Itulah sebabnya, kita tak akan pernah bisa membalas sang surya …..

Beberapa hari lalu, saya bertemu seorang “senior” yang kebetulan membaca tulisan saya https://fitriariyanti.wordpress.com/2014/04/22/nyala-api-kehidupanmu-nikmatilah. Sebagai seorang ibu yang  telah berada di tahap ke-6 dalam perkembangan kehidupan keluarganya, dimana beliau akan segera me”launching” putri bungsunya, beliau menyampaikan bahwa …. “keriweuhan” di fase 3 dan 4, itu jauuuuh lebih “mudah” dibanding “mencari dan menyalakan kembali api kehidupan” kita di masa ketika tak ada anak-anak yang “tergantung” pada kita.

Saya terus terang merasa sangat beruntung bisa beraktifitas bersama banyak rekan-rekan, senior dan junior dari beragam tahap perkembangan kehidupan. Amat banyak pelajaran dan penghayatan yang saya dapat terutama mengenai hubungan orangtua-anak. Membaca puluhan kali buku “life span development” ga ada apa-apanya dibanding mendengarkan pengalaman dan perasaan mereka…

Selama ini, fokus saya adalah hubungan antara saya sebagai ibu, dengan anak-anak saya. “Bergaul” dengan para senior saya, melebarkan cakrawala penghayatan saya, pada hubungan ibu-anak, dimana saya sebagai anak.

Jujur saja, dalam tahap perkembangan kita sekarang, kita cenderung jauuuuh lebih fokus pada keluarga kita sekarang. Ibu-ayah kita, mungkin jadi prioritas keberapaaaa secara psikologis. Ruangnya di hati kita, keciiiil sekali. Rutinitas keseharian dengan anak-anak kita membuat kita seakan “melupakan” mereka. Mungkin secara psikologis kita hanya menghadirkan mereka setahun sekali, saat lebaran. Atau 2 tahun sekali, plus saat mereka ultah. Atau saat mereka sakit. Di hari-hari biasa… Mungkin kita tak merasakan kehadiran mereka, dan oleh karenanya tak memberi perhatian.

Saya dulu pernah terkaget-kaget, ketika mendengarkan  senior yang sedang mengobrol dan bercurhat ria tentang bagaimana “beratnya” rasa ketika mereka harus “melepas” anak-anak mereka pada orang lain. Saya gak pernah kebayang…dan karena mamah saya bukan orang yang biasa mengungkapkan emosinya pada saya, sangat mungkin mamah saya juga mengalami hal serupa, namun tak terungkapkan.

Ya, saat prosesi pernikahan kita sungkem pada ortu, kita saling menangis, seringkali kita merasakan sedih yang amat sangat. Rasanya, memori-meori indah selama puluhan tahun bersama orangtua, hadir kembali di moment itu. Sekarang saya tahu… bahwa kesedihan itu, tak ada apa-apanya dibandingkan kesedihan orangtua kita. Kenapa? Karena kita akan menyongsong kehidupan baru bersama orang yang kita cintai….sedangkan orangtua kita, ibu kita…mereka akan melepas orang yang mereka cintai, seseorang yang mereka “miliki”, seseorang yang menjadi “pusat dunia” mereka selama puluhan tahun. *berkaca-kaca*

Minggu lalu, di pengajian yang saya ikuti pak ustadz menceritakan satu kisah. Tentang seorang pemuda Yaman bernama Uwais Al Qorni. Saya pernah mendengar kisah ini waktu di tanah suci. Dia adalah seorang yang tak diketahui di kalangan manusia namun amat terkenal di kalangan malaikat. Kenapa? Karena pengorbanan pada ibunya. Ia menggendong ibunya yang tuli, buta dan lumpuh dari Yaman ke Mekah untuk berhaji. Pak Ustadz bercerita kalau Uwais Al-Qoniy bertanya pada Rasulullah, apakah apa yg ia lakukan bisa membalas jasda ibunya padanya? Rasulullah menjawab tidak. “Andaikan seluruh tubuh ibumu bernanah dan kau jilati seluruhnya, belum bisa membalas jasanya” begitu yang disampaika pak ustadz.

love motherDulu, setiap kali ada bahasan tentang orangtua, saya selalu membayangkan pengorbanan mereka yang sifatnya kasat mata. Semakin lemah dan bertambah lemahnya saat hamil, meregang nyawa saat melahirkan, jatuh bangun menyusui, kelelahan begadang menemani saat sakit…kini, saya menghayati satu aspek pengorbanan mereka, yaitu pengorbanan psikologis. Rasa cemas, khawatir, sedih, takut, campur aduk perasaan negatif mereka, mulai dari kita masih dari rahim, sampai mereka harus melepaskan kita….Dan tak hanya sampai itu! mereka pun harsu “belajar” bagaimana menjadi mertua, menjadi nenek….yang kadang…pengalaman belajar mereka tak selalu menyenangkan.

Ya, ya…kita memang tak akan pernah bisa membalas jasa mereka. Apalagi jasa ibu, yang diisyaratkan oleh Rasul, tiga kali  lipat dari ayah.

Saya jadi malu…kadang saya menilai mama saya “lebay” kalau sering nelpon bilang kangen cucu-cucu, padahal baru minggu kemarin berkunjung. Saya juga malu karena dengan alasan kesibukan rutinitas gak rutin telpon mertua setiap minggu.

Ya, kita memang tak bisa membalas jasa ibu-ayah kita. Namun sedikit  membahagiakan meraka, masih bisa kita lakukan. Dengan menelpon, berkunjung, dan pak ustadz bilang, mendoakan ba’da sholat itu WAJIB ! Hukumnya. Apalagi jika ortu kita sudah wafat. Doa adalah satu-satunya cara “memeluknya”. Melapangkan dan menerangi kuburnya.

Dan yang lebih penting lagi, ingetin pula suami kita. Jangan sampai justru kita jadi penghgalang cinta suami kita sama ibu mereka. Dorong suami untuk prioritaskan ibunya dibanding kita. Kalau terasa berat, bayangkanlah bagaimana beratnya perasaan mertua, saat anak laki-laki yang mereka urus sejak kecil, mereka sekolahkan sampai sarjana, mereka khawatirkan, kini kita “rebut cintanya”. Kalau kata mamah dedeh mah gini : “eh, istri…elu tuh ketemu sama suami dia udah ganteng, udah keren, udah sarjana. Nah emaknya…die yang ngurus dari suami kita gak bisa apa-apa sampai jadi keren pas ketemu kita “

Robbighfirli wali walidayya warhamhumma kama robbayani soghiro.
Ya Tuhan kami ampunilah kedua orangtuaku dan kasihanilah keduanya sebagaimana mereka telah mengasihi dan mendidikku di waktu kecil.{QS: AL ISRO’ 24}

Kasih ibu….Kepada beta….Tak terhingga sepanjang masa…. Hanya memberi …… tak harap kembali ……

Bagai sang surya menyinari dunia….

2 Comments (+add yours?)

  1. flubbajubba
    Apr 29, 2014 @ 04:40:32

    Subhaanallah. Makasih bangey, mbak, tulisannya. Buat saya sangat menusuuuuk, sekali.
    Sys bersyukur masih ounya dua i
    Orang tua utuh, dan sampai sekarang, rasanya masih lebih banyak ngerepotinnya datipada membahagiakan mereka.
    Izin share, ya mbak…
    Oya salam kenal juga…

  2. memerumaysa
    Apr 11, 2016 @ 12:21:17

    salam kenal mba fitri. masya Allah, bagus sekali tulisannya. benar-benar menyadarkan bahwa setelah menjadi orang tua dan memiliki kehidupan keluarga sendiri, seringkali kita lupa bahwa ada bapak ibu yang merasa kehilangan “pusat hidup” mereka dan kini mereka merasa tidak dibutuhkan lagi. self reminder banget buat saya supaya lebih bisa memperhatikan bapak ibu, dalam arti tak hanya memikirkan urusan suami dan anak-anak namun “melupakan” bapak ibu.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: