Dengan siapa kita lebih sering “berbincang”?

Para ahli komunikasi membagi komunikasi menjadi beberapa level atau beberapa jenis. Salah satu pembagiannya adalah berdasarkan “pola komunikasinya”; yang terbagi menjadi 4 pola: (1) intrapersonal, (2) direct interpersonal, (3) mediated interpersonal, dan (4) mass.

Kalau disederhanakan, maknanya adalah sebagai berikut :

(1) Komunikasi Intrapersonal adalah komunikasi yang terjadi dalam diri kita. Antara diri kita dengan …. diri kita sendiri. Sebagian merasa perbincangan ini antara diri kita dengan “hati nurani” kita.

(2) Komunikasi direct interpersonal adalah komunikasi langsung face to face. Katanya, ada dua karakteristik utama dari pola komunikasi ini; yaitu immediacy (it is taking place now) dan primacy (it is taking place here). Kedua elemen ini membuat komunikasi jenis ini memiliki sifat strong feedback; karena semua channel komunikasinya baik verbal maupun nonverbal terbuka. Dilihat dari aspek orangyang terlibat, komunikasi jenis ini bisa antara 2 orang, antara dua kelompok, atau antara 1 orang pada kelompok.

(3) Komunikasi mediated interpersonal adalah komunikasi interpersonal yang melibatkan teknologi. Bisa bersifat immediacy, namun tidak primacy. Komunikasi ini juga bisa antara dua orang (misalnya chatting di ym)  atau di grup (misal wa grup, bbm grup, facebook).

(4) Komunikasi massa. Contohnya ada komunikasi melalui majalah,  TV, radio, koran.

Sebagai seorang yang bukan ber-background fikom, tentunya saya tak akan membahas terlalu jauh pola-pola komunikasi ini. Saya ingin menyampaikan “renungan” saya terhadap pola komunikasi yang kita lakukan sehari-hari. Menurut saya,  4 pola komunikasi dari no. 1 sampai 4, bergradasi dalam tingkat “keintiman” dan “kedalaman efek psikologis”nya.

Secara ekstrim, menurut saya…. seharusnya porsi komunikasi kita, lebih banyak di no. 1 , lalu selanjutnya no. 2, 3 dan selanjutnya.

Secara proporsional, porsi no. 1 dan 2 menurut saya yang harus lebih banyak dibanding porsi no. 3 dan 4.

Secara realistis, kita harus mengevaluasi apakah jenis komunikasi no. 1, yaitu “berbincang dengan diri sendiri” – selalu, sering, kadang-kadang, jarang, atau tidak pernah kita lakukan.

Kenapa? karena menurut pengamatan saya, kalau saya boleh membagi secara kasar 2 tipe orang…maka kita bisa menemukan orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk “berbincang dengan dunia”, dan ada orang-orang yang meluangkan lebih banyak waktunya untuk “berbincang dengan hati nuraninya”. Kita sebut saja tipe A dan B.

Tipe A adalah tipe orang yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk “berbincang dengan dunia”, biasanya orang yang sangat sibuk dengan beragam kegiatannya. Secara kontinuum, di ujung kiri ada subtipe yang hanya membangun citra alias jaim dan suka riweuh teu puguh, di ujung kanan ada subtipe yang memang benar-benar mengorganisir kegiatannya menuju satu tujuan tertentu.

Tipe B adalah tipe orang yang lebih banyak meluangkan waktunya untuk “berbincang dengan hati nuraninya”, secara kontinuum di ujung kiri ada subtipe yang “mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia”, di sisi kontinuum kanan adalah subtipe yang tetap meleburkan diri dalam segala aktifitas namun ia punya waktu untuk …. berefleksi, merenung, “tafakur”, apapun sebutannya. Bagi muslim yang taat, mungkin itu dilakukannya saat bertahajjud di keheningan malam. Bagi yang lainnya…. ia senantiasa menyempatkan satu momen untuk bertanya dan mengevaluasi apa yang ia lakukan dalam hiruk pikuk kesehariannya.

Mari kita bandingkan subtipe kanan dari tipe A dan tipe B.

Kalau boleh meminjam istilah dalam buku “First Thing First”, saya merasa…. tipe A subtipe kanan; secara kasat mata adalah orang-orang yang oke. Mereka adalah orang-orang yang tergolong “manajer” dari kehidupannya. Yang memastikan “do the things right”. Karirnya menanjak, pengembangan diri dan aktualisasi dirinya sampai puncak. Target-target pekerjaannya done. Mereka menyandarkan ritme kehidupannya berdasarkan “jam”. Umur segini harus sudah mencapai ini. Bulan ini mencapai itu. Tahun segini harus sudah bisa eta. Apakah salah? tidak….

Namun, kembali menurut pengamatan saya terhadap orang-orang di lingkungan saya, sebagian orang dari tipe A subtipe kanan ini, adalah orang-orang yang …. seringkali tak menghayati betul apa yang sesungguhnya berharga buat dia, buat orang-orang terdekatnya yang mencintai dan dicintainya. Dan ini, akan tampak sekali di akhir kehidupannya, atau pada kebahagiaannya dan kebahagiaan orang-orang terdekat yang mencintai dan dicintainya. Seringkali kebanggaan yang ia rasakan adalah kebanggaan karena ia merasa “hebat” di mata orang lain. Itulah kenapa ia lebih “sibuk” untuk mengkomunikasikan semua kehebatan dirinya, pada dunia.

Tipe B subtipe kanan, dalam “penampakannya” bisa sama dengan Tipe A subtipe kanan. Atau bisa jadi, dia tak se”hebat” si tipe A kanan. Namun berdasarkan pengamatan saya, tipe B-kanan ini…adalah orang-orang yang kalau meminjam istilah buku “First Thing First”, adalah seorang “leader “dari kehidupannya. Concern-nya, tak hanya pada “do the things right”, namun lebih pada “do the right things”. Ritme kehidupannya tak ia sandarkan pada jam, namun pada kompas. Itulah sebabnya, orang-orang di tipe ini tak selalu mengambil kesempatan yang “hebat”. “Apa kata dunia” tak penting baginya. Yang lebih penting baginya adalah, memastikan setiap langkah yang ia ambil, setiap yang ia lakukan sesuai dengan nilai-nilai yang ia pegang dan tujuan akhir hidupnya.

Biasanya, orang-orang dengan tipe ini adalah orang-orang yang bahagia, dan membahagiakan orang-orang yang ia cintai dan mencintainya. Bisa jadi ia adalah orang hebat, tapi bisa jadi tidak hebat-hebat amat di mata dunia. Buat dia, yang membuat ia nyaman adalah keyakinan diri mengenai arah kehidupannya, pemaknaan terhadap apa yang ia lakukan. Ia merasa tak perlu meyakinkan dunia. Yang perlu ia yakinkan adalah lubuk hati terdalamnya.

Saya, sejujurnya ingin termasuk ke dalam tipe B, subtipe kanan. Saya ingin selalu meluangkan waktu untuk “berbincang” dengan hati nurani saya. Meskipun saya tahu, dalam prosesnya tidak mudah. Menjadi tipe A subtipe kanan itu, sangat menggoda. Siapa yang tak ingin dihargai dan dinilai “hebat” oleh dunia?

self reflection‘Sedangkan “berbincang dengan diri sendiri” itu, berefleksi itu, membutuhkan kejujuran. Untuk “menelanjangi” seluruh motif-motif kita. Untuk mengakui bahwa keinginan kita untuk “dihargai” oleh dunia, melenceng dari kompas kehidupan kita. Butuh juga “kekuatan untuk mengalah”. Mengalah dari kepentingan diri sendiri terhadap kepentingan-kepentingan orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita. Karena saat “berefleksi”, kita harus mengevaluasi seluruh keinginan, harapan, realitas yang kita alami, kita bandingkan dengan tujuan hidup kita.

Ya, memang tak mudah. Tapi saya tetap ingin. Karena buah dari proses itu, adalah kebahagiaan. Kebahagiaan yang “deep impact”. Yang memperkaya jiwa. Bukan hanya kebahagiaan yang tertulis di status atau di ekspresi foto selfie. Kebahagiaan yang tak perlu kita komunikasikan pada orang lain. Cukup pada diri kita sendiri, dan pada orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita.

Semoga saya bisa.

 

 

 

 

 

 

 

 

Yaaaah…..anak kita tinggal dua …

Ada beragam reaksi dan “komentar” orang-orang ketika pertama kali mengetahui saya, si “ibu bekerja yang masih muda” ini udah punya anak empat. Pertanyaan lanjutannya biasanya ” emang umurnya berapa?” , “nikah umur berapa?” dan komentar-komentarnya antara lain “hebat ih..”, “kebayang repotnya…”, “waaah, rame banget pastinya ya..”…dll. Kalau yang senior dan puteranya banyak, biasanya melanjutkan; “tapi gak akan kerasa loh, nanti teh udah pada besar aja….nanti teh jadi sepi lagi, berdua lagi ”

Untuk komentar yang paling terakhir, yups….jangankan “nanti”. Sekarang saja, kami – saya dan mas- sudah mulai merasakannya. pernah suatu saat saya dan beberapa orang teman ngobrol tentang “kehebohan” mangatur waktu antara tugas kampus dan profesi vs domestik terutama anak. Teman-teman saya yang pada umumnya memiliki 2 anak, bilang “gue dua anak aja udah pengen pingsan …kebayang elu 4 anak..”. Saya bilang …. engga… secara “fisik”, sebenarnya saya cuman punya 2 anak saat ini. Cuman si 2 anak itu, umurnya 5 tahun dan 2 tahun. Itu yang bikin “pusing”.

Dua kakaknya, si 11 tahun dan si 8 tahun, secara “fisik” udah bener-bener saya lepas tangan. Pagi-pagi…paling mereka “setor muka” untuk tanya sarapan aja dan cium tangan pas pamit. Sarapan,  kadang mereka inisiatif bakar roti sendiri, atau bikin sereal sendiri kalau lagi gak mau makan nasi. Sejak ada teteh yang nginep, senin-kamis mereka sahur sendiri, bangunin teteh sendiri. Pulang jam 4…kalau gak ngobrol, mereka baca buku atau nonton TV. Nah, si 5 dan 2 tahun ini yang masih harus “dilayani” segalanya. Dimandiin, disuapin, dibacain cerita, plus…..dilerai saat berantem.

Daaaan…. sekarang yang lagi kerasa banget adalah, si dua kakak itu, udah sering gak mau diajak keluar. Kalau mau diajak jalan, pertanyaannya segambreng: “mau kemana?”, “ngapain nanti disana?”, “berapa lama?”, kalau mau ketemuan…”ketemuan sama siapa?”. Daaan…kalau mereka memutuskan “tidak ada benefitnya buat mereka”, dengan tegas mereka akan mengatakan milih di rumah aja.  Untuk beberapa kegiatan, seperti acara keluarga memang saya dan mas tegas mereka harus ikut. Tapi di luar itu? kalau saya atau mas berusaha membujuk mereka dengan segala macam cara dan iming-iming, Umar akan bilang “kan kata di pengajian juga walaupun masih kecil, anak itu harus dihargai pendapatnya”. Ya..ya…ya…. ini “salah” kami juga siiih…. tiap ahad pagi ngajak anak-anak ke pengajian Percikan Iman yang diasuh Ustadz Aam. Suatu hari, bahasannya adalah “mendidik anak”. Dan memang, pak Ustadz menyampaikan apa yang Umar sampaikan tadi. Tumben dia menyimak…biasanya asik main bola haha…

Suatu hari, kami akan ketemuan sama temen mas. Di suatu tempat makan. Mas berusaha membujuk Azka dan Umar. Mereka tetep memilih di rumah, sampai Umar mengeluarkan jurus “kata di pengajian kan…..”. Yo wis…..kami “menyerah”. Di garasi, sebelum masuk mobil, saya masih inget banget kata-kata dan ekspresi mas: “Yaaaah…. anak kita tinggal dua ya de…” . Hahaha…..

Yah, waktu…seringkali tak terasa cepat berlalu. Umar si 8 tahun, semalam menangis karena sarung kesayangannya jatuh dan masuk selokan waktu kemaren dia dijemput pake motor. Dengan tersedu-sedu dia memeluk saya dan minta tidur di kasur ibu. Saya peluk dia erat, mumpung masih bisa …. Saya gak mau tiba-tiba menyadari sudah tak bisa memeluknya lagi, sebelum saya puas. Saya juga terkadang, kalau malam suka ke kamar Kaka Azka, memeluk dan menciumnya …. mengenang saat-saat dulu kami masih berdua …setiap ba’da maghrib menunggu suara motor si abah datang di rumah kontrakan di dago…..

I love u all….Kaka Azka, Mas Umar, Teteh Hana, de Azzam…. Semoga kita bisa menikmati setiap detik kebersamaan kita menjadi kenangan indah nanti…