My teacher, My mother …

Hari Selasa kemarin, saya mengambil raport Hana. Resmi-lah Hana menjadi anak TK B 😉 Hari Jumat besok, saya akan mengambil raport Azka dan Umar.  Saya selalu excited dengan momen pengambilan raport ini. Kenapa? karena, tidak seperti ibu-ibu lain yang cukup sering ke sekolah dan berinteraksi dengan guru-guru anaknya, sebagai ibu bekerja saya amat jarang ke sekolah anak-anak untuk ketemu ibu guru.

Untuk guru Hana, kemarin agak sering kontak. Karena Hana sempat “mogok” dengan seribu satu alasan untuk main angklung. Dan karena main angklungnya setiap hari Kamis, maka ia mendeklarasikan pada saya…“Teteh Hana gak mau sekolah setiap hari Kamis”. Nanti di tulisan lain saya akan ceritakan gimana strategi kami; Saya dan ibu gurunya sehingga Hana kembali mau masuk dan latihan angklung setiap hari Kamis;).

Saya selalu kagum dan berterima kasih pada ibu-ibu guru itu. Terutama ibu-ibu yang mengajar anak usia dini; yang kalau kata teorinya sih dari usia PG sampai kelas 3 SD. Ada satu kompetensi penting yang harus dimiliki oleh guru-guru anak usia dini ini; yaitu…”responsif” dan “unconditional love”. Memang idealnya 2 kompetensi ini harus dimiliki oleh guru di semua jenjang, namun terlebih di guru anak usia dini.

Kenapa? karena yang dibutuhkan oleh anak usia PG, TK, kelas 1-3 di sekolah, bukanlah seorang “guru”. Tapi seorang “ibu”. Gak percaya? coba intip kegiatan anak di usia ini. Yang paling gamblang adalah kegiatan anak PG dan TK. KAlau kita intip, kesibukan bu guru bukanlah untuk hal-hal yang sifatnya “akademis”. Tapi mengurus hal-hal yang sifatnya “nurture”. Nganter anak-anak pipis dan ee, ngelap ingus anak-anak yang flu, cebokin, bantu nyiapin dan mengarahkan saat makan, melerai yang rebutan mainan, menemani yang tantrum, mengajak yang pasif, membujuk yang mogok….

Dulu, saya pikir kalau guru SD mah udah concern-nya ke akademik….ternyata engga. Saya bener-bener kaget waktu pembagian raport Umar kelas 1 semester 1, bu gurunya dalam sesi konsultasi “melaporkan” gini : “Alhamdulillah bu, sekarang Umar nangisnya udah jarang…” WHAT ???? Umar suka nangis di kelas ????? Lalu saya pun bertanya lebih lanjut…dan kemudian tahulah saya bahwa….di awal-awal masuk kelas 1, Umar sering banget nangis di kelas. Pensil ilang nangis, lagi nulis kecoret temen nangis, mau lomba tahfidz dia gak pake peci nangis, merasa gak bisa ngerjain, nangis…..hadeeuhhh…. Trus gurunya bilang gini: “kalau lagi nangis gitu, saya mah peluk aja dia…da Umar mah sebenarnya pinter, cuman kalau lagi emosional, yang dia butuhkan ditenangin aja”. Itu persis yang akan saya lakukan !!! Daaan….dari obrolan itu tahulah saya bahwa kasus Umar yang sering nangis itu, itu mah kasus ringan….di hari-hari pertama sekolah, ada yang tantrum, muntah, pipis sampai pup di celana. Daaan…dengan sabar serta responsif ibu guru menemani dengan baik. Kalau ibu guru tak responsif, kejadian – kejadia nitu bisa berdampak pada anak-anak. Misalnya anak yang ngompol bisa jadi ejekan teman-temannya, dll.

Soal unconditional love.…saya banyak belajar dari guru-gurunya Azka, Umar dan Hana di TK mereka. Di TK ini, semua anak, baik yang “hebat” maupun yang “unik”, semua “disayangi”. Operasionalisasinya buat saya, terlihat saat pentas seni. Gak ada ceritanya yang tampil hanya yang “wanter”. Yang hiperaktif? malah dikasih peran utama sebagai pendekar silat. Namanya anak aktif, loncat sana-sini, gerak sana-sini, jadinya keliatan jawara banget. Yang ID? (Intellectual Disability)..tetep dikasih peran nari manuk dadali, karena kemampuan imitasinya bagus. SI anak gak hafal gerakannya. Tapi ia tetep terlihat okeh karena ia meniru gerakan temen-temennya. YAng “pemalu”? tetep eksis jadi pohon…..

teacherSaya jadi ingat….pernah baca satu jurnal yang isinya menyatakan bahwa guru prasekolah, dengan sikap responsif-nya, bisa membentuk attachment (kelekatan emosi) dan bisa memblokade efek negatif “insecure attachment” anak sama orangtuanya. Jadi, kalau ada anak yang kelekatan emosi sama ortunya “insecure”- maka anak potensial menunjukkan perilaki “negatif” di sekolah. Tantrum, agresi, dll. Tapi, perilaku ini tidak akan muncul jika ibu gurunya responsif, karena anak jadi membangun “secure attachment” sama gurunya.

Dalam beragam kesempatan berinteraksi dengan guru terutama guru prasekolah, saya selalu menyampaikan hal ini. Ya, terkadang guru “pesimis’ dengan mengatakan “kalau sama kita kan hanya 5 jam sehari bu, kan sisanya sama orangtua..”. Melalui tulisan ini saya ingin mengatakan, Ya, bersama ibu/bapak memang hanya 5 jam. Tapi bisa jadi, interaksi 5 jam itu bisa “menyelamatkan” anak dari keburukan-keburukan yang potensial terjadi saat anak mendapatkan pengasuhan yang buruk di keluarga.

Terutama buat guru-guru prasekolah dan guru anak usia dini…let’s be a mother buat anak-anak didiknya…kalau menurut saya, insya allah setiap anak kita berdoa “rabbighfirlii…wali-wali dayya warhamhumaa kamaa robbayani soghiiiro….” ibu-ibu guru yang jadi “ibu” di sekolah , juga akan “kecipratan” doa ini….

Salam takzim untuk guru-guru di seluruh dunia…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: