Is Pornography Addictive ?

pornografiBismillahirrohmanirrohiim

PROLOG : Yippie….

Kamis minggu lalu, pagi sebelum pergi ke little farmer mengajak jalan-jalan para krucil, iseng saya mengecek tumpukan surat dan kiriman pos. Ada beberapa majalah berbahasa inggris langganan mas. Itulah yang bikin saya iri. Mas bukan akademisi, tapi dia berlangganan majalah ilmiah untuk mengupdate info terkini mengenai perkembangan bidangnya. Saya …. baru pada tahap “rencana” akan berlangganan jurnal sesuai minat saya hehe. Ada satu majalah yang langsung menarik perhatian saya…ini kok bau-bau psikologi ya…setelah saya baca judulnya, yippie….betapa senangnya saya. Saya baru ingat, beberapa bulan lalu saya resmi terdaftar jadi anggota APA, American Psychological Association, sehingga berhak mendapatkan majalah bulanan dari organisasi tersebut. Saya senang dengan majalah seperti ini. Saya pernah berlangganan Psychology Today. Isinya cukup ilmiah dan uptodate, dan buat saya …gak terlalu “berat” untuk mencernanya, meskipun tetep….bacanya sambil ngintip-ngintip  sederet.com untuk memahami vocabulary yang asing banget bagi saya.

Setelah saya liat daftar isinya, ada 2 artikel yang menyedot perhatian saya. Satu tentang riset-riset terbaru di bidang kognisi anak. Konon katanya sebelumnya, tak banyak kemampuan kognitif anak khususnya bayi yang bisa kita ketahui karena metodologinya menggunakan asesmen verbal. Jadi, sebelum anak bisa “bicara” diasumsikan mereka gak punya kemampuan kognisi yang banyak. Namun riset-riset terbaru yang mengembangkan metodologi non verbal, telah mengungkap banyak kemampuan kognisi bayi yang belum kita ketahi saat ini. Wah, keyen lah….semoga ada waktu untuk berbagi tentang hal ini.

Daaaan. satu artikel lagi yang amat menarik dan provokatif  adalah, sebuah artikel yang judulnya adalah pertanyaan. Is pornography addictive? wah, kayaknya artikelnya seru nih….sesuatu yang sudah menjadi “keyakinan” kita selama ini, bahwa pornografi itu adalah sebuah kecanduan yang amat membahayakan, “dipertanyakan”.

………..

Berikut saya coba sarikan isi artikel tersebut. Tidak pure terjemahannya, sebagian saya parafrasekan agar lebih mudah dipahami, ada juga kalimat-kalimat yang saya sendiri tambahkan tanpa mengubah substansi artikel. Sebagian lagi, saya paste bahasa Inggrisnya langsung, saat saya merasa akan lebih baik membaca bahasa Inggrisnya langsung. Artikel asli dapat dibaca pada link : https://www.apa.org/monitor/2014/04/pornography.aspx

Artikel ini diawali dengan kalimat :  Is pornography addictive? Psychologists’ research is working to answer that question — and to identify ways to treat people whose porn use is interfering with their lives.

Selanjutnya di bagian awal, artikel ini menjelaskan “perdebatan” yang disampaikan oleh dua pihak: satu pihak yang menilai pornografi sebagai hal yang negatif, satu pihak yang menilai pornografi sebagai hal yang positif. Selanjutnya, si penulis menjelaskan mengenai “efek” pornografi dalam kehidupan sehari-hari, yang diakhiri dengan ulasan mengenai riset-riset terbaru untuk memahami apa sih yang terjadi dalam diri manusia saat ia tidak bisa mengendalikan dirinya dari konsumsi materi pornografi. Bagian tersebut diakhiri dengan kesimpulan apakah pornografi adalah adiksi atau bukan. Daaan….di akhir banget, diulas apa implikasi kesimpulan tersebut terhadap upaya treatmen pada individu yang telah terpapar pornografi ini.

Pro-kontra mengenai pornografi.

Meskipun tampaknya buat kita pornografi jelas-jelas adalah suatu hal yang negatif dan buruk, namun ternyata ada juga kelompok yang pro terhadap pornografi. Pihak yang kontra menyampaikan argumen bahwa pornografi bisa menghancurkan pernikahan, bisa menyebabkan adiksi seksual dan perilaku yang tidak sehat, dan mendorong terjadinya agresi seksual. Pihak yang pro menyatakan bahwa erotisme yang didapat dari materi pornografi bisa meningkatkan kehidupan sex, pornografi menjadi “jendela” rekreasi seksual yang aman dan justru mengurangi terjadinya serangan seksual (misalnya setelah pornografi dilegalkan di  Denmark pada tahun 1969, ternyata terjadi penurunan tingkat penyerangan seksual.

Apapun perdebatannya, walaupun niai-nilai moral dan agama sudah jelas dan gamblang melarang konsumsi pornografi, pada faktanya…orang suka sama pornografi. Dalam The APA Handbook of Sexuality and Psychology (Vol. 2) dinyatakan bahwa pornografi dikonsumsi oleh  50 – 99 % laki-laki, dan  30 – 86 % perempuan. Pornografi ada di mana-mana. Dan internet membuat konten pornografi menjadi jauh semakin mudah didapat.

Sebagian orang berpendapat hal ini merupakan hal yang bagus. Survey mengenai  Sex, Gender and Reproduction di  Indiana University tahun 2002 mendapatkan hasil bahwa 86% responden menyataan pornografi dapat mengedukasi, dan 72% mengatakan pornografi adalah hal yang membahayakan. 80% responden yang mengaku mengakses pornografi merasa  “baik-bak saja”.

“There are a lot of people out there using a lot of porn who have no problems with it whatsoever,” says Erick Janssen, PhD, a senior scientist at the Kinsey Institute. “So when does it become an addiction?” That, of course, is a key question for researchers trying to understand pornography’s dark side.

Efek pornografi dalam kehidupan nyata

Sementara bagi sebagian orang konsumsi pornografi tidak mengakibatkan efek negatif apapun, sebagian yang lain mengalami masalah. Survey Kinsey Institute menemukan 9 % pengkonsumi materi pornografi yang menyatakan mereka sulit menghentikan kebiasaan mengakses materi pornografi.

Yups….(ini pasti kata-kata saya, gak ada di artikelnya hehe). Saat konsumsi pornografi menjadi berlebihan, hubungan romantik bisa menjadi terganggu. Peneliti dari University of Tennessee, Knoxville, mensurvey para mahasiswa yang memiliki pacar yang menkonsumsi pornografi. Mereka menyatakan bahwa mereka menghayati self esteem yang lebih rendah, kualitas hubungan yang lebih buruk dan kepuasan seksual yang lebih rendah. Namun hubungan antara konsumsi pornografi dengan kehidupan romantik tak sesederhana itu. Temuan lain dari peneliti di University of Missouri menemukan bahwa pengkonsumsian materi pornografi oleh laki-laki, memang berhubungan dengan rendahnya kualitas hubungan seksual baik bagi dirinya sendiri maupun bagi pasangannya. Tapi, konsumsi pornografi pada wanita justru berhubungan dengan peningkatan kualitas hubungan seksual yang dirasakan oleh wanita. (Journal of Sex Research, 2013). Penemuan Bridges and Patricia Morokoff, PhD, mendapatkan hasil yang sama.  When men used porn, they tended to report lower levels of sexual intimacy in their real-life relationships. When women used porn, however, intimacy increased (Personal Relationships, 2011).

Ada penjelasan terhadap fakta tersebut. Pertama, Laki-laki biasanya mengkonsumsi pornografi seorang diri (tampaknya maksudnya adalah tanpa pasangannya, karena biasanya laki-laki katanya mengkonsumsi materi pornografi bersama teman-temannya). Sedangkan wanita, cenderung mengajak pasangannya. Kedua, jenis materi pornografi yang ditonton laki-laki dan perempuan biasanya beda. Laki-laki, cenderung melihat adegan “hardcore” yang “to the poin”. Sedangkan wanita, cenderung mengkonsumi tontonan pornigrafi yang sifatnya “soft” dan tidak vulgar.

Namun….kembali faktanya tak se”general” itu. Tak semua pasangan mendapatkan “manfaat” dari materi pornografi yang mereka tonton bersama. Saat salah seorang dari pasangan mengkonsumsi pornografi terlalu sering, terutama laki-laki… When one partner uses porn at a high frequency— typically the men in the heterosexual couples Bridges has studied — there can be a tendency to withdraw emotionally from the relationship. Those men report “increased secrecy, less intimacy and also more depression,” she says. 

Fakta ini sebenarnya kayak telur dan ayam, gak jelas mana penyebab mana akibat. Apakah seorang laki-laki lari pada pornografi karena ia tidak puas dengan hubungan dengan pasangannya, atau seorang wanita menjadi kehilangan minat dan menarik diri saat mereka mengetahui pasangannya lebih tertarik pada artis porno dibanding dirinya. Kedua skenario ini bisa benar dua-duanya, bisa menjadi satu “siklus”. Jika hubungan pasangan tidak memuaskan, laki-laki lari ke pornografi, lalu si wanita merasa tidak nyaman (karena harus bersaing dengan si artis porno), akibatnya…hubungan suami-istri semakin buruk, si suami semakin menkonnsumi pornografi ..teruuuus kayak lingkarang setan.

Bridges (salah seorang peneliti ynag menjelaskan hal diatas) melakukan penanganan pada laki-laki yang mengkonsumsi pornografi secar aberlebihan dengan menggunakan pendekatan  cognitive-behavioral interventions. Namun ia sangat berharap bisa mengembangkan pendekatan couples-based treatment manual to help both partners come to an understanding — one that may or may not include pornography.

Ponografi: apakah adiksi?

Bukan hanya hubungan dengan pasangan yang terancam saat konsumsi pornografi menjadi kompulsif. Saat seseorang tidak bisa mengontrol keinginannya bagi dari segi frekuensi maupun durasi untuk terus menerus mengkonsumsi konten pornografi, maka aktivitas lain misalnya pekerjaan atau area  akademik bisa terganggu juga.

Nah, serunya adalah, para ahli masih belum menemukan kesepakatan bagaimana mengklasifikasikan konsumsi pornografi secara berlebihan ini. Saat penyusunan the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), (catatan; DSM adalah pedoman pengklasifikasian perilaku abnormal, mirip taksonomi tumbuhan atau hewan  gitu deh….tujuannya…sama juga kayak taksonomi biologi. Agar para ahli ounya “bahasa yang sama” saat membahas satu objek perilaku abnormal), para ahli mengajukan satu cluster yang namanya hypersexual disorder, yang menyertakan pula pornografi sebagai bagiannya. Namun kemudian, para reviewer menyatakan tidak ada bukti yang memadai yang bisa menjadi landasan dimasukkannya katergori hipersexual disorder atau subtipe pornografi.

Nah, kalau konsumsi pornografi yang berlebihan ini bukan hypersexual disorder, apakah ia adiksi seperti adiksi terhadap narkoba? Valerie Voon, MD, PhD, seorang neuropsychiatrist dari  University of Cambridge mencoba menemukan jawabannya, dengan menscan otak pengkonsumsi pornografi saat mereka melihat tayangan pornografi. Hasilnya, aktiitas otaknya menunjukkan keserupaan dengan aktifitas otak seorang pecandu alkohol saat mereka diperlihatkan botol minuman. Namun, menurut beliau, fakta ini masih terlalu dini untuk disimpulkan.  “We need more studies to clearly state that it’s an addiction,” she says.

Riset lain, menemukan hasil yang berbeda. Nicole Prause, PhD, peneliti pada department of psychiatry  di  University of California, Los Angeles, mempelajari respons otak pada orang yang merasa kesulitan untuk “mengendalikan konsumsi pornografi mereka. Ia menggunakan EEG untuk mengukur respons otak tertentu. Salah satu bagian otak akan aktif saat seseorang secara emosional “terikat” dengan gambar yang diperlihatkan. Misalnya saat seorang pecandu narkoba melihat gambar hal-hal yang terkait dengan narkoba, maka aktifitas bagian otak ini akan melonjak. Dengan asumsi bahwa pornografi adalah adiksi, ia mengatakan : “Frankly, I thought this would be a slam-dunk easy finding” .

Fakta yang ditemukan ternyata mengejutkan. Responden yang menyatakan mereka mengalami masalah untuk mengontrol konsumsi pornografi, tidak mengalami penigkatan aktifitas di area otak tersebut, saat diperlihatkan gambar-gambar terkait dengan pornografi. (Socioaffective Neuroscience & Psychology, 2013). “Our findings don’t make them look at all like addicts,” she says.

Sementara itu, studi tahun 2013 yang dilakukan oleh peneliti di University of Leicester in the United Kingdom menyatakan bahwa kegemaran pada pornografi lebih merupakan compulsion dibanding addiction.

Dari link http://goaskalice.columbia.edu/whats-difference-between-addiction-and-compulsion, saya menemukan perbedaan compulsion dan addiction:

A compulsion is a repetitive, ritualistic behavior that a person performs without rational motivation. Compulsive actions and behaviors offer temporary relief from anxiety — in turn, the need to reduce this anxiety is what drives the compulsive behavior. Sometimes this anxiety takes the form of obsessive thoughts related to the compulsive behavior (i.e., fear of germs and hand-washing), but often the compulsive behavior has no clear relation to anything in particular (the need to walk all the way around one’s car clockwise before getting in).

Addictions, similar to compulsions, can offer relief from stress or anxiety, but are characterized primarily by an inability to discontinue a harmful behavior despite its negative consequences. Common addictions include unhealthy and repeated (over)use of alcohol, drugs, gambling, or smoking, for example. Addictions are easily formed to behaviors that provide physical or psychological pleasure or relief from pain.

Di akhir artikel, si penulis menegaskan kembali, kenapa kita mesti repot banget mencari jawaban apakah pornografi itu adiksi atau bukan. Putting a label on a porn habit isn’t an idle exercise. Understanding what drives the behavior is a necessary step toward designing effective treatments for people who can’t control the urge.

…….

EPILOG: Dua sisi mata uang, It’s a Hope !!!!

Mempertimbangkan informasi dari site stats Blog saya yang menunjukkan bahwa cukup banyak yang mengakses tulisan-tulisan di blog saya, saya sempat ragu, apakah “bijak” menuliskan hal ini. Mengingat saat ini, “arus” yang sedang berlangsung adalah…semangat yang membara untuk menyampaikan informasi bahwa PORNOGRAFI ITU BURUK ! SEBURUK-BURUKNYA. Efek yang ditimbulkannya begitu PARAH DAN PERMANEN. Saya khawatir ada kesan yang tertangkap dari tulisan ini, yang “melemahkan semangat” mencegah merajelelanya konsumsi pornografi yang sekarang ini dinyatakan sebagai penyebab mutlak terjadinya kejahatan seksual.

Saat galau seperti itu, tentunya saya menumpahkan kegalauan pada sahabat sejati saya, mas. CUkup lama kami berdiskusi mengenai hal ini. Apalagi dikaitkan dengan identitas saya yang bukan saja seorang “akademisi” , tapi juga seorang muslimah. Apakah seharusnya sebagai muslimah saya memilah informasi yang akan disampaikan? sampaikanlah informasi yang benar-benar mengarahkan persepsi orang bahwa pornografi itu memang haram …. efeknya amat sangat buruk …. kalau ada informasi lain di luar itu, jangan disampaikan….

Namun akhirnya, diskusi saya dengan mas mencapai kata sepakat. Ia mendukung saya memposting tulisan ini dengan pertimbangan-pertimbangan yang kami sepakati bersama.

Bukan hanya isinya yang jadi pertimbangan saya menuliskan kembali artikel ini. Namun “semangat”nya yang ingin saya sebarkan. Maksudnya?

  • Dari segi isi, menurut saya informasi dari artikel ini tetap menunjukkan betapa buruknya efek pornografi. Di lapangan, saya beberapa kali menemui pasangan suami istri yang suaminya tidak bisa mengontrol konsumsi pornografi. Dan lingkaran setan yang digambarkan itu, benar adanya. Bahkan, saya ingin menambahkan satu variabel lagi. Kualitas hubungan suami-istri yang buruk akibat pornografi berdampak pada kualitas pengasuhan anak. Jadi, buat khalayak … menurut saya artikel ini tak akan membuat banyak perbedaan. Meskipun isinya mungkin tak se”dahsyat” yang kita harapkan untuk menunjukkan betapa buruknya efek pornografi, tak akan “melemahkan semangat” lah….tapi ini akan memberi perbedaan besar bagi profesional, untuk merancang pendekatan treatment yang paling tepat buat orang-orang yang sudah berada dalam lingkaran setan pornografi. Salah diagnosa, pasti salah tratment. Buat kita, mau adiksi…mau kompulsi…pokonya buruk aja. Tapi buat profesional? mendiagnosa dengan akurat apa yang terjadi dalam diri orang yang terjebak pornografi akan menentukan juga predisposisi kepribadian dan lingkungan yang bagaimana yang terjadi pada orang itu…dan ujungnya…pendekatan apa yang paling pas untuk “menyelamatkan” nya.
  • Dari segi semangat….artikel ini membuat saya berefleksi. Seringkali, kita….eh saya… bersemangat menyebarkan satu informasi tanpa penghayatan yang komprehensif. Apa sih maunya saya? misalnya… bahaya dari sesuatu. Tanpa sadar, kita…eh saya…sering mengkritik media….”gak cover both side” …tapi kita ..eh saya sendiri melakukannya. Mungkin karena saya di satu sisi prihatin dengan fenomena konsumsi pornografi namun di sisi lain juga suka ketemu dengan istri, orangtua… yang dapat ujian suami/anaknya terjebak dalam konsumsi pornografi…saya suka membayangkan…gimana ya perasaan mereka saat mendapatkan informasi bahwa “pecandu pornografi” itu akan rusak permanen, pasti akan melakukan perilaku agresi seksual, pasti akan jadi pemerkosa….NO HOPE…itu yang saya takutkan. Padahal…justru itu yang “diperangi” oleh gerakan Positive Psychology tahun-tahun belakangan ini. Dengan konsep Resiliency-nya. Resiliency is the ability to overcome challenges of all kinds–trauma, tragedy, personal crises, plain ‘ole’ life problems–and bounce back stronger, wiser, and more personally powerful. Sudah bukan jamannya lagi menitikberatkan pada “efek negatif”suatu kondisi. Justru fokus sekarang adalah, mencari hal-hal apa yang bisa memproteksi dan “menyelamatkan” orang-orang yang telah terjerumus pada keburukan.
  • Kita…eh saya seringkali terlalu bersemangat untuk menyebarkan informasi tentang amat buruknya sesuatu, dengan semangat mencegah agar hal itu tidak dilakukan oleh orang-orang. Tapi kenyataan membuktikan, hal itu tak serta-merta menggugah orang untuk meninggalkan perilaku buruk tersebut. Contoh…kurang apa informasi tentang buruknya bahaya merokok….apakah tingkat konsumsi rokok berkurang secara drastis? HIV/AIDS? Sex bebas? Artinya….mengubah perilaku itu, tidak mudah. Manusia itu tak sederhana. Upaya memahami secara faktual “apa yang sebenarnya terjadi dalam diri manusia” sangat penting untuk dilakukan. Dan itu hanya bisa kalau kita objektif untuk menemukan kebenaran. Baberapa tahun ini saya berinteraksi dengan teman-teman yang menguasai ilmu intervention mapping. Wow ! mengubah pengetahuan saja, tak mudah loh…jadi, jujur saja…”penambahan materi pelajaran agama”, tak bisa diharapkan serta-merta dapat mengurangi tawuran, seks bebas, pornografi…
  • Terakhir, sebagai muslimah saya ingin menyatakan bahwa … penemuan-penemuan ilmiah yang “kurang mendukung pendapat mengenai amat sangat buruknya efek perbuatan haram”, tak seharusnya membuat kita merasa “agama ini terancam”. Andaipun ditemukan penelitian yang mengatakan bahwa pornografi itu 100% bermanfaat, tak akan menggoyahkan keyakinan saya bahwa pornografi itu adalah haram. Melihat aurat wanita/laki-laki yang bukan muhrim itu haram. Absolutely. Gak ada hubungannya sama hasil penelitian. Itulah sebabnya saya tak sepenuhnya setuju dengan “sain-isasi agama”. Saya sangat setuju dengan ustadz yang mengatakan “tidak setuju kalau orang-orang islam mengatakan bahwa teori Big Bang itu sesuai dengan al-Qur’an. Kalau ditemukan teori lain yang lebih akurat dari Big Bang, terus Al-Qur’an salah gitu?” Agama dan sains itu, titik awalnya aja udah beda. Agama harus dimulai dengan keyakinan. Kepercayaan. Sains harus diawali dengan ketidakyakinan dan ketidakpercayaan. Bahwa ada sebagian orang yang keyakinannya semakin kuat dengan penemuan-penemuan sains, yups…tapi kan, untuk jadi seseorang yang akidahnya kuat tak perlu harus “pinter”, tak perlu jadi akademisi. “Titik sentuh” setiap orang kan beda-beda. Namun yang pasti, kita harus yakin bahwa kalau kita ikut ajaran agama, kita akan bahagia di dunia dan selamat di akhirat. Ada atau tidak penjelasan ilmiahnya.

Welll….demikianlah…saya amat berharap semoga tulisan ini, lebih banyak membawa manfaat dibandingkan mudharat.

Aamiin….