#Fragmen 1# Umar, 5 tahun . “Bu, ini Borma ya? mas Umar gak akan turun ya? kalau turun nanti mas Umar tergoda untuk beli cd ultraman, terus nanti mas Umar ngamuk”
#Fragmen 2# Abah, 37 tahun. “De, aku gak ikut ke dokter ya…nanti aku marah sama dokter itu”
………
Dua fragmen itu membuat hati saya senang. Kenapa? nanti saya ceritakan. Saya mau cerita yang lain dulu.
Beberapa waktu lalu, saya menulis status tentang Mas Umar, si 8 tahun yang bilang bahwa ia “suka” sama seorang teman perempuannya. Waktu saya tanya “emang suka itu rasanya gimana sih mas?” Dia menjawab “setiap kali ngeliat ******* teh, Mas Umar teh seperti tersenyum dalam hati”.
Di luar dugaan saya, comment terhadap status itu tidak seperti yang ingin saya ungkapkan. Ini bukan mengenai benar atau salah…..Hanya berbeda saja. Nada-nada dari komentar-komentar terhadap status itu, arahnya “berbeda” dengan apa yang saya rasakan. Emang apa yang saya rasakan. Senang. Kenapa? karena Umar sudah memiliki ketertarikan pada lingkungannya, pada orang lain. Lebih senang lagi ketika dia bisa menggambarkan perasaannya dengan penghayatan yang original. “Rasanya seperti tersenyum dalam hati” itu, buat saya adalah kalimat yang romantiiiiis banget. Super senang, karena itu keluar dari mulut Umar. Anak yang saya khawatirkan dalam aspek sosialnya, karena ia kurang tertarik pada relasi interpersonal.
Rasa senang saya itu, didasari oleh penghayatan saya bahwa “mengenali emosi diri”, adalah kompetensi dasar dari apa yang disebut “kecerdasan emosional”. Sejak Daniel Goleman meluncurkan bukunya Emotional Intelligence tahun 1995 silam, maka pemahaman bahwa ada kecerdasan yang lebih “powerfull” selain kecerdasan intelektual mulai merebak.
Yups, bukti-bukti memang menunjukkan bahwa seringkali, emosi seseorang “mensabotase” kemampuan berpikirnya, sehingga kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang menjadi “tak ada gunanya” pada kehidupan nyata. Dalam berumahtangga, dalam bertetangga, dalam pendidikan, dalam bekerja…..
Lalu, apa sih yang disebut dengan “kecerdasan emosi” itu? intinya ialah, bagaimana sesorang dapat mengendalikan emosinya, sehingga tak “mengganggu”. Dan…..pengendalian emosi itu diawali dengan kemampuan dasar: memahami emosi diri.
Dari link http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/balita/psikologi/5.kecerdasan.emosional/001/007/846/1/1; kita mendapatkan gambaran tahapan dari kecerdasan emosi ini:
- Kemampuan Mengenali Emosi Diri: anak kenal perasaannya sendiri sewaktu emosi itu muncul. Seseorang yang mampu mengenali emosinya akan memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan yang muncul seperti senang, bahagia, sedih, marah, benci dan sebagainya.
- Kemampuan mengelola emosi : anak mampu mengendalikan perasaannya sehingga emosinya tidak meledak-ledak yang akibatnya memengaruhi perilakunya secara salah. Meski sedang marah, orang yang mampu mengelola emosinya akan mengendalikan kemarahannya dengan baik, tidak teriak-teriak atau bicara kasar, misalnya.
- Kemampuan memotivasi diri : anak dapat memberikan semangat pada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Ia punya harapan dan optimisme yang tinggi sehingga memiliki semangat untuk melakukan suatu aktivitas.
- Kemampuan Mengenali Emosi Orang Lain: balita bisa mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain, sehingga orang lain merasa senang dan dimengerti perasaannya. Kemampuan ini sering juga disebut sebagai kemampuan berempati. Orang yang memiliki empati cenderung disukai orang lain.
- Kemampuan membina hubungan: anak sanggup mengelola emosi orang lain sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang lebih luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung punya banyak teman, pandai bergaul dan populer.
Jadi…sudah paham kan, mengapa saya senang dengan dua fragmen di awal tulisan ini?
Yups……di fragmen 1, saya senang karena Umar telah menghayati bahwa ia suka tidak bisa mengendalikan dirinya untuk menginginkan cd ultraman, meskipun aturannya adalah jatah membeli cd dua minggu sekali (waktu itu dia lagi tergila-gila dengan ultraman). Ia sudah mengenali emosi yang ia rasakan. Dan ia sudah belajar lanjut ke tahap 2, yaitu mengelola emosinya dengan melakukan “pencegahan” agar itu tak terjadi.
Di fragmen 2, si abah sangat tidak suka dokternya yang cenderung meremehkan orang lain dan kurang punya keterampilan “doctor-patient communication”. Saya senaaaaang sekali karena si abah yang “lempeng” ini sekarang peka dengan perasaannya, dan seperti Umar, jadi bisa mengantisipasi situasi.
Khusus untuk “menghayati perasaan” ini…saya ingin bilang….saat anak kita merasakan cinta yang begitu mendalam, marah yang amat sangat, kesal yang menyebalkan….sedih yang amat mengiris hati….biarkanlah rasa itu mereka rasa dan hayati. Jangan dipotong dengan kata-kata “eh, kecil-kecil udah cinta-cintaan”…atau “gak boleh marah….”….”lebay banget gitu aja sedih…”
Biarkanlah cinta itu bersemi, rasa itu terhayati…karena dengan cara itulah ia akan bisa menghayati emosi yang dirasakan oleh orang lain.
Semoga anak kita menjadi anak yang tumbuh dewasa dengan berupaya tak melukai perasaan orang lain, karena ia tahu rasanya sedih. Tak mengganggu orang lain, karena ia tahu rasanya kesal dan marah, dan selalu menyenangkan orang lain karena ia tahu rasanya bahagia.
Khusus untuk rasa cinta, dulu saya inget banget istilah “Virus Merah Jambu”, yaitu rasa suka dan cinta yang biasanya dirasakan para “aktivis islam”. Ada yang berpendapat itu harus ditumpas. Menurut saya tak perlu. Biarkan rasa itu bersemi, namun sedari kecil kita harus ajarkan anak-anak kita mengendalikannya. Jangan vulgar mengekspresikan cinta, sama pentingnya dengan mengajarkan anak kita “marah boleh tapi gak boleh memukul”, “kesal boleh tapi gak boleh banting pintu”.
Saya kadang suka iri sama teman-teman yang merasakan saling cinta secara mendalam, namun bisa mengendalikannya, dan ketika saatnya tiba, mereka bersatu dan bersama….semoga rumahtangga mereka menjadi terasa sangat bahagia.
Sebagai muslim, ada satu persitiwa yang menggambarkan bagaimana siroh mengajarkan kecerdasan emosi ini. Saya kutip dari http://m.dakwatuna.com/2012/09/06/22682/seperti-ketersadaran-ali/ :
Dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib berhasil melumpuhkan musuhnya. Jika ingin, mudah saja baginya mengayunkan pedang guna memenggal kepala lawannya. Namun tak ia lakukan itu. Mengetahui Ali tidak segera bertindak, musuh Allah tersebut justru meludahi wajah Ali. Sungguh ejekan yang menghinakan. Diperlakukan demikian, Ali naik pitam. Alih-alih menghabisi lawannya, Ali justru menurunkan pedangnya. Ia urung memenggal. “Mengapa engkau tak jadi memenggal kepalaku?” tanya musuhnya heran. “Ketika aku menjatuhkanmu, aku ingin membunuhmu karena Allah. Akan tetapi ketika engkau meludahiku, maka niatku membunuhmu karena marahku kepadamu.” tukas Ali.
Penghayatan terhadap emosi diri yang ditunjukkan Ali Bin Abi Thalib, mengajarkan pada kita….bahwa penghayatan perasaan, adalah langkah awal untuk menuju kebahagiaan dan keselamatan.
Hayatilah perasaan kita, lalu kendalikan. Karena tak mungkin Allah menciptakan rasa, kalau tak ada gunanya.
Recent Comments