I Am Sam : Renungan Mother vs Caregiver (part one)

Tak ada yang kebetulan. Saya yakin itu. Allah yang maha sempurna yang mengatur setiap titik kejadian di semesta ini. Minggu lalu, saya mendapatkan pengalaman yang membuat saya ingin berbagi renungan mengenai mother vs caregiver. Tapi belum sempat. Kemarin, tak sengaja di rumah adik saya, saya menonton sebuah film. I Am Sam judulnya. Tentang mother vs caregiver.

i am samSaya mau cerita dulu tentang film ini. Film ini bercerita tentang Sam, seorang ayah yang mengalami ID (Intelectual Disability). Dulu dikenal dengan istilah “keterbelakangan mental”. Kemampuan berpikirnya “hanya” setara dengan kemampuan berpikir anak usia 7 tahun. Tapi ia bekerja dan berpenghasilan, dengan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan berpikirnya yang sederhana: pekerjaan di kedai kopi yang sangat rutin dan repetitif sifatnya.  Ia harus merawat Lucy, puterinya yang ditinggalkan ibunya sejak keluar dari rumah sakit. Dengan keterbatasannya dan support dari seorang tetangga dan teman-temannya sesama ID, ia membesarkan Lucy. Semua “berjalan lancar” sampai Lucy berusia 7 tahun. Ia dipanggil pihak sekolah. Lucy “bermasalah”, ia seperti takut untuk belajar dan berkembang. Pihak sekolah juga mengumpulkan informasi dari dinas sosial mengenai kondisi Sam. Mengingat usia mental Sam hanya 7 tahun, maka mereka sangat mengkhawatirkan bagaimana tumbuh kembang Lucy saat ia berusia lebih dari 7 tahun. Padahal Lucy adalah anak yang sangat cerdas. Singkat kata singkat cerita, dilakukan persidangan, yang akhirnya memutuskan bahwa Sam, dengan kondisinya tidak layak untuk menjadi pengasuh Lucy. Lucy pun dititipkan pada sepasang suami istri yang ingin mengadopsinya, sementara evaluasi terhadap Sam terus dilakukan. Dengan bantuan seorang pengacara terkenal yang tersentuh akan kondisi Sam, Sam akhirnya menyewa rumah dekat dengan rumah pasangan yang akan mengadopsi Lucy tersebut. Daaan…..tiap malam Lucy akan “kabur” ke rumah Sam, Sam mengembalikannya ke rumah “orangtua angkatnya”, demikian terus bermalam-malam. Sampai suatu malam, dimana besoknya dijadwalkan pengadilan kedua untuk putusan hak asuh, si ibu angkat Lucy datang menggendong Lucy. Sambil menangis, ia mengatakan bahwa tadinya, ia menganggap semua fasilitas, kamar yang hangat dan indah…yang ia siapkan untuk Lucy bisa membuat Lucy nyaman. Namun ternyata tidak. Lucy memilih untuk berdingin-dingin ria menemui ayahnya tiap malam. Cinta. Itu yang tak bisa kuberikan pada dia. Dan itu yang kamu punya. Lucy tak butuh hal lain selain itu. Itu yang akan kukatakan pada hakim besok. Kamu layak mengasuhnya.  Begitulah kira-kira yang disampaikan ibu angkat Lucy pada Sam. Akhirnya, Sam pun bisa mengasuh Lucy kembali.

…………………………………..

Dalam literatur-literatur perkembangan dan pengasuhan anak, banyak digunakan istilah  “caregiver” sebagai sosok pengasuh anak. Apakah mother dan caregiver adalah dua hal yang berbeda? secara konseptual, ya. Mother mengacu pada “biological mother”, seorang wanita yang mengandung dan melahirkan anak, atau “mother” dalam konteks peran sosial. Sedangkan “caregiver” mengacu pada seseorang yang mengasuh anak. Care-giver. “Seseorang yang memberikan perhatian”. Caregiver bagi seorang anak, bisa jadi adalah ibunya. Tapi tak pasti ibunya. Tak selalu ibunya. Bisa neneknya. Bisa susternya. Bisa pembantunya. Dalam film Sam, bisa ayahnya.

Bagi kita yang hidupnya “baik-baik saja”, mungkin issue ini tidak penting. Tapi buat saya, ada dua hal yang membuat saya ingin berbagi penghayatan mengenai hal ini. Dua hal itu adalah : (1) renungan buat kita sebagai ibu, (2) implikasi pada persoalan hak asuh anak.

Saya akan mulai dari poin kedua dulu. Dulu, jaman masih suka nonton infotainment, saya pernah menonton seorang selebriti wanita yang tengah “berebut anak” dengan mantan suaminya. Ia mengatakan pada awak media, kurang lebih seperti ini: “Saya ibunya, saya yang mengandungnya 9 bulan, saya yang kesakitan melahirkannya. Maka, saya yang paling berhak mengasuhnya”. Fakta yang disampaikan di kalimat pertama adalah betul. Namun pendapatnya di kalimat kedua, harus kita pikirkan secara kritis.

Di pengadilan, pada saat pasangan suami istri beragama Islam yang sudah memiliki anak bercerai, pertimbangan pada siapa hak asuh anak diberikan akan mengacu pada Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 pasal 105 yaitu :
(1) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
(2) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada si anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
(3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Mari kita lihat poin 1. Poin 1, menurut saya didasarkan pada asumsi bahwa ibu, berfungsi dan berperan juga sebagai caregiver anak selama ini. Lalu, bagaimana jika selama ini, ibu -karena tidak mampu atau tidak mau- tidak menjalankan peran sebagai caregiver? Dalam kasus demikian, maka pengadilan akan menentukan pada siapa hak asuh lebih baik jauh, berdasarkan pertimbangan kesejahteraan anak. Kesejahteraan ini, mengacu pada kesejahteraan fisik dan psikologis. Sebagai psikolog, tentunya concern saya adalah pada kesejahteraan psikologis. Dengan siapa selama ini kelekatan emosional anak terbentuk? Siapa yang membuat anak merasa aman dan nyaman secara psikologis? dengan dialah ia sebaiknya tinggal. Mengapa? karena, literatur menyatakan bahwa kelekatan emosi adalah dasar bagi anak untuk berkembang, sebagai “seseorang” maupun untuk menjalin hubungan. Hubungan apapun. Pertemanan, persahabatan, kerjasama, pernikahan….. Dan…ada kalanya, sosok caregiver itu adalah bukan ibu si anak.

Poin pertama, adalah renungan buat kita sebagai ibu. Apakah kita “just a mother” buat anak kita, atau kita menjalankan peran sebagai caregiver? Dalam salah satu sesi pengajian yang saya ikuti di Majelis Percikan Iman ustadz Aam Amiruddin, pernah salah satu jamaah bertanya. “Saya tidak punya anak, tapi saya punya dua anak angkat. Apabila mereka berdoa “rabbighfirlii waliwalidayya warhamhumaa kamaa robbayani soghiiro (Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa ayah serta ibuku, kasihanilah mereka sebagaimana kasih mereka padaku sewaktu aku masih kecil), apakah doa itu akan sampai pada kami orangtua angkatnya? kan kami bukan orangtua yang melahirkannya”. 

Untuk menjawab pertanyaan ini, Ustadz Aam menjelaskan makna kata dari doa tersebut. Kata beliau, kata  “ayah-ibu” dalam doa tersebut tidak merujuk pada ‘ayah-ibu” secara biologis, namun merujuk pada “ayah-ibu” yang mengasihi dan mengasuh anak. Intinya, saya menangkap…”ayah-ibu” yang dimaksud bukan dalam konteks biologis, namun dalam peran sebagai caregiver. Yang mengurus, memberikan kasih sayang, mengasuh, mendidik. Kalau kata ustadz lainnya, doa anak sholeh yang kekuatannya dahsyat itu, yang bisa melapangkan kubur kita saat kita sudah wafat nanti, yang bisa menyelamatkan kita di hari akhir dan abadi nanti, tidaklah kita dapat secara “gratis”. Doa itu, adalah “buah” dari kesusahpayahan kita menguras pikiran, emosi tenaga dan materi dalam mengasuh anak-anak kita.

Nah…jadi renungan buat kita orangtua adalah…apakah kita hanya sekedar “menyandang status sosial” sebagai “ibu” dan “ayah”? Seorang teman psikolog, suatu saat pernah berdiskusi dengan saya mengenai hal ini. Berdasarkan kasus-kasus yang ia tangani, ia marasa ibu-ibu jaman sekarang kurang menghayati perannya sebagai caregiver. Bahwa saat ia memutuskan untuk memiliki anak dan menjadi seorang ibu, ada “konsekuensi” yang harus ia hadapi. Ia haruslah menjadi seseorang yang  “memberi perhatian” pada anaknya, yang seringkali…membuatnya harus “mengorbankan” sesuatu yang amat berharga baginya.  Semoga  saja itu tak terjadi pada kita. Semoga saat anak-anak kita berdoa “rabbighfirli….waliwalidayya…”, doa itu sampai pada kita. Bukan pada pembantunya, bukan pada susternya….

Jadi, menurut saya….

Anak-anak, sesungguhnya “tak butuh” ibunya sebagai caregiver. Siapa pun, bahkan orang yang tak punya ikatan darah dengannya, it’s oke buat anak, selama ia memberikan “perhatian” yang dibutuhkan anak dalam tahap demi tahap kehidupannya. Yang butuh dan perlu memastikan bahwa sebagai “mother dan father” kita juga adalah sebagai caregiver anak, adalah kita…..mari pastikan itu.

Bentuk “care” seperti apa yang anak-anak kita butuhkan dalam setiap tahap perkembangannya? karena tulisan ini sudah cukup panjang, bersambung aja ya….ke https://fitriariyanti.wordpress.com/2014/05/19/mother-vs-caregiver-apa-yang-kritis-dibutuhkan-oleh-anak-kita-part-two/

1 Comment (+add yours?)

  1. Ratri Fadillah S
    May 18, 2014 @ 16:03:01

    Reblogged this on ratrifadillah and commented:
    Ini menarik 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: