Mengajarkan empati pada anak, kapan bisa kita mulai?

Tanggal 31 Maret kemarin, kami merayakan ulang tahun Azzam yang ke-2 dengan membawanya ke Borma Cihanjuang, dan membolehkannya bermain di sana sepuasnya. Murah…gak nyampe 50 ribu hehe…. Di umurnya 2 tahun ini, Azzam lagi seneng banget sama kuda. Kalau gak naik kuda dan delman beneran, maka dia minta naik kuda dan delman di Borma. Tapi dengan gaya naik kuda dan delman beneran haha….

Selain wahana naik kuda dan delman, di Borma ini dia juga paling seneng naik kereta api. Naaah….saya punya satu kenangan terkait dengan wahana kereta api di Borma ini. Sayangnya bukan kenangan manis.

Beberapa bulan yang lalu, seperti biasa sambil jemput Azka dan Umar, saya membawa Hana  dan Azzam ke Borma. Belanja yang dibutuhkan dan membolehkan Azzam main di sana. Waktu itu Azzam lagi seneng banget naik kereta api. Maka, dia pun mengantrilah. Ada 3 anak lain yang udah duluan ngantri. Jadi sambil nunggu, saya alihkan dia untuk naik wahana lain. Pas jatah seorang anak, naiklah si anak. berarti Azzam ada di antrian ketiga. Dua anak lainnya udah pada rewel. Azzam, karena masih kecil jadi masih  mudah dialihkan. Tapi saya sambil mengamati apa yang terjadi. Si ibu anak yang naik tadi, tentunya melihat bahwa anak-anak lain yang mengantri itu sudah pada gak sabar. Tapi begitu kereta berhenti, dengan lempengnya dia bilang sama si anaknya…“mau lagi?” katanya. Si anak umur 3 tahun itu mengangguklah. Okeh. kereta api pun berputar kembali. Dua anak yang menunggu tambah rewel. Kereta pun berhenti. Si ibu menghampiri anaknya. “Mau lagi?” katanya. Ya ampuuuuun..beneran tepok jidat deh…..dan…demikian sampai keempat kalinya. Tentu Azzam akhirnya gak jadi naik si kereta api. Udah ilfil sayanyah.

Dengan semangat 45 saya ceritakan kejadian itu pada si abah. “Gila banget tuh ibu…gak empati banget….bla..bla..bla…“. Dan dengan cool nya si abah menjawab…“Yo yang salah ibu…mungkin dia gak ngeuh…harusnya dikasih tau dong baik-baik…..” Ya..ya..ya…sata tau, harusnya saya ber amar ma’ruf nahi munkar pada si ibu, mengingatkannya. Tapi…sebagai seorang peace maker sejati, mana bisa saya berbuat demikian….

Tapi dari lubuk hati yang paling dalam, saya benar-benar menyesalkan sikap si ibu itu. Harusnya justru moment tersebut dijadikan media untuk si ibu mengajarkan empati sama anaknya. Tapi…..emang anak umur segitu udah bisa diajarin empati?

Malamnya, pertanyaan saya terjawab oleh papernya Nicole M. McDonald & Daniel S. Messinger dari Departemen Psikologi Universitas Miami yang berjudul The Development of Empathy: How, When, and Why. Saya akan coba semampu saya menyampaikan apa yang ditulis oleh beliau-beliau dengan bahasa yang lebih “ringan”.

Jadi katanya, berlawanan dengan pandangan ahli psikologi terdahulu yang menyebutkan bahwa anak itu bersifat egosentrik sehingga baru bisa dikenalkan dengan empati pada usia tertentu, penulis dalam paper ini memaparkan sejumlah penelitian yang menyebutkan bahwa “bibit-bibit” empati itu sudah dimiliki anak sejak ia bayi. Sangat menarik bukan?

Di usia 18  sampai 72 jam setelah lahir, bayi yang diperdengarkan suara tangis bayi lain menunjukkan reaksi “distress”… sebuah fenomana yang disebut sebagai  reflexive crying atau  reactive crying, atau penularan emosi. Namun ternyata, reaksi “distress” bayi saat diperdengarkan suara tangis bayi lain, lebih intens dibandingkan jika bayi diperdengarkan suara lain seperti suara tangis boongan, suara tangis non-manusia, dan “kebisingan” lain. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi tangis bayi terhadap tangis bayi yang lain itu bukanlah semata-mata karena bayi merasa “terganggu” oleh suara bising. Peneliti menyimplukan hal ini sebagai “bibit” empati pada bayi.

Bagaimana perkembangan “bibit empati” itu di usia “todlerhood”  ?

Zahn-Waxler dan rekannya melakukan penelitian longitudinal untuk mempelajari perkembangan perilaku yang terkait dengan empati, pada anak usia dua sampai tiga tahun.  Mereka mengobservasi perilaku anak saat dipaparkan situasi “distress”. Perilaku “respons empati” yang dimaksud meliputi : (1) concern (e.g., sad look,“I’m sorry”), (2) hypothesis testing (e.g., “What happened?”), (3) prosocial behavior (e.g., hugs, “Are you ok?”). Hasilnya, sampai usia 2 tahun anak bisa menunjukkan perilaku “respons empati” tersebut. Setelah dua tahun, respons empati itu berkembang dengan pesat menjadi beragam perilaku menolong.

Mmmh….jadi inget kalau Hana nangis, Azzam akan mendekati, mengusap-usap kepalanya  sambil bilang “jep..jep…jep…” …berarti itu adalah respons empati yang perlu diberikam apresiasi dan dikembangkan ya…..

Empati di usia prasekolah dan sekolah: Cognitive Empathy

Empati ternyata memiliki komponen emosi dan komponen kognisi. Emotional empathy  adalah pengalaman dimana anak seolah merasakan emosi yang dirasakan oleh orang lain, dan berkembang di masa awal kehidupan anak seperti uraian di atas. Nah, cognitive empathy, atau istilah lainnya adalah “perspective taking”, adalah kemampuan untuk membayangkan secara akurat pengalaman orang lain. Pada usia prasekolah dan usia sekolah dasar, kemampuan cognitive empathy ini berkembang pesat. Hal ini seiring dengan perkembangan  bahasa anak yang meningkat pesat. Di usia sekolah dasar, kemampuan ini membuat anak bisa mengembangkan beragam cara yang akurat untuk menolong orang lain. Misalnya ketika ia melihat temannya menangis, maka  emotional empathy akan memunculkan perasaan ingin menolomg. namun cognitive empathy akan membantu anak memahami bahwa ada anak lain yang sedih dan butuh ditenangkan.

Nah…terjawab sudah pertanyaan saya. Bener kan…. harusnya si ibu tadi, termasuk ibu-ibu lain dan saya sendiri, menjadikan wahana permainan umum itu sebagai “fitness empati”, media untuk menumbuhkembangkan bibit empati yang secara “fitrah” sudah ada sejak ia lahir.

empatiSeperti juga beragam keterampilan sosial yang lain, saya yakin bahwa empati ini memang hanya bisa tumbuh dan berkembang bila distimulasi. Gak bisa “nanti kalau udah gede juga ngerti sendiri” . Buktinya? konon katanya beragam persoalan sosial yang muncul sekarang ini diawali oleh terkikisnya empati pada diri manusia-manusia Indonesia.

Dulu, saya suka agak bingung gimana ngadepin oknum mahasiswa yang suka macem-macem. Sejak 7 tahun lalu, saya punya ide dan jurus ampuh untuk “mematahkan” seribu satu alesan mahasiswa yang minta kompensasi atas kemalasannya. Misalnya pernah ada mahasiswa KKN yang gak pernah nongol di TKP, eeeh…pas udahan, nongol trus bikin alesan ini-itu, ngasih bingkisan ini-itu…. waktu itu saya bilang: “Saya bisa aja meluluskan kamu. Tidak ada ruginya buat saya.  Tapi coba kamu tanya teman-teman kamu, apa yang mereka lakukan sebulan ini, dibandingkan dengan apa yang kamu lakukan sebulan ini.  Kalau kamu bisa meyakinkan saya bahwa apa yang kamu lakukan sama dengan yang mereka lakukan, saya akan meluluskan kamu”

Mengenalkan sudut pandang orang lain juga lah menurut saya, yang harus selalu kita kenalkan pada anak kita, di usia semuda apapun ia. Kita kenalkan gimana rasanya anak lain yang udah menunggu lama kalau kita menikmati wahana terlalu lama, kita ingatkan bahwa walaupun kita sedang nyaman di restoran, setelah makan kita harus segera beranjak karena ada orang lain yang nunggu … kita ajarkan untuk berdiri di sebelah kiri saat di tangga berjalan  agar jika ada orang lain yang sedang terburu-buru, kita tidak menghalanginya…begitu terus…terus dan terus….

Semoga jika setiap ibu melakukan hal ini, sepuluh tahun mendatang, tak ada lagi  orang-orang yang menimbun sembako dan BBM saat sedang langka, tak ada lagi orang yang “menahan” uang sertifikasi guru SD untuk ia tabung biar dapet bunganya…tak ada lagi orang yang hanya peduli pada kepetingannay sendiri… di Indonesia ini.

sumber gambar : http://microrrelatososhortstories.wordpress.com/2012/01/20/think-empathy-sympathy/

 

Jangan puji anak kita “HEBAT” !

Bahwa memuji anak itu adalah sebuah keharusan, hampir semua orang tua tahu itu.

praise 2Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Itulah salah satu bait  terjemahan puisi karya Dorothy Law Nolte yang berjudul “Anak Belajar dari Kehidupannya”. Puisi ini sangat terkenal. Dan saya lihat, di beberapa sekolah puisi ini terpajang di kelas-kelasnya.

Semangat untuk memberikan pujian dan penghargaan pada anak, akan lebih lengkap kalau disertai pula ilmu yang benar tentang “cara memuji ini”. Yups…seperti semua hal lainnya di dunia ini, dari hal paling keciiiiiil sampai hal paling besar, dari dal paling sederhanaaaaa sampai yang aling kompleks, itu ada ilmunya. Demikian pula “ilmu memuji ini”. Karena, niat yang benar tanpa disertai ilmu yang benar pula, bisa berakibat fatal. Ah masa siiih….lebay amat. Saya akan ceritakan satu pengalaman saya yang membuat saya merasa perlu membuat tulisan ini.

Waktu saya masih kuliah di majoring klinis anak 7 tahun lalu, saat membahas satu kasus, dosen saya mengatakan…”nah, jadi kalau memberi pujian pada anak itu, jangan “hebat” atau “pinter” …ya..”. Waktu itu terus terang saya gak ngerti. Tapi kayaknya saya gengsi buat nanya hehe….Dan karena mahasiswanya gak nanya, maka dosen saya pun tampaknya mengasumsikan mahasiswanya baca buku dan sudah paham.

Saya baru paham apa yang dimaksudkan dosen saya waktu beberapa tahun kemudian ketemu seseorang. Dia mengalami satu kegagalan, yang membuatnya merasa dirinya hancur luluh tak berharga lagi. Waktu saya coba bantu dia melihat bahwa kegagalan ini hanya satu aspek dari dirinya dan masih banyak sisi-sisi lain keberhasilan yang dia miliki, tetap…dia merasa satu kegagalan itu membuatnya “noone”. Melalui obral-obrol panjang….akhirnya mengertilah saya. Selama ini, ia selalu diberikan pujian “hebat” oleh orangtuanya. Tanpa dia tahu, apa yang membuatnya “hebat”. Akhirnya dia pun mempersepsikan dirinya “hebat” karena keberhasilannya di bidang yang kini mengalami kegagalan. Dan ketika dalam hal itu dia gagal, maka di apun merasa dirinya “tidak hebat” lagi.

