Tulisan ini sebenarnya di luar mainstream topik yang biasa saya tulis. Tapi karena ada rikues dari dek Hari di Prancis sana, sambil menunggu Umar dan Hana dioprek giginya di dokter gigi, saya coba untuk menuliskan pengalaman dan penghayatan saya hidup nyaman di tengah perbedaan.
Sekali lagi, karena saya bukanlah social psychologist, saya tak akan mengutip referensi tertentu; referensi yang saya gunakan adalah murni pengalaman dan penghayatan saya.
Jujur saja, rasanya saya tidak pernah hidup dalam suatu lingkungan yang benar-benar homogen dalam segala sisinya. Dan sebagai seorang psikolog, pendidikan saya selalu menempa, mendrill saya untuk melihat dan “memahami” perbedaan. Tanpa itu, sebagai psychologist saya tak akan survive. Karena “memahami” perbedaan ini adalah pintu masuk dari “helping relationship” yang menjadi inti profesi ini.
Namun cikal bakalnya, tak pernah saya lupakan adalah pengalaman di Karisma. Saya ingat sekali, ada seorang akang penganut sebuah “aliran” yang “cukup ekstrim” saat itu. Apakah beliau “direject”? Tidak. Saya ingat beliau dulu diminta menjadi narasumber. Karena prinsip beliau ikhwan akhwat tak boleh saling melihat, maka disiapkanlah hijab antara ikhwan-akhwat dan beliau mengisi di tempat ikhwan. Saya ingat saat itu kami para akhwat bandel bebas mendengarkan materi sambil tidur-tiduran.
Di Karisma saat saya beraktifitas, ada kelompok yg terkenal dengan “liqo”nya, ada yang “dunia lainnya” adalah Menwa, teater, ada yang berprinsip pakaian yang baik itu adalah jubah dengan kerudung panjang, ada yang termasuk golongan “ikhwit” kayak saya yang merasa “there’s nothing wrong with celana panjang”.
Perdebatan? Seru pastinya…saya ingat dulu ada sahabat yang rajin ikut pengajian kang Jalal dan sering saya pinjem koleksi buku kang Jalalnya, kalau debat sama teman yang rutin liqo, bisa panjaaaaang….banget. Tapi ya itu…no hurt feelings.
Justru keuntungannya buat saya yang culun, adalah saya seperti orang yang kehausan, dan dikucurin beragam minuman menyegarkan. Kalau di kartun mah, masa itu saya banyaaaaak banget ber “ooooo” ria đ
Mungkin karena saya merasakan serunya berbeda, maka pengajian yang saya pilih pun adalah pengajian yang menyerukan “indahnya perbedaan”. Waktu ke tanah suci, saya pilih KBIH DT. Kelompok kami ada yang bercadar, ada yang “celananya ngatung”, ada yang hijaber seksi, ada yang belum berkerudung, ada yang ustadz, ada yang masih merokok…ada yang berpendapat ini, itu, ini, itu dalam ibadahnya. Tapi kami nyaman-nyaman aja. Dua pembimbing haji kami, kalau imamin sholat subuh yang satu pake qunut yang satu lagi engga.
Pengajian rutin yang saya ikuti adalah pengajian Percikan Iman Ustad Aam Amiruddin. Mungkin nyambung sama saya karena sama-sama akademisi. Beliau yang doktor komunikasi, bisa menyampaikan pesan-pesan agama dengan cara yang amat menyenangkan namun mendalam, serta menghargai perbedaan. Di majelis percikan iman, beragam warna seperti yang saya temukan di DT, juga bisa dijumpai. Di tempat kerja, keunikan setiap teman saya amat beragam. Prinsip hidup, cara berpikir, dll dllnya sangat beragam, dan orang psikologi biasanya pede menampilkan “keunikan” dirinya.
Kalau saya abstraksikan pengalaman dan penghayatan saya sehingga nyaman hidup dalam perbedaan, mungkin bisa saya sampaikan dalam poin-poin di bawah ini.
A. Secara Filosofis
1. Perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Gak mungkin kita hindari. Sebagai muslim, kita bisa berkaca pada banyaaaak sekali siroh yang menjelaskan perbedaan pendapat para sahabat. Kita pun tahu bagaimana sikap Rasulullah terhadap perbedaan itu. Saya kutip salah satu kisah siroh dari http://pang5kholid.wordpress.com/2010/02/19/berbeda-pendapat-bolehkah/
Sewaktu Nabi saw dan para sahabatnya jihad perang khandak yang di menagkan kaum muslimin mereka tidak langsung pulang. Tetapi mereka diseru oleh Nabi saw. Untuk langsung berangkat jihad melawan Israel Bani Qraidhah karena telah menlanggar perjanjian dengan negara Islam yang berdaulat. Di tengah-tengah persiapan pasukan rupanya Nabi saw. Menginginkan segera sampai di daerah Bani Quraidhah. Nabi saw bersabda : ââJanganlah salah seorang dari kalian melaksanakan Shalat Ashar kecuali di (daerah) Bani Quraidhahââ maka para sahabat ketika di tengah perjalanan waktu Ashar mau habis mereka berhenti dan bertukar pikiran mengenai Shalat Ashar tersebut. Kemudian mereka berselisih pendapat terhadap seruan Nabi saw diatas. Diantara mereka ada yang melaksanakan shalat ashar di tengah perjalanan karena waktu shalat ashar mau habis. Mereka memahami maksud dari ucapan Nabi saw. Tersebut adalah menyuruh segera berangkat dan berjalan dengan cepat-cepat hingga karena jalan cepat itu waktu shalat ashar itu masih ada ketika pasukan sudah sampai di Bani Quraidhah. Dengan demikian pasukan bisa melaksanakan shalat ashar di daerah Bani Quraidhah. Adapun sebagian sahabat yang lain tetap tidak melaksanakan shalat ashar ditengah perjalanan. Mereka akan shalat ashar nanti setelah sampai di Bani Quraidhah. Mereka demikian karena memahami ucapan Nabi saw. Memang pasukan dilarang shalat ashar kecuali di daerah Bani Quraidhah. Meskipun ternyata mereka melaksaakan shalat ashar di Bani Quradhah telah habis waktunya. Ketika kepada Nabi saw tentang peristiwa ini, maka Nabi saw membenarkan semuanya. Dan sahabat tidaklah berpecah belah walaupun telah terjadi perbedaan pendapat.
2. Tidak harus perbedaan itu bermuara pada satu “kesepakatan”. Banyak perbedaan di dunia ini yang harus kita sikapi dengan …”Biarkanlah hal itu berbeda”
Seringkali kita membuang banyak energi psikologis karena memandang hal yang berbeda itu harus sama. Dan biasanya, “sama” itu berarti sama dengan kita. Kita menuntut pasangan untuk punya hobi yang sama dengan kita, menuntut teman kerja untuk bekerja dengan cara yang sama dengan kita, menuntut sahabat kita untuk sama “wise”nya dengan kita….
B. Secara “psikologis”
1. Active listening.Â
Nah, kemampuan ini penting banget nih….Saat ada yang berbeda, jangan dengar. Tapi dengarKAN. Kalau kita mau mendengarkan, kita akan bisa secara utuh memahami landasan berpikir orang tersebut, dan secara objektif bisa menilai bahwa perbedaan itu mungkin tidak hitam-putih. Ada persamaannya di titik ini, ada perbedaannya di sudut itu. Active listening juga membuat kita bisa memahami apa “dibalik” kata-kata verbal yang diungkap orang lain. Dan, mungkin kita akan terkaget-kaget kalau ternyata perbedaan itu dipicu oleh keinginan yang sama dengan keinginan yang kita miliki.
Saya pernah punya dua pengalaman dengan hal ini. Satu waktu saya di Karisma. Ada sahabat yang ingin melebarkan pendekatan ke remaja, namun idenya kurang didukung mayoritas yang membuatnya naik pitam. Waktu ngobrol dalam keadaan tenang, tahulah saya bahwa cara yang ia inovasikan itu diawali oleh keinginan besar dirinya untuk mengajak remaja ke arah kebaikan. Hanya memang caranya, waktu itu dirasa keluar dari koridor organisasi kita. Tapi memahami bahwa dia punya greget yang sama, itu membuat pandangan saya jauh berbeda terhadapnya, tidak menganggapnya sebagai “lawan yang harus dikalahkan”.
Pengalaman kedua, terkait sama ustadz seleb. Saya tidak pernah mau mendengarkan ceramahnya. Sampai suatu hari, saya accidentally mendengar bagaimana ia mengajak remaja-remaji untuk tak pacaran karena mendekati zina, dll dll…oh, ternyata kita punya pandangan yang sama. Hanya caranya yang berbeda…segmennya yang berbeda…
2. Jangan merasa bahwa kita paling benar.
Perbedaan itu, pandanglah sebagai differensiasi. Bukan sebagai stratifikasi. Penghayatan bahwa kebenaran itu banyak bentuk dan jalannya harus kita pegang. Saya ingat waktu di tanah suci, setiap orang di kamar saya punya cara masak mie instan yang berbeda. Saat kita memandang bahwa “ada banyak cara masak mie yang sama-sama benar”, masalah itu jadi kecil. Tapi buat yang merasa bahwa “cara masak mie saya yang benar, yang lain salah” … itu bisa membuat sekian banyak energi psikologis yang seharusnya difokuskan untuk ibadah, jadi tersita.
Banyak sekali pengalaman saya berinteraksi dengan orang-orang yang saya cap “tidak bagus”, setelah saya mengenal mereka, wow! banyak “hal baik” yang bisa saya temukan. Keberbauran kita hanya bisa terjadi kalau kita tak “membuat pagar” terlebih dahulu dengan mereka. Apalagi kalau “pagar”nya gak penting banget: beda gaya jilbab, beda partai, beda profesi, dll…
3. Hayati bahwa “pilihan seseorang ” (pemikiran, sikap, dll) dilandasi oleh pengetahuan, pengalaman dan karakteristik kepribadiannya.Â
Nah, ini poin favorit saya. Dan kisah siroh favorit saya mengenai hal ini saya kutip dari http://rumaysho.com/shalat/panduan-shalat-witir-1006:
âNabi shallallahu âalaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar, â Kapankah kamu melaksanakan witir?â Abu Bakr menjawab, âSaya melakukan witir di permulaan malamâ. Dan beliau bertanya kepada Umar, âKapankah kamu melaksanakan witir?â Umar menjawab, âSaya melakukan witir pada akhir malamâ. Kemudian beliau berkata kepada Abu Bakar, âOrang ini melakukan dengan penuh hati-hati.â Dan kepada Umar beliau mengatakan, âSedangkan orang ini begitu kuat.â (HR. Abu Daud no. 1434 dan Ahmad 3/309. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Saat seorang begitu keukeuh dengan pilihannya terhadap partai X, coba hayati….mungkin partai itu sangat bernuansa kekeluargaan. Dan kehangatan keluarga, adalah kebutuhan psikologis yang besar buat orang tersebut. Dll…dll. Saat ada teman kita yang kurang “pas” perilakunya, coba hayati kebutuhan psikologis apa yang mendorongnya….sejauh mana pengetahuannya, dll.
4. Gunakan kacamatan “abundant mentality“, bukan “scarcity mentallity“.
Abundant mentality adalah mental berkelimpahan, yang memandang bahwa lingkungan punya sumberdaya. Jadi, jangan pikir bahwa segala sesuatu itu hanya kita yang punya, golongan kita yang bisa, partai kita jagonya. Ini berarti yang ia miliki adalah scarcity mentallity, mental kelangkaan. Namun kalau melihat bahwa masing-masing kita yang berbeda ini sebagai puzzle, maka pasti kita akan merasa lebih nyaman.
Saya belajar banyak mengenai hal ini dari salah seorang bos saya. Ada beberapa orang teman yang “tidak produktif bekerja” namun punya relasi luas. Oleh boss saya, teman yang “tidak produktif bekerja” ini ditempatkan di posisi untuk menjalin relasi. Sukses! si “produktif bekerja” menjadi terbantu dengan relasi yang dibangun temannya. Berorganisasi, bekerjasama, berpartai, bertetangga, apapun itu….akan lebih nyaman dan melegakan kalau pake kacamata abundant mentallity.
5. The sast but not least, saya suka banget kata-kata John Nash dalam film Beautiful Mind. Kita tak bisa menghilangkan, namun kita bisa mengabaikan. Yups…perbedaan tak akan bisa dihilangkan namun bisa kita abaikan. Gak peru kita ngomentarin, berdebat dengan orang yang berbeda dengan kita, kalau memang urusannya gak penting-penting amat. Pilihan capres misalnya…
Apakah semua poin tersebut membuat kita jadi tak peka untuk mengingatkan teman-teman kita yang “berbeda” dalam artian mereka melakukan keburukan? Tentu tidak. Mengajak itu perlu. Apalagi mengajak dalam kebaikan. Harus itu. Namun kalau kita sudah mengajak tak berhasil, sudah gugur kewajiban kita. Tinggal kita berpegang teguh pada apa yang kita anggap benar, sambil menghargai perbedaan yang ada.
Recent Comments