Jadi orangtua, (sebaiknya) tidak reaktif ….

self efficacySaya pengeeeen banget meneliti self efficacy orangtua khususnya ibu di jaman ini. Self efficacy adalah konsep yang diutarakan oleh ahli teori social learning om Bandura, yang intinya adalah penilaian postif terhadap kemampuan diri dalam melakukan sesuatu. Intinya mah penghayatan bahwa “Aku bisa” dalam melakukan sesuatu.

Semoga “hipotesis penelitian” saya salah. Bahwa ibu-ibu sekarang, cenderung “tidak pede” dengan kemampuannya mendidik anak.

Yups..yups…saya bisa sangat memahami. Bombardir informasi mengenai betapa anak-anak kita berada dalam situasi BAHAYA yang tidak bisa kita kontrol, bagaimana tidak membuat kita ibu-ibu menjadi panik? sexual abuse. bullying.pornografi, efek  TV. efek internet. efek teknologi……..Memang bukan salah kita siiih….salah media hehe…kenapa dia gak nayangin kabar program-program wokeh yang membuat anak kita berada dalam kondisi yang “positif”. …Ah, tapi  kalau buat media “good news is a bad news” kan ya….lagian mungkin secara tak sadar kita lebih menyukai berita yang “negatif” dibanding berita yang “positif”….

Darimana sih, saya soktau “menduga” self efficacy ibu-ibu jaman sekarang cenderung rendah? secara kualitatif,  dari curhatan teman-teman…apalagi kalau abis ikutan parenting…bukannya semangat, malah down katanya…..”I’m not a good mother…”.DAn makin banyak yang curhat kayak gini.

Sebenarnya, ini bahaya loh…kalau saya punya kesempatan untuk memberikan materi parenting, satu hal utama ingin saya bangun adalah “self efficacy” ibu. We are what we think! Kalau kita yakin kita “berdaya” sebagai orangtua, sebagai ibu, maka pasti itu akan berdampak pada perilaku kita. Tapi kaaaan…”ancaman” pada anak-anak kita di jaman ini begitu dahsyatnya ….. mengepung anak kita dari segala penjuru. Yups, itu tak boleh kita abaikan. Gak boleh kita tutup mata terhadap hal itu. Tapi ingat…ingat… hayati perasaan kita….CEMAS? atau TAKUT?

TAKUT, itu boleh. CEMAS, itu tak boleh. TAKUT itu, ada objeknya. Jelas. Kita TAKUT anak kita terpapar pornografi karena kita kasih dia kesempatan akses internet tanpa parental lock, dan kita pergi pagi sebelum anak bangun dan pulang setelah anak tidur sehingga tak punya kesepatan melakukan kontrol sama anak kita. Kita TAKUT Anak kita jadi korban kekerasan seksual karena si sopir jemputannya udah umur 35 tahunan, tapi gak nikah, dan dekeeet banget sama anak-anak, suka sentuh anak secara fisik. CEMAS, adalah kita takut anak kita terpapar hal-hal negatif dari ini-itu, tanpa bisa kita identifikasi apa, dan tidak kita pertimbangkan “protective factor” yang dimiliki anak-anak kita.

Nah, bahayanya, kecemasan ini bisa membuat ortu terutama ibu, bertindak reaktif. Denger berita anak melakukan tindak kekerasan dari TV? langsung bikin aturan “No TV At Home. Denger berita anak terpapar pornografi dari hape, langsung deh, hape anaknya disita. Gak boleh pegang hape…. Denger berita anak  dianiaya pembantu, langsung brenti kerja !

Sebenarnya sih, yang jadi masalah bukan bentuk keputusannya. Karena, banyak juga teman-teman saya yang memilih mengkondisikan anaknya menjadi STERIL dari teknologi : TV, hape, internet, dan beberapa teman, ibu yang memilih berhenti bekerja untuk anak-anaknya. Tapi mereka, mendasarkan keputusan itu pada pertimbangan yang matang. Dengan memperhitung potensi apa yang mereka miliki vs besarnya “ancaman” yang dialami anak-anak.

Kenapa saya menyoal hal ini? karena teman saya pernah ketemu ibu yang bingung setelah memutuskan berhenti bekerja karena mendengar berita anak yang dianiaya pembantu. Padahal pengasuh anaknya adalah pembantu yang sudah tahunan bersama dia, dan dapat dipercaya. Teman saya juga pernah cerita, setiap anak remajanya les, dia kelimpungan saat menjemput dan anaknya gak ada. Soalnya kan anaknya gak dia kasih hape, jadi gak bisa komunikasi.

Saya sendiri, berpendapat….terkait dengan perkembangan jaman sekarang ini, anak-anak kita sebaiknya tak “dihindarkan” dari teknologi ini. Yang harus diberikan adalah prinsip “imunisasi”. Memberikan paparan teknologi dalam kadar (dalam hal ini konten dan frekuensi) yang terkontrol, lalu biarkan anak membangun “imunitas” terhadap paparan teknologi itu. JElaskan pada anka, bahwa kita adalah SUBJEK, bukan OBJEK. Kita yang memilih, dan kita puya potensi untuk memilih yang baik.

Saya sendiri, menilai teknologi itu … punya dua sisi. Tak hanya negatif, tapi juga positif. TV misalnya. Ya, memang sih…kalau TV Indonesia, saya gak tau gimana sekarang karena sama sekali gak pernah nonton. Tapi channel-channel TV kabel, banyak yang positif buat anak. “Nat Geo Kids” misalnya…atau animal planet for kids…itu oke banget menurut saya. Internet…. banyak sekali pertanyaan anak, yang tak bisa saya jawab, dan jawabannya dengan okeh ada di internet. Tayangan edukatif di yutub buat anak prasekolah, juga banyak. Kalau ada link aneh-aneh gimana? pakailah parental lock. Cek history penelusuran internet anak saata nak gak ada. Tempatkan komputer di ruang keluarga, jangan di kamar pribadi anak.

Hape? dulu Azka waktu kelas 3 nebeng pake hape saya untuk berinteraksi dengan teman-temannya. Saya intipin aktifitas berhape-nya. Ada wa grup angkatannya, pembicaraannya mengenai bikin surprise untuk ulangtahun gurunya. Lewat wa mereka berbagi tugas: siapa yang ngumpulin uang, siapa yang beli kue tart, bentuknya apa, gimana skenarion di hari h. Wa-an Azka dengan temennya? ada temennya yang curhat karena piaraaannya meninggal, ada curhatan azka karena bingung mau ikut kidsklub apa… dan saya terkagum-kagum betapa interaksi anak-anak itu begitu hangat, begitu dekat, cara mereka memberi dukungan pada temannya… Saya jadi berpikir…dulu, jaman kita kecil, kita gak perlu hape karena kita puya waktu luang yang banyak dan teman sebaya yang banyak di sekitar lingkungan kita untuk saling berinteraksi. Sekarang? teman sebaya di lingkungan perumahan kita tidak selalu mudah untuk didapat. Jadi, di jaman ini mungkin hape, bb, adalah media untuk memfasilitasi attachment anak-anak kita dengan teman-temannya. Bagaimana jika anak kita mendapatkan paparan pornografi dari hape? ya jangan kasih hape yang bisa konek internet.

Jadi, menurut saya kembali lagi, kita harus pede jadi orangtua ! Kita harus punya basic trust bahwa saat Allah menciptakan janin dalam rahim kita, Ia pun membekali kita dengan potensi untuk bisa mendidiknya dengan baik. Tinggal kita mau asah atau engga potensi itu. Asahnya dengan cara apa? penghayatan dan pengetahuan, juga support. Dari pasangan kita, dari komunitas kita.

Apakah kesuksesan, kebahagiaan dan keselamatan anak-anak kita tergantung pada kita? TIDAK ! ada kekuatan sang Maha yang menentukan. Posisi kita, adalah melakukan terbaik yang kita bisa, untuk mengundang pertolongan dan penjagaan Allah.

Nah, dalam melakukan upaya terbaik inilah setiap ibu harus menghayati “reasoning” tindakannya. Bahasa lainnya “menggugat niat” dari apapun tindakan kita pada anak. Pilihan pengasuhan seorang ibu, akan berbeda. Tapi yang pasti, apapun pilihan kita, jangan didasari kecemasan. Karena kalau didasari kecemasan, kita tak akan pernah merasa yakin dan pasti, tindakan kita akan reaktif tapi tetap gak pede.

Dan satu lagi ! emosi itu menular. Kecemasan kita, bisa jadi menular lewat bahasa non verbal kita pada anak- anak kita. Bukannya menumbuhkan kewaspadaan pada anak kita, malah menularkan kecemasan bahwa dunia ini begitu jahat dan tidak aman.

Identifikasi potensi-potensi yang kita  dan lingkungan kita miliki, perbanyak paparan berita – berita positif mengenai anak…bisa melalui kunjungan kita ke sekolah anak kita…mungkin begitu menyentuh dan melambungkan optimisme saat kita melihat anak-anak SD itu, pas istirahat sekolah pada sholat dhuha tanpa disuruh…mungkin kita tak akan begitu pesimis melihat anak-anak kita asik mendiskusikan rencana menengok teman yang sakit di chat fesbuknya…..

Semangat !!!

 

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: