Si Emon

Beberapa minggu yang lalu, waktu saya naik angkot saya mendengar  obrolan beberapa ibu. Namanya juga ibu-ibu…ngobrol ngalor ngidul. Topiknya….topik favorit, yaitu ngobrolin anak-anak. Dari obrolan itu, salah satu informasi yang saya dapat adalah, ada beberapa ibu yang berterima kasih pada si Emon. Si Emon yang dimaksud disini adalah si Emon pelaku sodomi di Sukabumi itu loooh…

Kenapa berterima kasih? Karena katanya, gara-gara memperkenalkan si Emon sebagai “penculik” anak, maka anaknya kini menurut. Gak suka main lama-lama lagi di luar rumah. Dan … beberapa ibu dengan cerdasnya memanfaatkan hal ini dengan mengatakan “nanti ada si Emon loh” untuk membuat anak patuh pada beragam situasi lainnya. Gak mau makan? nanti ada si Emon loh….Gak mau mandi? nanti diculik si Emon loh… Gak mau disuruh ambilin ini-itu? cepet, nanti si Emon keburu datang looh..

Sayangnya, saya bukan bagian dari obrolan itu. Kalau saya menjadi bagian, maka saya akan bilang….”sebaiknya hal itu tidak dilakukan”.

Kenapa? Kalau saya menutup mata saya dan membayangkan saya sebagai anak-anak itu, maka …..si Emon akan menjadi momok buat hidup saya. Ia menjadi sosok yang ingin saya hindari dan saya takuti. Karena ia akan menculik saya, apapun perbuatan yang tidak disetujui ibu saya. Tapi….bentar….sebenarnya si Emon itu kayak gimana sih? gimana saya tahu yang datang si Emon atau bukan? Trus, rasanya diculik itu gimana sih? Kalau ada yang ketuk pintu….itu si Emon bukan ya? kalau ada yang lewat di depan rumah, itu si Emon bukan? Bagaimana membedakan antara si Emon yang membahayakan dengan bukan si Emon?

Yups, kalau mau jujur….si Emon menjadi “senjata” yang digunakan untuk mengarahkan perilaku anak, sesuai kemauan ibu. Kepentingannya? one hundred percent buat kepentingan ibu. Karena kalau buat kepentingan anak, maka si ibu akan menjelaskan siapakah Emon itu, bagaimana rupanya, bagaimana membedakan si Emon dengan bukan Si Emon, apa yang bisa dilakukan si Emon pada anak, bagaimana cara menghindarinya, apa yang harus dilakukan bila ternyata emang itu bener si Emon…. dan semua itu, dilakukan dengan diskusi dua arah. Membuka ruang jika anak bertanya: “masa sih, si Emon itu berbahaya?” …. dll pertanyaan lainnya dengan fakta dan bahasa yang sesuai dengan pemahaman si anak.

Hhhhmmm….Sayangnya, metoda si Emon ini tak hanya dilakukan orang dewasa pada anak-anak aja. Tapi juga sering dilakukan orang dewasa  terhadap orang dewasa lainnya. Tentu wujud si Emonnya adalah sesuatu yang abstrak. Entah itu situasi, kondisi, dan konsep abstrak lainnya. Si orang dewasanya, biasanya figur otoritas, yang mengarahkan si “sub ordinatnya” untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tindakan atau pilihan.

Apakah si figur otoritas ini salah? tidak…kalau yang ia lakukan adalah untuk kepentingan si sub ordinat. Dia akan menjelaskan dan berdiskuasi mengenai “situasi”, “kondisi”, atau “konsep” yang “membahayakan” tersebut. Ia akan memberi ruang bagi si sub ordinat untuk menyanggah saat ia menunjukkan fakta yang berbeda…lalu menganalisa perbedaan itu….

emonTapi kalau caranya adalah dengan menutup ruang bertanya …. maka…..jangan-jangan, seperti anak-anak itu….orang-orang dewasa itu sebenarnya menjadi tidak tahu….makhluk apa sih sebenarnya yang mereka takut dan khawatirkan itu …. dan yang paling membahayakan adalah, ia tidak akan bisa membedakan mana situasi yang membahayakan, mana yang tidak. Ia tak bisa menganalisa, kapan ia harus menyerang, dan siapa yang harus diserang. Ia menjadi tak tahu mana lawan mana kawan. Sehingga sikap yang diambil adalah, asumsikan bahwa semua orang adalah lawan. Seperti juga semua anak yang kemudian berpikir, akan lebih aman kalau semua orang saya anggap sebagai Emon.

Wallahu alam.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: