Kuis untuk emak-emak balita hari ini :
1. Kalau anda akan berangkat kerja atau beraktivitas meninggalkan anak, yang biasa anda lakukan adalah:
- a. “ngumpet” diam-diam pergi biar anak gak nangis
- b. tetep “pamit” sama anak meskipun anak nangis jerit-jerit dan kita jadi guilty feeling
2. Kalau suatu saat anak anda harus ke dokter gigi atau harus diambil darah, lalu anak anda menangis, yang biasa anda lakukan adalah:
- a. mengatakan “jangan nangis, jangan takut…gak sakit kok…” sehingga anak anda jadi tenang
- b. mengatakan “nanti mungkin sakit” meskipun kata-kata anda membuat si anak semakin gak mau
Dua pertanyaan tadi harus dijawab jujur loh ya…..Nanti di akhir, akan saya kasih kunci jawabannya. Kalau ke mahasiswa saya sih, biasanya yang dapet nilai 100 saya kasih silver queen hehe….
Sebelum membahas jawabannya, saya mau cerita dulu….
Hari ini kami, kelas Psikologi Umum I belajar mengenai topik “Learning”. Khususnya Classical Conditioning, yang merupakan proses belajar asosoatif yang paling dasar. Yang pernah kuliah di Psikologi pasti inget sama percobaan saliva anjingnya om Pavlop. Pastinya dalam tulisan ini saya tak hendak menjelaskan apa itu NS, US, UR atau CS. Biarin aja itu mah jadi kepusingan mahasiswa saya.
Yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini adalah satu bagian yang menarik, yang ada di halaman 243 buku Atkinson & Hilgard’s Introduction to Psychology 15th edition yang kami gunakan tadi. Sub judulnya adalah : Conditioning and Fear.
Intinya adalah….tanpa sadar, seringkali sikap kita pada anak membuat anak “mempelajari” sesuatu dari kita. Apalagi prinsip Classical Conditioning ini adalah asosiasi “sederhana”, yang banyak digunakan sebagai proses “belajar” pada anak-anak kita. Jadi katanya, prinsip CC ini berperan dalam respons takut. Artinya, anak belajar menjadi takut melalui sikap kita, yang tanpa kita sadari mengikuti prinsip CC. Secara gamblang, seringkali kita tidak sadar mengkondisikan anak menjadi takut. Atau mengkondisikan anak kita menjadi cemas.
Apa sih bedanya takut sama cemas?
- Takut (fear) adalah perasaan negatif yang membuat tidak nyaman, yang disebabkan oleh adanya ancaman yang jelas dari luar. Rasa takut berhubungan dengan tingkah laku spesifik untuk menghindar dan menjauh dari stimulus yang tidak menyenangkan.
- Cemas (anxiety) adalah perasaan negatif yang membuat tidak nyaman, sebagai akibat dari ancaman yang tidak jelas, tidak bisa dikontrol dan tidak bisa dihindari.
Mending mana ayo….mending anak kita mengalami takut atau mengalami cemas?
Secara teoretis dan saya sepakat, mending takut.
Kenapa? karena ketakutan itu, objeknya jelas. Kalau objeknya jelas, maka kita tahu bagaimana cara menghindari objek itu. Misalnya anak kita takut gelap kalau tidur sendiri. Takut direbut mainannya sama teman. Takut gak diajak main sama teman. Takut dimarahin bu guru kalau gak bikin PR. Terbayang kan, gimana kita bantu si anak untuk mengatasinya?
Kalau cemas? anak cemas pergi ke sekolah. Apa yang bikin dia cemas? bu guru? temen? tugas? gak tau. gak jelas. Itulah sebabnya, katanya kalau kita atau anak kita mengalami kecemasan, langkah pertama adalah, ubah rasa cemas itu jadi rasa takut. Identifikasi objeknya apa. Biar tau cara menghindarinya, cara mengatasinya.
Jadi, apa kaitannya dengan kuis di atas tadi?
Kalau jawaban ibu-ibu untuk kedua pertanyaan di awal tadi adalah “a”, maka berarti ibu-ibu telah mengkondisikan anak-anak ibu untuk merasa cemas.
Kalau jawaban ibu-ibu untuk kedua pertanyaan di awal tadi adalah “b”, maka berarti ibu-ibu telah mengkondisikan anak-anak ibu untuk merasa takut.
Bagaimana bisa?
Untuk pertanyaan no.1 : pernah gak mengalami fase di mana anak kita, begitu kita udah siap mau pergi (kita mau pake kerudung, atau kita bedakan), itu udah nempel dan “rewel”? Nah, perilaku itu disebabkan karena yang kita lakukan (pake kerudung atau bedakan) itu, berfungsi sebagai “danger signal”. Tanda-tanda bahaya buat anak. Apa bahayanya? ibu akan pergi. Aku ditinggal. Aku gak nyaman. Saat kita “pamit”, dia merasa takut. Menangislah dia. Karena dia merasa takut ditinggal.
Nah, kalau kita pergi ngumpet-ngumpet, saat kita pergi dia gak nangis. Dia tenang karena merasa ibunya ada. Begitu nyadar ibunya gak ada, maka yang akan dia rasakan adalah cemas. Kenapa? karena dia gak liat tanda-tanda ibunya gak akan pergi, gak ada “danger signal” yang ia terima, sehingga ia “tak bersiap” untuk menghadapi “bahaya ditinggalkan ibu”.
Mekanisme yang sama berlaku pada kasus ke dokter gigi atau diambil darah. Saat anak dibilang “ga apa-apa, gak akan sakit kok” lalu dia ternyata merasa sakit, dia jadi tidak melakukan antisipasi secara psikologis. Beda kalau kita bilang “Ya, nanti akan sakit. Mungkin sakit banget. Nanti kalau mau nangis, nangis aja engga apa-apa….pegang tangan ibu keras-keras juga gak apa-apa….tapi sakitnya sebentar..dariad agiginya gak diobatin, sakitnya akan lamaaaa” . Mungkin si anak akan nangis, jerit-jerit. Tapi seiring dengan itu, dia sudah “bersiap” secara psikologis.
Apa akibat jangka panjangnya? Kalau kita konsisten melakukan pilihan “b”, maka anak akan “rewel” hanya kalau dia melihat ibunya mau pergi atau mau pamit. Tapi kalau ibunya gak menunjukkan “danger signal”, dia merasa aman dan percaya sama ibunya. Dia akan nangis kalau ada di ruang dokter gigi. Tapi hanya kalau ada di ruang dokter gigi aja, saat kita bilang “ini akan sakit”.
Kalau kita konsisten melakukan pilihan “a”, maka anak akan bingung dan “kehilangan kepercayaan” karena tidak pasti kapan ibunya akan pergi dan kapan akan ada disampingnya. Demikian juga kalau dia ke dokter gigi, dia akan mengembangkan rasa cemas karena dia tidak tahu kapan harus “bersiap” kapan dia tidak harus bersiap.
Kuncinya ada di satu kata …… “predictable” atau engga buat anak. Situasi yang predictable inilah yang harus selalu kita upayakan buat anak. Jangankan buat anak, buat kita sebagai orang dewasa pun…
Kalau kata bukunya: “as adults, many of us have experienced the anxiety of being in a situation where something disagreeable is likely to happen but no warning exist for us to predict it”
Dan kalimat terakhirnya keyen banget:
“Unpleasant events are, by definition, unpleasant, but unpredictable unpleasant events are downright intolerable”
Jadi,biarkanlah anak kita mengalami rasa takut.
Ajari dia mengidentifikasi apa yang ia takutkan, apa yang menyebabkan ia merasa takut,
dan yang terpenting, ajarkan dia untuk mengatasi ketakutannya.
Seperti kata dokter Bear pada si Franklin the Turtle saat ia merasa takut akan dioperasi, mari kita katakan pada anak-anak kita:
“Merasa takut bukan berarti kamu tidak berani.
Berani itu atinya mau melakukan apa yang harus kamu lakukan meskipun kamu merasa takut”
Tambahkan lagi lirik lagu Michael Jackson:
“You are not alone, I’m here with you”
Plus nilai ketauhidan:
“Allah pasti sudah mengukur kalau kamu punya keberanian yang lebih besar untuk mengatasi ketakutan kamu. Kalau takut kamu sebesar kuda, Allah ngasih keberanian sebesar gajah. Kalau takut kamu sebesar gajah, Allah ngasih keberanian sebesar RAKSASA GAJAH 😉 “
Apr 22, 2014 @ 15:56:14
very well said ibu dosen. Mantab!
Apr 22, 2014 @ 18:36:22
subhanallah..trkadang suka mendefinisikan saya tkut nt akan………….nmun sbnr’a tu bukan ketakutan tp adalah kecemasan..hrus blajar lg ttg psikologi..
Apr 23, 2014 @ 04:14:53
terjawab sudah pertanyaan saya selama ini.. sy follow blognya ya bu 🙂
Apr 24, 2014 @ 19:09:54
ijin share mba 🙂