Saat anak kita mengalami kegagalan …..

Kalau ada yang bilang wanita itu tidak bisa mencintai lebih dari satu orang pada waktu yang sama, saya gak setuju. Karena saya bisa. Saya mencintai 4 orang yang berbeda, dalam waktu yang sama. Dengan cinta yang sama besar, namun berbeda rasanya. Empat orang itu tentulah anak-anak saya. Kaka Azka si hampir 11 tahun, Mas Umar si 8 tahun. Kaka Hana si hampir 5 tahun, dan de Azzam si 2 tahun.

Saya mencintai mereka sama besar. Mereka berempat sudah hafal cerita “empat gunung sayang” yang suka saya ceritakan, terutama meladeni request Hana. Saya bilang “ibu punya empat gunung sayang. Satu gunung buat Kaka Azka, satu gunung buat Mas Umar, satu gunung buat de Azzam…….” saya menikmati sekali saat Hana bertanya “Satu gunung lagi buat siapa?” dengan wajah ekspresifnya yang cemas….biasanya, sengaja saya menunjukkan wajah bingung. “Buat siapa ya……buat ab……” nah, dia biasanya sampai nangis kalau dibilangin gitu. Tapi begitu saya bilang “satu gunung lagi buat  si kriwil yang istimewa” ….binar matanya yang rada sipit itu terlihat jelas sambil jerit-jerit kegirangan atau peluk-peluk dan cium basah haha…

Seperti semua ibu yang lain, saya mencintai mereka sama besar namun dengan “romantisme” yang berbeda. Saya punya memori-memori yang tak terlupakan dengan masing-masing dari mereka. Dan, dalam tulisan ini yang ingin saya ceritakan adalah memori bersama Kaka Azka. Saya punya “chemistry” yang kuat dengan Azka. Mungkin karena sama-sama anak pertama. Daaan…kalau Umar itu adalah “little abah”, maka Azka adalah “kembaran ibu”  kata si abah. Mulai dari hal-hal yang positif seperti rajin belajar, gemar menabung dan banyak sahabat haha….sampai hal negatif misalnya cara marah hehe….

azkaWaktu kelas empat, Azka pengen banget jadi dokter kecil. Karena cita-citanya ingin jadi dokter. Saya mendukungnya sepenuh hati. Dan saya pun menyemangatinya dengan menceritakan bagaimana dulu pun saya menjadi dokter kecil waktu SD. “Kebanggaan” memakai jas putih dokter itu, semangat saat mengikuti lomba dokter kecil antar sekolah….dll dll. Sayangnya karena kuota untuk jadi dokter kecil di sekolah Azka terbatas, dilakukan seleksi. Seleksinya 2 tahap. Tulis dan praktek. Di semester pertama dia ikut test, dia gagal. Semester selanjutnya, saya kembali mendorong dia. Dia pun rajin menghafalkan materi-materi yang akan diujiankan. Sampai suatu hari dengan riang dia mengatakan lolos seleksi tertulis. Tinggal test praktek.

Saya ingat banget saat itu suatu sore, sepulang sekolah dia dibawa sopir menjemput saya. Dengan ragu dia berkata…“bu, Kaka gagal lagi”. “Oh kenapa?” saya tak berhasil menyembunyikan kekagetan saya. “Iya, tadi kan ujian prakteknya disuruh praktek P3K membalut luka, terus dikasih batas waktu. Pas waktunya habis Kaka belum selesai“. Saya ingat betul apa yang saya rasakan saat itu. Saya ingat bahwa saya tidak tahu apa nama perasaan yang saya rasa. Yang jelas, rangkaian kalimat ini yang dengan lancar keluar dari diri saya adalah: “tuh kan..ibu kan udah bilang…Kaka itu, kalau apa-apa itu harus lebih cepet. Udah sering loh, ibu bilang gitu. Nah, akibatnya gini kan….Makanya, coba kaka turutin ibu…berusaha lebih cepet kalau apa-apa teh”. Tapi syukurnya, kalimat itu hanya terucap dalam hati.

Ada yang menahan saya untuk tak mengucapkannya. Yaitu kata-kata Azka selanjutnya. “Tapi gak apa-apa bu….banyak kok temen-temen Kaka juga yang gagal”. Dia menyebutkan beberapa nama sahabatnya. “Lagian kan, Kaka mungkin masih bisa ikut lagi semester depan. Kaka akan berusaha lebih keras”. Hiks..hiks…kenapa sekarang jadi berlinang ya…persis seperti saat itu. Saya sangat mengenal kalimat itu. Bukan persis kalimatnya. Tapi “pesan” yang ingin disampikan dibalik kalimat itu.Itu adalah “pesan” yang selalu saya sampaikan pada mama, pada papa saya saat saya mengalami “kegagalan”. “Menghibur mereka”. Karena saya merasa, telah mengecewakan mereka”. Saya harus menunjukkan bahwa saya kuat, I’m oke. Tapi benarkah saya sekuat itu?

Dalam waktu sepersekian detik, saya pun teringat satu pengalaman. Saya pernah bertemu seorang anak remaja. Dia gagal masuk di jurusan-jurusan yang diinginkannya di perguruan tinggi. Ibunya yang terlebih dahulu berkata pada saya, menyampaikan betapa hancur hatinya, betapa cemas dia akan masa depan anaknya. Si ibu pun mengatakan anaknya malah “lempeng-lempeng aja”. Lalu saat saya bertemu si anak, ia menyampaikan sesuatu yang tak pernah saya duga. “Ibu pikir saya tidak kecewa dengan kegagalan saya? saya kecewa bu, sedih, hancur. Dan saya harus mengatasi kekecawaan saya, juga mengatasi kekecewaan orangtua saya”.

Saat itu, saya ingat betul, saya “tersadar” dan memeluk Azka dengan erat. Saya …. secara “refleks” hampir saja akan menjadi ibu yang menambah beban bagi anaknya. Saya tahu, Azka kecewa. Sangat kecewa. Sedih, sangat sedih. Ia begitu ingin menjadi dokter kecil. Tapi dia berusaha tegar. Sikap ibunya membuatnya harus berusaha mengobati kekecawaan dan kesedihannya seorang diri, PLUS mengatasi kekecewaan ibunya. Waktu itu lalu saya tanya….“Kaka sedih ya?” dan pecahlah tangisnya. Kami pun berdua berpelukan sambil menangis. Saya usap-usap kepalanya. Saya tak mau bilang apa-apa. Takut terdengar sebagai basa-basi. Saya cuman mau peluk dia, semoga dia merasa bahwa dia tak perlu merasa  harus menguatkan diri. Saya maluuu sekali. Saya hampir melakukan satu kesalahan fatal. Seharusnya, sebagai seorang ibu saya yang “melindungi” dia, bukan dia yang berusaha “melindungi” saya.

Ya, salah satu hal terindah yang saya pelajari dari anak-anak saya adalah, bagaimana saya harus terus…terus dan terus belajar untuk mencintai mereka. Dalam keadaan apapun. Peka menghayati perasaan mereka, bersikap “bijak” menemani mereka dengan tulus, tanpa syarat. Saat anak kita mengalami kegagalan, yang mereka butuhkan adalah dukungan. Bukan celaan. Ya, seringkali kekecewaan kita sebenarnya lebih pada karena kita merasa bahwa keberhasilan yang seharusnya diraih itu, sangat penting buat anak kita. Kita sangat ingin anak kita bahagia dan berhasil mencapai apa yang kita inginkan. Sayangnya, sikap kita secara spontan sama sekali tak menggambarkan hal itu. Mungkin karena kita terlalu egois untuk lebih peduli pada perasaan kita dibanding perasaan anak kita.

Kaka Azka, Ibu love You…More and more…

Merenungi marah kita pada anak….

Teman-teman yang sudah jadi ibu, pernahkah kita marah pada anak? Kalau jawabannya “tidak pernah” ….ah, saya gak percaya….haha…. #ngapain nanya#

Pernahkah kita liyat ibu yang marah pada anaknya? saya pernah. Waktu itu si anak usia 5 tahun “mengganggu” ibunya yang tengah dengan penuh perasaan “curhat” pada temannya. Tampaknya topiknya sangat serius, karena si ibu “curhat” dengan penuh emosi. Si anak minta dianter pipis. Si ibu, tentu saja merasa terganggu dan meminta anak untuk pipis sendiri. Itu di tempat umum. Saya paham kalau si anak enggan. Kedua kalinya si anak minta dianter ibu, si ibu bereaksi dengan sangat marah, menjewer telinga si anak sekeras-kerasnya….sambil mengatakan si anak manja, penakut, dll dll….Si anak menangis. Saya pun berkaca-kaca. Terbayang rasa sakit yang dialami si anak, karena dari ekspresi wajah si ibu, tampaknya si ibu benar-benar melakukannya dengan sekuat tenaga, dengan sepenuh kemarahan yang dia punya.

Peristiwa itu memunculkan satu pertanyaan pada diri saya. Ibu itu, sebenarnya marah pada anaknya karena anaknya melakukan kesalahan, atau anak itu adalah pelampiasan dari kemarahannya pada hal lain? Pertanyaan itu menjelma menjadi cermin besar buat saya. Tiba-tiba saya menjadi begitu ingin mengingat-ingat….setiap kali marah pada anak-anak saya, apakah itu karena ulah mereka, atau karena saya sedang kesal pada sesuatu dan menumpahkannya pada mereka?

Sejak saat itu, saya iseng “men-tally” setiap kali saya ngomel ke anak-anak, apa penyebabnya. Daaaan….ternyata, hipotesis yang saya rumuskan dalam hati terbukti benar. Bahwa sebagian besar kekesalan saya pada anak-anak saya, bukanlah karena murni anak-anak saya, tapi karena kekesalan saya pada hal lain. Yups…memang sih, Azka kalau dipanggil lama untuk keluar kamarnya….tapi kalau mau jujur, harusnya saya tak se”marah” itu ….saat itu saya marah besar karena lagi sebel sama bos saya.  Ya….kayak gitu-gitu lah kejadiannya.

Kalau mau jujur, banyaaaak sekali kekesalan kita pada anak, bukanlah karena perilakunya. Saat kita omelin anak kita di restoran karena “gak mau diem” misalnya, mungkin itu karena kita kesal kenapa pesanan makanan kita gak dateng-dateng. Saat kita “mencubit” anak kita yang merengek minta jajan misalnya, mungkin itu karena justru pikiran kita lagi pusing karena sedang bokek, dll dll.

Pernahkah teman-teman memarahi panjang lebar anak padahal sebenarnya ditujukan pada suami kita? misalnya: “Kaka, kenapa sih kalau handuk tuh gak dijembrengin di tempatnya…kalau kaka gak biasain dari kecil, nanti sampai besar teruuus aja kayak gini” (sambil lirik suami kita). Atau saat kita kesel karena suami lagi “nyantei” trus gak “proaktif” bantu kita yang kerepotan  ngurus anak-anak, pernah gak ngomel panjang lebar gini….”Adik…kenapa sih apa-apa teh mau sama ibuuuu terus….ibu kan cuman punya dua tangan….emang engga ada orang lain ya, yang bisa adik mintain bantuan?” haha….kok saya menghayati banget gini ya…..maklum, pengalaman pribadi haha….

displacementNah, yang kayak gitu tuh kalau kata om Freud, namanya “displacement”, yaitu suatu upaya “pertahanan diri” dimana kita menumpahkan emosi negatif yang kita rasakan dari orang yang lebih superior dari kita, pada orang yang lebih “inferior” dari kita.

Daaaan…it’s unfair !!! absolutely ! marah yang kayak gini tuh biasanya gak efektif. Kan katanya marah yang efektif itu bisa mengubah situasi. Tapi kalau marahnya model ngomel karena melampiaskan emosi gini, biasanya gak ngefek apa-apa ke anak. Apalagi anaknya masih kecil, yang perkembangan persepsi auditorynya masih terbatas. Mana bisa dia nangkep inti pesan dari serentetan kata-kata omelan yang keluar dari mulut kita….Yang akan anak pelajari dari kita adalah, bahwa kekesalan itu bisa ditumpahkan pada orang lain yang lebih lemah. Maka, jangan heran kalau si kakak sedang kesal pada temannya di sekolah, si adik jadi sasaran kemarahan.

Jadi lain kali, kalau mau marah atau ngomel ke anak, stop….brenti dulu…hayati dulu…apakah mereka memang melakukan sesuatu kesalahan sehingga “layak”  menerima kemarahan ini?  atau karena kita butuh seseorang yang lebih lemah dari kita untuk melampiaskan kemarahan kita?  #ini self talk buat saya# 😉

sumber gambar: http://blogasarea.files.wordpress.com/2010/12/displacement.png

Memberanikan Diri Menghadapi Kematian

Memang dahsyat gelombang politik yang mendera kita di bulan, minggu dan hari-hari terakhir ini. “Pesta demokrasi” yang masih akan berlanjut sampai akhir tahun ini, disadari atau tidak-dihayati atau tidak- telah banyak menyita perhatian kita. Terutama karena 5 tahun lalu, media sosial dan segala macam saluran kumpal-kumpul online mungkin tak sedahsyat sekarang. Ajak-mengajak, dari mulai yang haluuuuus sampai yang vulgar….Ancam mengancam, dari mulai yang santuuuuun sampai yang sarkastis serta hujat menghujat, dengan segala cara tampak secara telanjang. Mungkin karena di media online orang tak berhadapan wajah, jadi rasanya merasa bebas untuk menumpahkan segala macam emosi dan gagasan, tak peduli apa dampaknya bagi orang lain.

Siapapun, dimanapun, kapanpun, dalam tataran apapun, di hari-hari belakangan ini rasanya hampir tak ada dimensi yang luput dari pembicaraan soal politik. Tentang memilih apa, siapa, mengapa. Juga tentang jangan memilih apa, siapa, mengapa. Mulai dari tukang jengkol di pasar cibogo, sampai dengan para profesor di rektorat sana…topik pembicaraannya sama.

Dan yang baru saya hayati di pesta demokrasi tahun ini adalah, tahun ini…entah mengapa saya baru ngeuh bahwa soal memilih apa, siapa dan mengapa vs jangan memilih apa, siapa dan mengapa ini….membuat banyak orang “menelanjangi dirinya”. Maksudnya bukan dalam artian negatif sih….cuman kalau saya mengilustrasikan, banyak orang-orang yang selama ini “invisible”, keluar dari “tempat persembunyiannya”, secara nyata menampilkan dirinya siapa. Nah, “siapa”nya ini amat beragam. Dari sudut pandang keagamaan, kesukuan, kebudayaan, ideologi…intinya, VALUE kehidupan seseorang…itu terlihat jelas..terang benderang dalam situasi ini. Banyak orang yang merasa kini mereka harus membuka “bungkus-bungkus peran sosial” mereka ini dan mengargumenkan bahwa mereka adalah yang paling benar.

Ternyata, perbincangan tentang  memilih apa, siapa dan mengapa itu alasannya….mulai dari hal yaang amat praktiiiiiiis sampai hal yang amat filosofis. Mulai dari hal yang besaaaaaaar…sampai hal super-mikro. Mulai dari pertimbangan peristiwa jaman duluuuuuuuuu sampai dengan mempertimbangkan masa depan, bahkan masa depannya lagi, yaitu akhirat yang abadi.  Saya yang “lugu” ini terkaget-kaget ketika mengetahui bahwa hal teknis memilih-atau golput, itu alasannya bisa seribu satu. Yang memilih misalnya. Apakah alasan mereka-mereka sama? tidak…..yang memilih satu partai, yang memilih seorang caleg, yang nanti memilih seorang presiden, apakah mereka memiliki latar belakang pemikiran yang sama? TIDAK. Demikian juga dengan tak memilih. Saya terheran-heran begitu kompleks, dalam, makro, buesarrrrr, dan “mengakar”nya alasan-alasan yang mendasari perilaku mencoblos atau tidak ini.

Namanya juga obral-obrol…..seringkali obrolan-obrolan yang saya cermati, meskipun diawali dengan pertanyaan yang sama; milih apa dan siapa….namun pas bab “mengapa” …itu ternyata amat mendalam dan amat meluas. Beyond imagination lah….

Lalu, apa kaitan isi tulisan ini dengan judulnya? perbincangan di bulan, minggu, dan hari-hari terakhir mengenai “mengapa” memilih “apa” dan “siapa” ini membuat begitu banyak informasi dan argumentasi berseliweran dengan liar. Beberapa diantara informasi itu, seperti ombak besar yang menabrak karang. Karangnya itu saya hehe….Pembicaraan mengenai “memilih apa, siapa dan mengapa” ini beberapa diantaranya berhasil membuat saya menjadi berpikir ulang mengenai hal-hal yang paling mendasar dalam hidup saya. Yaitu KESELAMATAN.

Nah, ini dia kaitannya…..Ada masa-masa di mana saya begitu meresahkan satu hal. Kematian. Pasti semua orang juga ya….Tapi ada saat dimana perasaan ini benar-benar teraduk-aduk memikirkan dan menghayati hal yang tak mungkin kita hindari ini. Dan membayangkan kita akan menghadapi satu kejadian  yang tak kita bisa prediksikan waktu, cara dan tempatnya …yang bisa saja datang di bulan, minggu, hari, jam atau menit yang tak kita tahu berapa lama lagi dari sekarang, buat saya begitu meresahkan.

Gagasan bahwa kita akan berada di alam yang tak pernah kita ketahui bagaimana bentuk dan rasanya, buat saya yang saat ini masih belum berani pergi ke luar negeri sendirian, itu begitu mencemaskan. Apalagi menghadapi hari perhitungan dan menghadapi akhirat yang kekal. Dan yang paling menggelisahkan adalah, karena kita tak memiliki probabilitas sekecil apapun untuk menghindarinya !!!! apapun yag ada di dunia ini, bisa kita hindari dengan konsekuensi seberat apapun. Tapi kematian? perhitungan? tidak memberikan pilihan pada kita. Lalu yang double menggelisahkan adalah…bahwa “there’s no second chance !” dalam Al-Qur’an jelas bahwa nanti kita akan minta SATU DETIK saja untuk kembali ke dunia dan memperbaiki kesalahan kita.

Setiap kali ada teman yang wafat dan saya mengetahui proses detik-detik terakhir kehidupannya (yang saya yakini merupakan abstraksi dari amalan dalam kehidupannya dan memprediksikan “nasib”nya nanti di akhirat), saya selalu membanchmarking mereka dengan saya. Apakah mereka cukup “baik” menjalani kehidupannya sehingga mereka bisa selamat? apakah standar saya harus dinaikkan? apakah sudah cukup?

Buku-buku yang menggambarkan “indahnya kematian” yang beberapa kali saya baca, tak pernah sanggup meredakan seluruh perasaan saya. Dengan kecemasa, kegelisahan, keresahan itu, siapa yang tak jadi sangat concern dengan apakah kita berhasil menjalani kehidupan ini dengan SELAMAT? bukan SUKSES. Tapi SELAMAT.

Kaitannya dengan urusan perpolitikan yang sedang kita hadapi ini….memilih apa, siapa dan mengapa, bagi sebagian orang bukan hanya pertarungan mengenai warna. Tapi buat sebagian orang, ini adalah pertarungan mengenai KESELAMATAN hidup. Maka, “puncak gunung es” memilih warna-warni inipun berhasil menggoyahkan karang KEYAKINAN dan VALUE hidup saya selama ini. Saya jadi mengevaluasi ulang nilai-nilai, pilihan, cara pandang saya mengenai hidup ini. Adanya beragam argumentasi bahwa keyakinan mereka yang BENAR– yang secara otomatis membuat keyakinan dan bangunan value yang saya miliki adalah SALAH, membuat saya benar-benar menelisik kembali kehidupan saya.

Tak nyaman? ya, dalam situasi dis-equlibrium, saat kita dihadapkan dan dibenturkan dengan keyakinan, value dan cara pandang yang berbeda, sangat berbeda, atau bersebrangan dengan kita, pasti sangat tidak nyaman. Tapi saya menikmati prosesnya. Saya tidak tahu dan tidak terlalu mencemaskan hasilnya bagaimana, apakah saya akan tetap memegang teguh nilai akan keselamatan hidup saya dengan cara ini, atau berubah.

Namun sejauh ini, dalam proses pergolakan batin ini, saya masih merasa bahwa keselamatan hidup kita, masih ditentukan oleh hal-hal yang sifatnya “mikro”. Kebaikan-kebaikan kecil yang kita lakukan disertai keikhlasan yang besar, pilihan-pilihan tak sempurna yang kita putuskan saat menghadapi masalah keseharian disertai istighfar setiap waktu. Ke”luguan” belajar dari beragam orang tanpa memandang bahwa “mereka bukan dari golongan saya”, ketulusan hati menerima beragam perbedaan, kepekaan kita akan perasaan orang lain, kekuatan untuk mengalahkan ego diri….. Sampai saat ini, dengan nilai-nilai itulah saya memberanikan diri menghadapi kematian.

Yah, di tengah hiruk pikuk choicesdimana semua orang berusaha “memasarkan” kebenaran versi-mereka, menurut saya….kita harus banyak merenung. Bertafakur, berrefleksi…mengevalusi nilai-nilai yang kita miliki….Mencoba membuka pikiran dan menjernihkan hati…agar kompas KEBENARAN dalam hati kita, menunjuk ke arah yang sebenarnya.

Maka, di hari-hari ke depan yang akan penuh dengan hiruk-pikuk warna-warni….menurut saya, perbincangan yang harus kita perbanyak bukanlah dengan teman. Bukan di media sosial. Tapi perbincangan dengan diri, dengan Allah kita. Untuk bertanya… apakah nilai kebanaran yang kita pegang selama ini bisa menyelamatkan kita? dan yang lebih penting lagi, mohon dituntut untuk berada di jalan yang benar, yang menyelamatkan itu.

Saya masih ingat tgl 11 Maret lalu, saat kami berdoa bersama di ulang tahun Umar dan Umar ditanya…apa hal yang paling ia inginkan saat itu. “Masuk syurga sekeluarga” katanya. Semoga keinginan lugu itu didengar olehNya….semoga kami bisa benar-benar di tuntun agar SELAMAT menjalani kehidupan yang begitu super kompleks ini….

Ihdinassirootol mustaqiim….Ya Allah, Tunjukilah dan Bimbing Kami di Jalan yang Lurus ….