Bahwa memuji anak itu adalah sebuah keharusan, hampir semua orang tua tahu itu.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Itulah salah satu bait terjemahan puisi karya Dorothy Law Nolte yang berjudul “Anak Belajar dari Kehidupannya”. Puisi ini sangat terkenal. Dan saya lihat, di beberapa sekolah puisi ini terpajang di kelas-kelasnya.
Semangat untuk memberikan pujian dan penghargaan pada anak, akan lebih lengkap kalau disertai pula ilmu yang benar tentang “cara memuji ini”. Yups…seperti semua hal lainnya di dunia ini, dari hal paling keciiiiiil sampai hal paling besar, dari dal paling sederhanaaaaa sampai yang aling kompleks, itu ada ilmunya. Demikian pula “ilmu memuji ini”. Karena, niat yang benar tanpa disertai ilmu yang benar pula, bisa berakibat fatal. Ah masa siiih….lebay amat. Saya akan ceritakan satu pengalaman saya yang membuat saya merasa perlu membuat tulisan ini.
Waktu saya masih kuliah di majoring klinis anak 7 tahun lalu, saat membahas satu kasus, dosen saya mengatakan…”nah, jadi kalau memberi pujian pada anak itu, jangan “hebat” atau “pinter” …ya..”. Waktu itu terus terang saya gak ngerti. Tapi kayaknya saya gengsi buat nanya hehe….Dan karena mahasiswanya gak nanya, maka dosen saya pun tampaknya mengasumsikan mahasiswanya baca buku dan sudah paham.
Saya baru paham apa yang dimaksudkan dosen saya waktu beberapa tahun kemudian ketemu seseorang. Dia mengalami satu kegagalan, yang membuatnya merasa dirinya hancur luluh tak berharga lagi. Waktu saya coba bantu dia melihat bahwa kegagalan ini hanya satu aspek dari dirinya dan masih banyak sisi-sisi lain keberhasilan yang dia miliki, tetap…dia merasa satu kegagalan itu membuatnya “noone”. Melalui obral-obrol panjang….akhirnya mengertilah saya. Selama ini, ia selalu diberikan pujian “hebat” oleh orangtuanya. Tanpa dia tahu, apa yang membuatnya “hebat”. Akhirnya dia pun mempersepsikan dirinya “hebat” karena keberhasilannya di bidang yang kini mengalami kegagalan. Dan ketika dalam hal itu dia gagal, maka di apun merasa dirinya “tidak hebat” lagi.
Lebih lanjut, ternyata dia menghayati bahwa “hebat” atau “tidak hebat” itu “melekat pada dirinya” bukan “melekat pada perilakunya”. Mmmmhhh…untuk poin terakhir ini, agak dalem dan “filosofis”. Akan saya coba uraikan lebih teknis.
Gini….jadi, kita harus memahami … apa sih tujuan kita memberikan pujian pada anak? Nah, ini kadang kurang kita sadari. Kadang kita memberi pujian pada anak sebagai “instink” aja. Itulah sebabnya kita jadi kurang “aware” untuk memberikan pujian dengan cara yang benar sesuai dengan harapan kita.
Tujuan Memberikan Pujian
Sebenarnya, pujian adalah cara yang kita lakukan yang bisa meningkatkan perilaku positif pada anak. Konon katanya, setiap anak itu membutuhkan perhatian. Misalnya, kalau kita punya 4 anak. Dua anak main dengan kooperatif, sementara dua anak yang lain pukul-pukulan. Hayo…..anak mana yang kita beri perhatiaaaaan….secara instinktif kita ngasih perhatian pada dua anak yang pukul-pukulan kan? dengan mengomelinya panjang lebar misalnya. Nah…itu sebenarnya salah.
Seharusnya kita abaikan si yang pukul-pukulan, dan kasih pujian pada si dua anak yang bermain kooperatif. Pujian menunjukkan bahwa kita memberi perhatian pada mereka, dan kita mendorng mereka untuk mempertahankan perilaku tersebut. Bagaimana dengan si dua anak yang main pukul-pukulan? setelah kita ingatkan, lalu pukul-pukulannya brenti, naaah…dont forget kita kasih pujian. Jadi, anak paham kalau perhatian yang dia butuhkan itu, akan didapat saat dia berperilaku baik.
Mmmmhhh…..jadi inget obral-obrol sama pegawai salah satu kantor; “iya bu, bos di sini mah kalau kita salah, dimarahin abis. kalau kita kerja bener, dicuekin aja. Jadi kayaknya kalau kita salah itu teh salah, kalau kita bener, itu mah biasa…” haha….tanpa kita sadari, kita sering melakukan hal yang sama loh, ke anak-anak kita….atau ke pasangan kita.
