuk tuh gak dijembrengin di tempatnya…kalau kaka gak biasain dari kecil, nanti sampai besar teruuus aja kayak gini” (sambil lirik suami kita). Atau saat kita kesel karena suami lagi “nyantei” trus gak “proaktif” bantu kita yang kerepotan  ngurus anak-anak, pernah gak ngomel panjang lebar gini….”Adik…kenapa sih apa-apa teh mau sama ibuuuu terus….ibu kan cuman punya dua tangan….emang engga ada orang lain ya, yang bisa adik mintain bantuan?” haha….kok saya menghayati banget gini ya…..maklum, pengalaman pribadi haha….

displacementNah, yang kayak gitu tuh kalau kata om Freud, namanya “displacement”, yaitu suatu upaya “pertahanan diri” dimana kita menumpahkan emosi negatif yang kita rasakan dari orang yang lebih superior dari kita, pada orang yang lebih “inferior” dari kita.

Daaaan…it’s unfair !!! absolutely ! marah yang kayak gini tuh biasanya gak efektif. Kan katanya marah yang efektif itu bisa mengubah situasi. Tapi kalau marahnya model ngomel karena melampiaskan emosi gini, biasanya gak ngefek apa-apa ke anak. Apalagi anaknya masih kecil, yang perkembangan persepsi auditorynya masih terbatas. Mana bisa dia nangkep inti pesan dari serentetan kata-kata omelan yang keluar dari mulut kita….Yang akan anak pelajari dari kita adalah, bahwa kekesalan itu bisa ditumpahkan pada orang lain yang lebih lemah. Maka, jangan heran kalau si kakak sedang kesal pada temannya di sekolah, si adik jadi sasaran kemarahan.

Jadi lain kali, kalau mau marah atau ngomel ke anak, stop….brenti dulu…hayati dulu…apakah mereka memang melakukan sesuatu kesalahan sehingga “layak”  menerima kemarahan ini?  atau karena kita butuh seseorang yang lebih lemah dari kita untuk melampiaskan kemarahan kita?  #ini self talk buat saya# 😉

sumber gambar: http://blogasarea.files.wordpress.com/2010/12/displacement.png

Previous Older Entries