Haruskah nyawa anak begitu “murahnya?” //Renungan tentang perilaku agresi anak : Part Zero

Hari ini, saya melihat dua tayangan berita mengenai wafatnya 2 anak. Kelas 5 dan 3 SD. Wafatnya karena dianiaya teman sekolahnya. Berita-berita tentang anak di hari-hari terakhir ini memang menguras emosi kita. Belum selesai gejolak rasa ini membayangkan episode demi episode kejadian yang dialami bocah usia lima tahun di sekolah internasional yang mahal, kini terungkap pula puluhan anak menjadi korban kekerasan seksual seorang “Emon”. Lalu menyusul berita mengenai betapa menderitanya kondisi psikologis anak-anak kita karena UN yang begitu amat represif dan sangat tak ramah anak.  Dan hari ini, banyak infomasi yang memberitakan wafatnya Renggo dan Jihan karena dianiaya teman sekolahnya. Membayangkan anak-anak usia 9-11 tahun itu memukuli temannya….saya tak tahu lagi harus merasa bagaimana. Saya kehilangan vocabulary untuk menggambarkan betapa amat sangat sedihnya saya. Ya, sedih. Bukan marah. Sedih.

Persoalan ini bukan persoalan sederhana. Tidak bisa selesai dengan menyalahkan sinetron Indonesia yang kita duga memberikan contoh perilaku yang jauh dari kata mendidik, yang memberikan contoh bawa anak-anak sekolah itu, memakai rok mini dan bebas “membully” si tokoh protagonis hanya karena masalah super sepele. Hanya bedanya, di sinetron tersebut si anak yang dibully tak wafat. Si tokoh protagonis yang biasanya pemeran paling cantik atau paling ganteng itu,meskipun dibully secara verbal, fisik dan sosial…tak mengalami persoalan apapun. Di akhir, dia akan jadi pacar atau menikah dengan sang pangeran atau putri yang dicintai juga oleh si pembully, setelah diketahui bahwa ia ternyata cucu dari orang paling kaya.

Persoalan ini bukan persoalan sederhana. Tidak bisa hilang dengan menyalahkan orangtua  dari anak-anak para pelaku penganiayaan tersebut. Berbeda dengan kita yang punya waktu untuk berselancar di internet, banyak orangtua di luar sana, yang punya urusan yang jauh lebih penting dibandingkan memperhatikan perilaku anak-anaknya: memastikan mereka bisa makan hari ini, besok dan besoknya serta  sewa rumah terbayar.

Kita juga tak bisa  menyalahkan pihak sekolah dan guru yang menilai perilaku teman-teman Jihan yang menganiaya Jihan sampai tewas, sebagai perilaku “main-main” anak-anak. Saya juga pernah mengobrol dengan seorang ibu yang anaknya sering ditarik alat vitalnya oleh teman-temannya, dan guru serta kepsek menganggap perilaku itu “biasa, anak-anak”.

Dan yang pasti, kita tak bisa menyalahkan anak-anak pelaku penganiayaan itu. Mereka adalah korban.

Peristiwa ini terjadi, bagaikan sebuah puzzle yang lengkap. banyak yang berkontribusi. Saya setuju, kita tak bisa tinggal diam. Seperti yang diajarkan agama kita, “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman” .

Kalau kita punya kekuasaan, mari kita cegah dengan “kekuasaan kita”. Membuat program “mencegah bullying di sekolah” misalnya. Beberapa waktu lalu, saya pernah dimintai bantuan berinteraksi dengan anak-anak di salah satu SMP. Diskusi tentang bullying. Waktu saya tanya pada ratusan anak itu, apakah ada yang punya pengalaman dibully dan mau cerita, saya terkaget-kaget banyak jari yang “ngacung”. Berceritalah mereka satu-satu. Banyak yang menjadi korban diejek terus-menerus dan dipermalukan karena beragam hal. Postur tubuh, warna kulit, ras. Atau justru karena ia punya kelebihan. Cantik, pintar, jadi ketua organisasi. Dengan beragam cara. Mulai dari diejek aja, dipermalukan di facebook/twitter, diancam untuk tak melewati are atertentu di sekolah, digembosin ban sepedanya tiap hari, dikirimin sms “ancaman”….

Kalau kita tak punya kekuasaan, cegah dengan lisan. Atau dengan tulisan. Bukan tulisan keluh kesah atau umpatan. Lebih baik tulisan yang informatif. Kalau tidak bisa juga, mari kita benci situasi ini dengan hati. Dan jangan lupa…dalam doa kita maghrib ini, isya ini, subuh nanti, dhuhur dan ashar besok, serta besok…besoknya lagi…kita berdoa semoga anak-anak kita, anak-anak yang kita kenal, anak-anak di Indonesia ini, anak-anak di seluruh dunia, terhindar dari menjadi korban. Entah itu korban pelaku maupun “korban”.

Saya menemukan buku Child and Adolescent Development in Your Classroom di lemari buku saya. Di dalamnya ada bab mengenai antisocal behavior and agression. Semoga saya bisa berbagi hasil bacaan itu malam ini. Minimaaaaaal banget kita bisa mengetahui apa itu perilaku agresi pada anak, perkembangan perilaku agresi pada anak, faktor-faktor penyebab munculnya perilaku agresi pada anak….sehingga kita bisa mencegah perilaku agresi terjadi di rumah kita, di sekolah tempat kita mengajar, di lingkungan rumah kita.

Insya allah….

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: