Saya harus berterima kasih pada facebook. Berkat social media ini, tiga tahun lalu saya saya bisa jalan-jalan gratis ke Jepang, tepatnya Osaka. Bermodalkan penelitian “ecek-ecek” tentang perilaku pengguna facebook, saya bisa melihat langsung perilaku orang Jepang yang sering saya baca dalam tulisan-tulisan, jalan-jalan di pusat perbelanjaan Namba yang terkenal itu, daaaan bisa beliin mas Umar beberapa “ultraman dan monster” yang amat ia gandrungi, yang gak ada di Indonesia. Poin terakhir, penting itu hehe…
Waktu itu, saya menganggap fenomena pengunaan facebook sedang berada di puncaknya, sehingga amat menarik untuk diteliti. Tentu dari sudut pandang psikologi. Kan kalau di psikologi mah perilaku kita adalah cerminan atau “produk” dari proses mental yang terjadi dalam diri kita. Jadi memahami “proses apa yang terjadi sebelum orang menunjukkan perilaku tertentu” adalah mengasyikkan buat orang psikologi. Demikian juga dampak perilakunya. Pada hubungan, dll. Penggunaan facebook, dari segi kuantitas mungkin tidak mengalami peningkatan sejak tiga tahun lalu itu. Maklum, kini ada pilihan lain. Twitter dan path. Tapi dari segi “kualitas” berubah. Baik bentuk dan intensitasnya.
Banyak manfaat yang didapat dari aktifitas ber-facebook-ria. Selain menyambung kembali silaturahim, mengembangkan jaringan yang memberikan keuntungan dalam berbagai dimensi, baik dimensi sosial maupun ekonomi. Misalnya menjamurnya toko online. Mengobrol dengan seorang teman yang mempromosikan produknya lewat facebook, ternyata keuntungannya gileeee….besar banggets. Dengan biaya marketing gratis. Lalu informasi kebaikan, juga tak terhingga yang kita dapat dari facebook.
Fitur “status” yang waktu penelitian saya tiga tahun lalu lebih dominan digunakan sebagai “katarsis emosi”, kini banyak juga dipakai sebagai media untuk mengungkapkan gagasan. Seiring dengan fenomena politik bangsa ini, facebook sebagai salah satu media sosial yang masih banyak digunakan masyarakat juga dimanfaatkan untuk “mempromosikan” pilihan politik. Baik “white campaign” yaitu menonjolkan kelebihan yang dimiliki pilihan kita, maupun “black campaign” yang menunjukkan keburukan lawan politik pilihan kita. Baik yang objektif, subjektif maupun yang GeJe alias gak jelas kebenarannya.
Seiring dengan perkembangan zaman penggunaan facebook, “keluhan-keluhan” terhadap perilaku yang diangap kurang “pas” atau “berlebihan” di facebook mulai disuarakan beberapa atau sekelompok orang. Keluhan ini muncul di status – status.
Tahun-tahun lalu, pernah ada isu yang cukup ramai tentang banyaknya perilaku yang dinilai “kurang pas” terkait dengan diangkatnya ranah privat ke ranah publik, terutama dalam hubungan suami-istri; yang oleh masyarakat kita dianggap “sakral”. Ada keluhan mengenai “kemesraan yang ditunjukkan secara berlebihan oleh salah satu atau sepasang suami istri” di wall-nya. Ya, saya setuju siiiih…kalau dianalogikan dalam kehidupan nyata kan…walaupun suami istri namun tidak bijak memperlihatkan kemesraan yang berlebihan di luar rumah. Lalu ada juga keluhan mengenai “kurang aware-nya kita menulis status yang terkait dengan seseorang yang bisa dikenali identitasnya oleh orang lain”. Meng-complain dan membicarakan perilaku jelek suami/istri, rekan kerja, bos, pembantu….
Gelombang selanjutnya, saya memperhatikan ada “keluhan” dengan issue “kenarsisan”, sampai dengan munculnya istilah “selfie”. Bagi kalangan yang memiliki perhatian terhadap nilai agama, ada juga kekhawatiran akan tak disadarinya perilaku “riya”, yaitu memamerkan amal ibadah kita; misalnya lewat status : “tenang banget hati ini setelah shalat tahajjud”…atau ” alhamdulillah, beres juga baca qur’an 3 juz”. Ya, ya….saya paham. Godaan itu memang sangat besar. Saya mengakui, saya juga sering tak mampu melawannya. Meskipun tahu bahwa perilaku itu, itu melalap habis semua yang telah kita lakukan ;(
Gelombang yang kini tengah terasa adalah adanya “perang ide” yang ….sayangnya, mulai dikeluhkan berlebihan karena seringkali berkembang menjadi tak rasional. Apalagi sekarang ada fasilitas “share”. Sebagian orang mulai menyuarakan keresahannya. Dalam sudut pandang agama, yang dikhawatirkan tak hanya “riya”, tapi juga “ghibah” dan bahkan “fitnah”. Berita yang di-share, semakin hari semakin “vulgar” dan “kasar”. Komen-komennya antara yang pro dan yang kontra? tak kalah vulgar dan kasar. Saya sering terkaget-kaget bahwa komentar yang “vulgar” dan atau “kasar” itu, juga dituliskan oleh orang-orang yang dalam kehidupan nyata gak kebayang bisa mengeluarkan sikap dan kata-kata demikian.
Beberapa waktu lalu, seorang teman yang concern terhadap hal ini bertanya pada saya, kira-kira referensi apa yang bisa digunakan untuk memahami peristiwa “perang pemikiran” dan beragam perilaku di “facebook” yang kini tampak semakin “vulgar” dan “kasar”. Tak hanya dalam tema yang “keras” seperti politik, tapi juga dalam beragam tema lain. Agama, pengasuhan…. ada istilah “mom war” katanya sekarang ini. Waktu itu, saya bilang saya engga tahu. Tapi saya juga penasaran banget sih. Menurut “penerawangan bloon” saya, saya menduga akar perilakunya di impulsif (bertindak tanpa berfikir), atau lack of self and social awareness (kurangnya penghayatan akan di dan sosial).
Beberapa hari lalu, saya gak mood ngapa-ngapain, dan isenglah meng-gugling- hal ini. Karena tiga tahun lalu itu saya ckup banyak juga baca beberapa penelitian terkait SMC –Social Mediated Communication-, seru juga baca perkembangan penelitiannya. Katanya, kalau dulu orang banyak fokus meneliti perbandingan SMC dengan face-to face communication, sekarang trend-nya bukan di situ. Segambreng penelitian sudah menunjukkan hasil yang konsisten bahwa, komunikasi yang “diperantarai” komputer, tidak bisa mengalahkan komunikasi face-to-face dari segi kualitas. Kenapa? jelas…banyak “non verbal cues” yang ter-bloking- saat kita gak face-to face. Kita cuman baca tulisan lawan bicara kita. Gak denger intonasi suaranya. Gak denger volume suaranya. Gak liat gesturenya. Ekspresi wajahnya. Ekstrimnya, seseorang bisa menulis “I’m happy” di facebook, sambil mau bunuh diri karena putus asa. Ya…ya..ya…itu juga kali ya, yang seringkali membuat kita menjadi sulit untuk empati. DI beberapa grup wa yang saya ikuti, pernah beberapa kali, ada beberapa teman yang ketika sedang rame bahas satu issue, marah dan left group. Padahal rasanya gak ada yang gimanaaa gitu. Tapi kan kita gak tau suasana hati dia lagi gimana….Gak ada feedbacknya sama sekali. Adanya emoticon yang konon diperuntukkan untuk menambah channel komunikasi menjadi ada warna emosi-nya, juga tak banyak membantu katanya. Karena itu tadi, bisa “fake” banget. Bisa aja seorang suami kirim seribu emoticon cinta bari meluk perempuan lain…
Lalu, gelombang penelitian mulai mengarah pada sisi person-nya. Cukup banyak penelitian yang meneliti “kepribadian” si pengguna facebook, dengan dasar pertanyaan…apakah “kepribadian” seseorang saat online itu sama atau beda dengan “kepribadian” saat offline? Hasilnya, masih beragam. Tapi menarik untuk membaca hasil penelitian yang menunjukkan bahwa “kepribadian” online dan offline seseo rang itu beda. Waktu awal-awal ada facebook, saya pikir…asik juga ya, kalau taaruf jaman sekarang. Tinggal pelototin aja wall-nya dan “perilaku” nya di facebook….Tapi ternyata, gak semua valid uy….Buat orang-orang yang jaim atau jaim banget, perilaku di facebook ama di dunia nyata teh beda pisaaaaan ! itu adalah bahasan “self representation”.
Nah, tapi saya belum nemu, yang bisa jelasin fenomena “kevulgaran” dan ke-“kasar”an …. saya pun terus mencari, dan…..tadaaaaaa……ketemulah dengan satu buku Psychology and the Internet: Intrapersonal, Interpersonal, and Transpersonal Implication. Keyenn banget bukunya. Daaaan… yang lebih keyen adalah, di dalamnya ada jawaban dari pertanyaan teman saya dan saya !
Ada istilah “disinhibition”. Dis-inhibition.
Disinhibition is defined as the inability to control impulsive behaviors, thoughts, or feelings, and manifests online as people communicating in ways that they would not ordinarily do offline. These communication patterns can be positive or negative. An example of disinhibition online is the propensity for self-revelation that results in people feeling more intimate. This self-disclosure can be either positive and appropriate, allowing for a deepening connection, or negative and inappropriate, such as angry comments or lack of honestly in disclosure.
Ooooh….jadi ini toh, “biang keroknya”…..DIS_INHIBISI. Ketidakmampuan untuk mengontrol perilaku, pikiran, dan perasaan yang impulsif, yang hanya muncul saat mereka berkomunikasi online. Katanya, penelitiannya menunjukkan bahwa, orang-orang yang di facebook menunjukkan perilaku “agresi” teh, pada kehidupan nyata-nya ternyata pemalu, penyendiri. FEnomena ini juga menjelaskan seluruh “keluhan” mengenai perilaku yang dianggap “terlalu” dari pengguna facebook ya…
Oke…oke…kita udah tahu bahwa fenomena ini ada. Yang penting adalah, kenapa ini bisa terjadi dan yang super penting adalah, bagaimana biar kita gak ikut-ikutan perilaku disinhibisi ini? Kita lanjutkan bacanya….
In a detailed analysis of the disinhibition effect, Suler highlights six reasons why people extend their emotional expression of the self while online.
(1) Dissociative Anonymity: Although not a formal pathology, the sense of self while online becomes compartmentalized into an “online self,” which is perceived as alone and anonymous, and an offline self that is different. Because the Internet feels so virtual and boundaryless, it is tempting to perceive “the other” as not real.
Jadi, saat berinteraksi online termasuk saat ber-facebook-ria, kita cenderung menghayati bahwa kita “sendiri” dan “anonim”, dan “tidak ada orang lain”. Bener…bener…penghayatan ini akan emmbuat perilaku kita menjadi berbeda, dibanding saat kita ada di dunia nyata, dan merasa bahwa perilaku kita secara “live” akan berdampak pada orang lain. Bener banget.
(2) Invisibility: You don’t have to worry about how you look when chatting with someone online. One need not worry, am I smiling enough, was that sigh of exasperation heard? What you have to write then takes on deeper meaning. Analyzing the textual clues of communication, without the nonverbal, leans heavily on one’s thinking . . . as thoughts can be the precursor to the written word.
Ya, ya, ya….memang hanya “bersandar” pada pemaknaan terhadap apa yang ditulis, bisa banyak banget biasnya. Segambreng bias dari si penulis, plus segambreng bias dari si pembaca.
(3) Asynchronicity: For many online communications, one can respond at one’s leisure, and the pressure of an immediate response is gone. Here, Suler talks about “emotional hit and run,” where a scathing message can be left on a message board and the poster never returns to check on the responses or repercussions of their words.
Keren banget nih istilahnya.Emotional hit and run. Di dunia nyata, saat akan melakukan perilaku yang “kurang pas”, kita akan mikir seribu kali. Akan ada konsekuensi langsung dari lingkungan kita. Di facebook? tulislah sumpah serapah, lalu tinggalkan. Tak akan ada konsekuensi apapun yang kita dapat.
(4) Solipsistic Introjection: As absorption in an online exchange increases, some experience the online companion as a “voice within one’s head” . The online friend becomes incorporated into one’s intrapsychic world. Like a character in our dreams, our waking thoughts include stories about various people. Some of these interactions are real and immediate, while others are somewhat less so, such as an imagined comeback to your boss. The boss is real but the exchange is not. The online friend can take on a special status in our imagined internal dialogues, which can result in a felt sense of special closeness existing outside the boundaries of time and space. But this can result in the opposite effect, too. With the lack of cues such as tone, expression, and body language, additional meanings are read into a message based on the reader’s assumptions, insecurities, and mood, often without the person even realizing that they are doing it. The result can be a fairly neutral or innocently meant statement or question being taken as a deadly insult by a person with low self-esteem or someone who is in a bad mood that day.
Yups, karena interpretasi hanya bersandar pada tulisan, maka pemaknaan tulisan itu,bisa sangat dipengaruhi oleh kondisi subjektif si pembaca. Kalau lagi pro ama satu issue, baca tulisan yang bernada kontra, langsung deh….”meledak”. Karena merasa tersindir atau disudutkan. Bener…bener…
(5) Dissociative Imagination: Some people keep careful boundaries between their online fictional selves and their real-world offline selves. So, for instance, in online role-playing games such as Everquest, when the computer is turned off, the online self as wizard is gone. The online world and the self that inhabits it become a separate realm of being. This provides the online self the freedom to do things which the offline self very likely wouldn’t do, such as flirt outrageously or act aggressively.
Nah, katanya….ada juga beberapa orang ynag sadar banget dan menjaga agar “online self”nya berbeda dengan “offline self”nya. Hal ini juga justru yang menjadi pendorong untuknya melakukan hal-hal yang tak mungkin dilakukannya dalam dunia nyata. Misalnya seorang yang dinilai punya status keagamaan yang baik, merasa bebas mengungkapkan kata-kata yang “tak pantas” diucapkan saat ia di dunia nyata.
(6) Minimization of Status and Authority: Although you know your boss has a different status from you at work, when responding to his e-mails, that gap minimizes. The playing field seems level when online; thus, authority differences are minimized, and it becomes easy to make a nasty or sarcastic comment by e-mail that would never have been spoken face to face.
Yups, perasaan bahwa kita “Sama” juga mendorong kita untuk “cuek” mengungkapkan pikiran dan perasaan kita. Penilaian dengan siapa kita berkomunikasi yang biasanya kita pentingkan saat berkomunikasi langsung, menjadi pupus saat komunikasi online. Menurut saya, poin ini juga seringkali membuat kita tidak “cermat” menilai “siapa” lawan komunikasi kita, dalam tataran perbedaan “kelompok”. Misalnya, kita gak ngeuh, bahwa dia itu adalah pendukung setia “X”. Jadi we rame karena kita menuliskan sesuatu yang buat dia prinsip banget dan menyinggung.
Baiklah….saya mengerti sekarang. Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk tak “terjerumus” ke dalam perilaku “berlebihan” dan kurang “pas” saat ber-facebook-ria? biar kita cuman dapet posistifnya aja dari facebook, tapi gak terpapar yang negatifnya?
Kalau merujuk ke definisi dis-in-hibition; ada satu keyword yang harus kita pegang teguh. IMPULSIF. Sederhananya, Impulsif itu adalah bertindak tanpa berpikir. Kalau kita tilik dari sudut pandang neuropsychology, ada satu fungsi dalam otak kita, yang namanya executive function. Dia adalah konduktor dari seluruh perilaku manusiawi. Artinya, perilaku yang hanya bisa dilakukan oleh manusia, bukan oleh makhluk lain. Oleh karena itulah, saya menghayati….executive function ini adalah “nilai kemuliaan” kita, yang Allah anugerahkan hanya pada kita, mahakaryaNya yang terbaik. Sering orang mengatakan, fungsi inilah yang membedakan manusia dengan binatang.
Nah, salah satu fungsi dasar dari executive function adalah Inhibition – The ability to stop one’s own behavior at the appropriate time, including stopping actions and thoughts. The flip side of inhibition is impulsivity; if you have weak ability to stop yourself from acting on your impulses, then you are “impulsive.” Mengingat bahwa fungsi dari executive function ini akan terasah melalui latihan, maka…latihan mengendalikan perilaku kita, akan menguatkan fungsinya daaaaan…..sebaliknya…
Oleh karena itu, meskipun ini tampak sederhana…..cuman status….cuman komen…..yuks, kita “tegakkan” lagi nilai-nilai kemanusiaan kita dengan tak membiarkan kita bertindak impulsif. Teknisnya? Saya suka membahasakan “impulsif” ini sebagai “sabar” sama Hana dan Azzam. Hana, seperti anak-anak lain seusianya, memang punya kecenderungan impulsif. Apa-apa, langsung…aja dilakukan…kadang berbahaya. Memang sesuatu yang impulsif pasti gak bagus. Saya suka bilang: “Sabar. Sabar itu, diem dulu”. Ya, diem dulu. It works. “Strategi” itu, berhasil meredam impulsifitas Hana.
Menurut saya, strategi ini bisa berhasil juga buat kita, orang dewasa. Diem dulu. Pikir dulu. Karena kita manusia, nilai kemuliaan kita terletak pada kemampuan kita berpikir. Gak usah semua yang kita pikir dan rasa secara “gamblang” diungkap di status. Rasa cinta kita, kekesalan kita pada orang tertentu yang bisa diidentifikasi jamaah pesbuk… Gak usah juga, semua pro-kontra ditanggapi. Gak semua orang menuliskan gagasannya secara objektif. Yang udah jelas-jelas subjektif mah kalau bisa ingetin. Kalau gak bisa dan meresahkan kita…unfriend aja….itu cara yang amat efektif, yang sudah saya praktekkan haha….
Dan, kalau merujuk ke poin-poin penyebab dis-inhibisi tadi, buat kita sebagai orang dewasa…tampaknya, membayangkan bahwa interaksi di dunia online itu sama dengan di dunia offline, akan membuat kita bisa lebih “bijak”. Penghayatan bahwa “kita tak sendiri”, “ada konsekuensi yang akan kita dapat dari apa yang kita lakukan”, “siapa aja yang ada meskipun tak terlihat yang akan baca status kita” semoga membuat tindakan kita menjadi lebih membawa kebaikan dibanding keburukan.
Baiklah….semoga bermanfaat…
Recent Comments