Kita merasa saat anak kita lelet mandi, lama sarapan…mereka pantas dimarahi. Tapi pas on time mandi, sigap pake baju…tiba-tiba kita jadi “buta” dan tak menganggap itu suatu hal yang baik. Atau ketika biasanya kita ngomel karena anak rewel kalau dibawa ke undangan, saat dia dibawa ke undangan dan anteng, kita lupa memberikan pujian. Begitu pula sama pasangan kita. Waktu pasangan kita lupa naro handuk di gantungan handuk, kita ngomel. Pas pasangan kita menyimpan handuk pada tempatnya, lupa deeeh…hehe…eta mah saya deng 😉
Nah, setelah kita menghayati tujuan memuji anak, tahap selanjutnya ialah, kita harus “Aware” cara memuji yang akan mencapai tujuan kita itu. Karena kalau tidak, malah akan menimbulkan “efek samping negatif” yang berbahaya seperti pengalaman yang saya ceritakan di atas.
Berikut adalah poin-poin yang harus kita perhatikan :
(1) Berikan pujian segera setelah anak menunjukkan perilaku yang kita harapkan. Terutama pada anak yang masih kecil, cara ini akan membuat anak paham kaitan antara pujian dengan perilaku yang ditunjukkannya.
(2) Katanya, kalau memuji itu harus menggunakan bahasa yang positif. Jangan bilang ” hebat, sekarang kamu gak nempel terus sama ibu”. tapi sebaiknya bilang “hebat, sekarang dede udah mau main sama teman”. Katanya, hal ini bisa membuat anak paham, perilaku apa yang diharapkan orangtua darinya karena perhatian kita tidak tertuju pada perilaku yang ingin dihilangkan, namun pada perilaku yang ingin dipertahankan.
Poin ketiga ini adalah poin yang terpenting.
(3) Pujian harus diberikan secara spesifik menggambarkan perilaku anak. Jangan bilang “hebat” …”pinter”… “keren”…..apalagi ….”anak mama”. Tapi, jelaskan apa perilakunya…misalnya: “hebat, dede sekarang udah bisa bikin menara yang tinggi”….”pinter…kaka sekarang makannya mau duduk”. Nah, poin ini penting banget nih…anak jadi tahu apa yang membuat dia disebut “hebat” dan “pinter”.
Hal ini sebenarnya berlaku pula saat kita memberikan umpan balik negatif pada anak, misalnya “mama sedih kamu males belajar jadi nilai ulangannya jelek”. Kalimat itu benar. Sedangkankalimat “mama sedih kamu kayak gitu” adalah kalimat yang salah, karena efeknya akan membuat anak tidak paham dan akhirnya mempersepsikan dirinya, bukan perilakunya yang bikin mamanya sedih.
Menjelaskan perilaku anak dengan spesifik akan membuat anak paham bahwa nilai positif dirinya tidak melekat dalam dirinya, tapi pada perilakunya. Artinya, saat ia melakukan perilaku yang buruk dan mendapatkan umpan balik negatif pun, dia tahu kalau dia masih bisa memperbaiki dengan melakukan perilaku yang baik.
Beda kan, kalau kita lagi males-malesan trus kita dibilang “kamu mah males ih” sama kalau kita dibilang “kamu mah pemalas”. Malas, mengacu pada perilaku saat itu. Bisa diubah. Pemalas, mengacu pada sifat yang melekat pada diri kita.
Nah…ini juga harus diperhatikan nih….sering saya dengan di wahana-wahana permainan ,,,orangtua yang mengatakan pada anaknya..“ih kamu mah penakut”… Padahal pan takutnya cuman pada konteks wahana permainan yang ini aja. Kalau PENAKUT, berarti sifat takut itu melekat pada diri anak. Hati-hati loh bu, pan kata-kata ibu bisa jadi doa….
Dan, pujian yang sifatnya “umum” seperti “ah, kamu anak yang paling hebat sedunia” konon katanya tak tepat diberikan pada anak yang sudah besar. karena dia akan tahu kalau itu hanya “basa-basi”. Jadi saat memberikan pujian, kita juga harus tulus.
Jangan-jangan, selama ini kita memberikan pujian pada anak hanya basa-basi saja…Pantas saja hasilnya mungkin belum seperti yang kita harapkan….
Jadi, ternyata…memuji itu ada ilmunya sodara-sodara…saya juga sering lupa. Ribet amat sih? NO GAIN WITHOUT PAIN atuh….
Saya terkesan sekali pada tafsir ayat al Qur’an yang menjelaskan mengapa Allah menciptakan alam semesta dalam waktu “enam masa”. Bukankah Allah bisa mengatakan “Kun Fayakun” ? Jawabannya….itu adalah karena Allah ingin menunjukkan pada manusia, bahwa segala sesuatu yang baik, itu dicapai melalui proses.
Ya, proses itulah yang harus kita nikmati sebagai orangtua. Agar nanti, saat kita tua dan melihat anak-anak kita tumbuh menjadi anak-anak yang tangguh jiwanya dan lembut hatinya….kita bisa mengenang saat-saat kita harus selalu belajar dan belajar dalam menjaga amanah dariNya ini…
Recent Comments