It is PROBLEM. It is not MY PROBLEM (catatan tentang externalizing problem)

Saya merasa masih punya utang untuk menulis oleh-oleh lengkap dari Workshop 4 hari yang saya ikuti 2 minggu lalu, tentang Solution Focused Therapy. Cuman apa daya, si Miss P selalu merongrong saya dan belum bisa  saya kendalikan. Dia menahan saya untuk tidak menulis sebelum saya selesai baca buku Solution Focused Therapy, biar tulisannya lengkap dan komprehensif. Dan saat ini, kekuatan dia lebih kuat dari kekuatan saya.

Catatan: Solution Focused Therapy selanjutnya akan saya singkat menjadi SFT 😉

Btw, Si Miss P ini siapa siiih? perkenalkan….Miss P adalah Miss Perfectionist. Dia kadang menjadi masalah buat saya, tapi kadang membantu saya. Saya tidak menyatakan bahwa “saya adalah seorang perfectionis”…. tapi saya kadang mengalami masalah dengan dorongan yang ingin perfect, dimana dorongan itu lebih kuat sehingga akhirnya saya tak melakukan apa-apa.

Paragraf diatas adalah salah satu oleh-oleh dari Workshop SFT yang saya ikuti. Namanya “Externalizing Problems”.

Begini ….. seringkali, kita tak lepas dari masalah karena kita merasa masalah itu lekat dengan kita. Atau bahkan lebih parah lagi, bahwa kita adalah masalah. Mungkin itu bukan salah kita sepenuhnya siiih…mungkin waktu kita kecil…lalu remaja… orang-orang di sekitar kita yang “melekatkan identitas masalah”‘ itu pada diri kita. Saya mah remaja bermasalah. Saya tuh orangnya lemah. Saya pemalu. Saya orangnya gak pedean. Saya perfectionist.  Saya orangnya kasar. Saya itu ini. Saya mah itu. Dalam pandangan SFT, ini namanya “internalizing problem”. Saat kita merasa masalah itu lekat dalam diri kita, atau masalah itu adalah diri kita. Ini yang kemudian membuat kita menjadi merasa TIDAK MUNGKIN lepas dari masalah yang tengah kita hadapi.

worry monsterTentunya hal ini menyalahi prinsip-prinsip dalam SFT. Karena salah satu prinsip penting dala SFT adalah, bahwa masalah itu, tidak terjadi selamanya. Ada saat kita mengalami masalah, ada saat kita tidak mengalami masalah. Oleh karena itulah, kita harus menghayati bahwa masalah itu, berada di luar diri kita. Kecemasan, Perfeksionsis, Kemalasan, Gak Pede, itu PROBLEM. Tapi bukan MY PROBLEM.

Waktu dijelasin tentang hal itu, saya ngangguk-ngangguk tapi belum menghayati. Maka, saat workshop itu kami diminta ber-role playing-ria. Bertiga. Salah seorang menjadi klien, dan dua menjadi psikoterapis. Begitu bergiliran. Kami dibekali dengan pertanyaan-pertanyaan:

  • If you should think up a name for the problem (with an article or pronoun). How should you call it? –> kami yang berperan sebagai klien pun memberi nama “masalah” yang kami rasakan. Namanya sesuka hati. Bisa dikasih nama si ontohod, ada yang ngasih nama “Merry” karena masalahnya itu adalah rasa marah, dll dll. Lalu kami berimprovisasi dengan meng-konkritkan si masalah itu pada sebuah topi yang kami dudukkan di depan kami (sssssttt….sebenarnya teknik ini buat anak-anak…anak-anak bisa diminta buat gambar representasi dari masalah).
  • How did you learn to know X? kami mengingat-ingat, dan kemudian mengungkapkan dalam situasi apa kami mengenali kehadiran si “ontohod” itu.
  • How much influence does X have on you now ? kami mengingat-ingat dan mengungkapkan, apa akibat dari kemunculan si “ontohod itu.
  • Is that what you want? 
  • Why not? kami mengingat-ingat dan mengungkapkan kenapa kami tidak menginginkan kehadiran si ontohod
  • Have there been moments where you was smarter/stronger/ faster then X? kami mengingat-ingat dan mengungkapkan saat-saat kami bisa “mengalahkan” atau “mengendalikan” masalah itu.
  • Have there been moments where X did help you? Naah…ini yang menarik…pertanyaan ini, membuat saya INSIGHT bahwa ternyata, sesuatu yang selama ini saya rasakan sebagai MASALAH, ternyata…. pada saat-saat tertentu, itu justru BERMANFAAT buat saya.

Karena penasaran dengan tujuan pertanyaan terakhir ini, maka saya tanyalah pada si Trainernya…apa sih tujuan dari pertanyaan ini? trus dia jawab …. kurang lebih terjemahannya adalah : “gak…ini gak ada tujuan apa-apa…pertanyaan-pertanyaan ini hanya dimaksudkan agar kita menghayati bahwa masalah itu ada di luar diri kita, dan kita punya hubungan tertentu dengan dia. Kadang dia begitu kuat mengendalikan kita, kadang dia begitu mudah kita abaikan, kadang dia sangat mengganggu, kadang membantu…dan ujung-ujungnya adalah…penghayatan bahwa kalau hubungan saya dan masalah bervariasi, maka kita punya POTENSI untuk MENGALAHKAN/MENGENDALIKAN DIA, dan masalah itu TAK SELALU BERDAMPAK BURUK BUAT SAYA”.

Keyeeeeeennnnn….. buat saya sih, ini konsep yang keyen… Penghayatan ini bisa menumbuhkan rasa BERDAYA…Satu modal awal yang sangat penting dibutuhkan seseorang saat ingin mengatasi masalahnya.

Yups…yups…aplikasi sederhananya adalah… jangan suka “menginternalisasi masalah” … baik pada diri kita atau pada diri orang lain. Apalagi kalau kita sebagai ayah, sebagai ibu atau guru, jangan pernah. Jangan gunakan KATA SIFAT pada anak.

Kamu  pemalu. Kamu  pemalas. Kamu pemarah. Bukan. Salah. Katakan: Kamu malu. Kamu malas. Kamu marah.

Kamu pemalu. Artinya malu itu melekat dalam diri kamu. Di setiap saat kamu merasa malu. Tidak bisa kamu lepaskan. Begitu juga dengan pemalas dan pemarah. Jangan salahkan jika sudah dewasa, si anak akan mengatakan alasan “saya kan pemalu. saya kan pemalas. saya kan pemarah”. Inilah saya. Jatidiri saya.

No….no…no….

Kamu malu. Tapi hanya dalam situasi ini. Kamu tidak selalu malu. Kadang kamu berani. Kamu pernah berani.

Kamu malas. Tapi hanya dalam hal ini. Tidak selamanya kamu malas. Artinya, malas itu bisa kamu kalahkan. Bisa kamu kendalikan.

Kamu marah. Tapi hanya sama dia. Kamu bukan pemarah, yang marah setiap saat pada setiap orang. Ada saat kamu tidak marah. Artinya, kemarahan itu bukan milikmu. Bukan kamu.

Saya jadi ingat  tulisan https://fitriariyanti.wordpress.com/2014/04/06/jangan-puji-anak-kita-hebat/. One of my favourite. Saya suka konsepnya. Seperti juga untuk “masalah”, menurut saya….. demikian juga dengan “kebaikan”. Kebaikan itu, tak akan selamanya melekat dalam diri kita. Itu yang harus kita waspadai. Bahwa kita bisa jadi “mantan orang baik”.

Apakah konsep ini Islami? menurut saya Islami banget. Kenapa? tergambar jelas dalam kisah salah satu idola saya, Umar Bin Khathab. Siapa Umar? tergantung kapan kita melihatnya. Kalau kita melihatnya saat ia belum masuk Islam, maka kita akan bilang ia adalah BURUK. Tapi, dalam Islam, BURUK itu tak melekat dalam diri orang. PERILAKU Umar yang BURUK, Bukan UMAR YANG BURUK. Buktinya? Setelah ia masuk Islam dan apa yang ia lakukan adalah hal yang BAIK, terus….terus…terus….BAIK sampai akhir hayat, ia pun sampai dijamin masuk syurga.

Jadi, saya pribadi ingin menginternalisasikan pada diri anak-anak saya : Mari lakukan hal yang baik. Baik itu, tidak otomatis melekat karena identitas dan apa yang kita pakai. Baik itu adalah apa yang kita lakukan. Kadang kita melakukan hal yang buruk? ya, karena kita bukan malaikat, tapi itu bukan berarti keburukan itu menjadi milik kita. Kita bisa mengalahkannya….

 

 

Si Emon

Beberapa minggu yang lalu, waktu saya naik angkot saya mendengar  obrolan beberapa ibu. Namanya juga ibu-ibu…ngobrol ngalor ngidul. Topiknya….topik favorit, yaitu ngobrolin anak-anak. Dari obrolan itu, salah satu informasi yang saya dapat adalah, ada beberapa ibu yang berterima kasih pada si Emon. Si Emon yang dimaksud disini adalah si Emon pelaku sodomi di Sukabumi itu loooh…

Kenapa berterima kasih? Karena katanya, gara-gara memperkenalkan si Emon sebagai “penculik” anak, maka anaknya kini menurut. Gak suka main lama-lama lagi di luar rumah. Dan … beberapa ibu dengan cerdasnya memanfaatkan hal ini dengan mengatakan “nanti ada si Emon loh” untuk membuat anak patuh pada beragam situasi lainnya. Gak mau makan? nanti ada si Emon loh….Gak mau mandi? nanti diculik si Emon loh… Gak mau disuruh ambilin ini-itu? cepet, nanti si Emon keburu datang looh..

Sayangnya, saya bukan bagian dari obrolan itu. Kalau saya menjadi bagian, maka saya akan bilang….”sebaiknya hal itu tidak dilakukan”.

Kenapa? Kalau saya menutup mata saya dan membayangkan saya sebagai anak-anak itu, maka …..si Emon akan menjadi momok buat hidup saya. Ia menjadi sosok yang ingin saya hindari dan saya takuti. Karena ia akan menculik saya, apapun perbuatan yang tidak disetujui ibu saya. Tapi….bentar….sebenarnya si Emon itu kayak gimana sih? gimana saya tahu yang datang si Emon atau bukan? Trus, rasanya diculik itu gimana sih? Kalau ada yang ketuk pintu….itu si Emon bukan ya? kalau ada yang lewat di depan rumah, itu si Emon bukan? Bagaimana membedakan antara si Emon yang membahayakan dengan bukan si Emon?

Yups, kalau mau jujur….si Emon menjadi “senjata” yang digunakan untuk mengarahkan perilaku anak, sesuai kemauan ibu. Kepentingannya? one hundred percent buat kepentingan ibu. Karena kalau buat kepentingan anak, maka si ibu akan menjelaskan siapakah Emon itu, bagaimana rupanya, bagaimana membedakan si Emon dengan bukan Si Emon, apa yang bisa dilakukan si Emon pada anak, bagaimana cara menghindarinya, apa yang harus dilakukan bila ternyata emang itu bener si Emon…. dan semua itu, dilakukan dengan diskusi dua arah. Membuka ruang jika anak bertanya: “masa sih, si Emon itu berbahaya?” …. dll pertanyaan lainnya dengan fakta dan bahasa yang sesuai dengan pemahaman si anak.

Hhhhmmm….Sayangnya, metoda si Emon ini tak hanya dilakukan orang dewasa pada anak-anak aja. Tapi juga sering dilakukan orang dewasa  terhadap orang dewasa lainnya. Tentu wujud si Emonnya adalah sesuatu yang abstrak. Entah itu situasi, kondisi, dan konsep abstrak lainnya. Si orang dewasanya, biasanya figur otoritas, yang mengarahkan si “sub ordinatnya” untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tindakan atau pilihan.

Apakah si figur otoritas ini salah? tidak…kalau yang ia lakukan adalah untuk kepentingan si sub ordinat. Dia akan menjelaskan dan berdiskuasi mengenai “situasi”, “kondisi”, atau “konsep” yang “membahayakan” tersebut. Ia akan memberi ruang bagi si sub ordinat untuk menyanggah saat ia menunjukkan fakta yang berbeda…lalu menganalisa perbedaan itu….

emonTapi kalau caranya adalah dengan menutup ruang bertanya …. maka…..jangan-jangan, seperti anak-anak itu….orang-orang dewasa itu sebenarnya menjadi tidak tahu….makhluk apa sih sebenarnya yang mereka takut dan khawatirkan itu …. dan yang paling membahayakan adalah, ia tidak akan bisa membedakan mana situasi yang membahayakan, mana yang tidak. Ia tak bisa menganalisa, kapan ia harus menyerang, dan siapa yang harus diserang. Ia menjadi tak tahu mana lawan mana kawan. Sehingga sikap yang diambil adalah, asumsikan bahwa semua orang adalah lawan. Seperti juga semua anak yang kemudian berpikir, akan lebih aman kalau semua orang saya anggap sebagai Emon.

Wallahu alam.