Lebih lanjut, ternyata dia menghayati bahwa “hebat” atau “tidak hebat” itu “melekat pada dirinya” bukan “melekat pada perilakunya”. Mmmmhhh…untuk poin terakhir ini, agak dalem dan “filosofis”. Akan saya coba uraikan lebih teknis.

Gini….jadi, kita harus memahami … apa sih tujuan kita memberikan pujian pada anak? Nah, ini kadang kurang kita sadari. Kadang kita memberi pujian pada anak sebagai “instink” aja. Itulah sebabnya kita jadi kurang “aware” untuk memberikan pujian dengan cara yang benar sesuai dengan harapan kita.

Tujuan Memberikan Pujian

Sebenarnya, pujian adalah cara yang kita lakukan yang bisa meningkatkan perilaku positif pada anak. Konon katanya, setiap anak itu membutuhkan perhatian.  Misalnya, kalau kita punya 4 anak. Dua anak main dengan kooperatif, sementara dua anak yang lain pukul-pukulan. Hayo…..anak mana yang kita beri perhatiaaaaan….secara instinktif kita ngasih perhatian pada dua anak yang pukul-pukulan kan?  dengan mengomelinya panjang lebar misalnya. Nah…itu sebenarnya salah.

Seharusnya kita abaikan si yang pukul-pukulan, dan kasih pujian pada si dua anak yang bermain kooperatif. Pujian menunjukkan bahwa kita memberi perhatian pada mereka, dan kita mendorng mereka untuk mempertahankan perilaku tersebut. Bagaimana dengan si dua anak yang main pukul-pukulan? setelah kita ingatkan, lalu pukul-pukulannya brenti, naaah…dont forget kita kasih pujian. Jadi, anak paham kalau perhatian yang dia butuhkan itu, akan didapat saat dia berperilaku baik.

Mmmmhhh…..jadi inget obral-obrol sama pegawai salah satu kantor; “iya bu, bos di sini mah kalau kita salah, dimarahin abis. kalau kita kerja bener, dicuekin aja. Jadi kayaknya kalau kita salah itu teh salah, kalau kita bener, itu mah biasa…” haha….tanpa kita sadari, kita sering melakukan hal yang sama loh, ke anak-anak kita….atau ke pasangan kita.

Kita merasa saat anak kita lelet mandi, lama sarapan…mereka pantas dimarahi.  Tapi pas on time mandi, sigap pake baju…tiba-tiba kita jadi “buta” dan tak menganggap itu suatu hal yang baik. Atau ketika biasanya kita ngomel karena anak rewel kalau dibawa ke undangan, saat dia dibawa ke undangan dan anteng, kita lupa memberikan pujian. Begitu pula sama pasangan kita. Waktu pasangan kita lupa naro handuk di gantungan handuk, kita ngomel. Pas pasangan kita menyimpan handuk pada tempatnya, lupa deeeh…hehe…eta mah saya deng 😉

Nah, setelah kita menghayati tujuan memuji anak, tahap selanjutnya ialah, kita harus “Aware” cara memuji yang akan mencapai tujuan kita itu. Karena kalau tidak, malah akan menimbulkan “efek samping negatif” yang berbahaya seperti pengalaman yang saya ceritakan di atas.

Berikut adalah poin-poin yang harus kita perhatikan :

(1) Berikan pujian segera setelah anak menunjukkan perilaku yang kita harapkan. Terutama pada anak yang masih kecil, cara ini akan membuat anak paham kaitan antara pujian dengan perilaku yang ditunjukkannya.

(2) Katanya, kalau memuji itu harus menggunakan bahasa yang positif. Jangan bilang ” hebat, sekarang kamu gak nempel terus sama ibu”. tapi sebaiknya bilang “hebat, sekarang dede udah mau main sama teman”. Katanya, hal ini bisa membuat anak paham, perilaku apa yang diharapkan orangtua darinya karena perhatian kita tidak tertuju pada perilaku yang ingin dihilangkan, namun pada perilaku yang ingin dipertahankan.

Poin ketiga ini adalah poin yang terpenting.

(3) Pujian harus diberikan secara spesifik menggambarkan perilaku anak. Jangan bilang “hebat” …”pinter”… “keren”…..apalagi ….”anak mama”. Tapi, jelaskan apa perilakunya…misalnya: “hebat, dede sekarang udah bisa bikin menara yang tinggi”….”pinter…kaka sekarang makannya mau duduk”. Nah, poin ini penting banget nih…anak jadi tahu apa yang membuat dia disebut “hebat” dan “pinter”.

praise 3Hal ini sebenarnya berlaku pula saat kita memberikan umpan balik negatif pada anak, misalnya “mama sedih kamu males belajar jadi nilai ulangannya jelek”.  Kalimat itu benar. Sedangkankalimat “mama sedih kamu kayak gitu” adalah kalimat yang salah, karena efeknya akan membuat anak tidak paham dan akhirnya mempersepsikan dirinya, bukan perilakunya yang bikin mamanya sedih.

Menjelaskan perilaku anak dengan spesifik akan membuat anak paham  bahwa nilai positif dirinya tidak melekat dalam dirinya, tapi pada perilakunya. Artinya, saat ia melakukan perilaku yang buruk  dan mendapatkan umpan balik negatif pun, dia tahu kalau dia masih bisa memperbaiki dengan melakukan perilaku yang baik.

Beda kan, kalau kita lagi males-malesan trus kita dibilang “kamu mah males ih” sama kalau kita dibilang “kamu mah pemalas”. Malas, mengacu pada perilaku saat itu. Bisa diubah. Pemalas, mengacu pada sifat yang melekat pada diri kita.

Nah…ini juga harus diperhatikan nih….sering saya dengan di wahana-wahana permainan ,,,orangtua yang mengatakan pada anaknya..“ih kamu mah penakut”… Padahal pan takutnya cuman pada konteks wahana permainan yang ini aja. Kalau PENAKUT, berarti sifat takut itu melekat pada diri anak. Hati-hati loh bu, pan kata-kata ibu bisa jadi doa….

praiseDan, pujian yang sifatnya “umum” seperti “ah, kamu anak yang paling hebat sedunia” konon katanya tak tepat diberikan pada anak yang sudah besar. karena dia akan tahu kalau itu hanya “basa-basi”. Jadi saat memberikan pujian, kita juga harus tulus.

Jangan-jangan, selama ini kita memberikan pujian pada anak hanya basa-basi saja…Pantas saja hasilnya mungkin belum seperti yang kita harapkan….

Jadi, ternyata…memuji itu ada ilmunya sodara-sodara…saya juga sering lupa. Ribet amat sih? NO GAIN WITHOUT PAIN atuh….

Saya terkesan sekali pada tafsir ayat al Qur’an yang menjelaskan mengapa Allah menciptakan alam semesta dalam waktu “enam masa”. Bukankah Allah bisa mengatakan “Kun Fayakun” ? Jawabannya….itu adalah karena Allah ingin menunjukkan pada manusia, bahwa segala sesuatu yang baik, itu dicapai melalui proses.

Ya, proses itulah yang harus kita nikmati sebagai orangtua. Agar nanti, saat kita tua dan melihat anak-anak kita tumbuh menjadi anak-anak yang tangguh  jiwanya dan  lembut hatinya….kita bisa mengenang saat-saat kita harus selalu belajar dan belajar dalam menjaga amanah dariNya ini…