15 Juni lalu, pernikahan kami tepat berusia 12 tahun. 12×365 hari. Lumayan lama. Sejak dua tahun lalu, kami mendeklarasikan tanggal 15 Juni sebagai hari ulang tahun keluarga pada anak-anak. Kami “memperingatinya” sebagai rasa syukur. Apalagi sejak beberapa tahun lalu, mulai ada beberapa teman yang rumah tangganya kandas. Bukan oleh masalah besar. Tapi oleh masalah-masalah “biasa” yang juga kami alami. Artinya, “potensi” berpisah itu, juga kami miliki. Biasanya kami mensyukurinya dengan liburan bersama. Ada sesi doa bersama untuk kebahagiaan keluarga kami.
Ada yang istimewa di hari “ulang tahun keluarga” tahun ini. Apakah itu? Yang pertama, si abah inget !!! haha…. saya agak kaget waktu 2 minggu sebelumnya si abah bbm bilang “ulang tahun keluarga kita liburan ke **** yuks” …. buat seseorang yang gak pernah inget hari ulangtahunnya sendiri, ini hal yang luar biasa….berarti saya berhasil membrain-wash nya haha…Yang kedua….selagi saya berencana untuk mengumpulkan foto momen bersama kami, si sulung Azka suatu hari datang dengan ide brilian. Dia akan bikin “short movie” perjalanan keluarga….maklum, baru 3 minggu lalu dia diajarin “movie maker” di les fotografinya…
Berdasarkan teori “Kisaran Kerentanan Relasi Antar Pasangan Pada Usia Perkawinan” yang saya dapat dari Prof Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, maka pernikahan kami ini (10-15/18) termasuk usia “lampu kuning”. Katanya di usia ini, baik istri maupun suami masuk ke masa “puber kedua”. Tapi istri biasanya fokus untuk menghadapi anak pertama yang umumnya sudah menginjak remaja. Bila tidak diwaspadai, suami bisa fokus pada remaja lain di luar perkawinan hehe …(wil gituh 😉. Tapi istri juga rentan dengan hadirnya pil, sehingga di usia pernikahan ini sering juga terjadi perceraian. Kalau ditinjau dari tahap perkembangan keluarga, maka menurut om Duvall (1977) kami sedang berada pada tahap perkembangan “family with school children”; yang salah satu tugas perkembangannya adalah “mempertahankan keintiman sebagai pasangan” disamping membantu anak-anak mencapai tugas perkembangannya.
Penghayatan kami sendiri…kami sedang merasa “nyaman-nyamannya” di usia pernikahan kami sekarang ini. Ya…berantem-berantem sih masih….tapi “basic trust” antar kami, rasanya telah terbentuk dengan kuat. Frekuensi pun sering nyambung. Empati dan “perspective taking” kerasa banget tumbuh dan berkembang. Pertengkaran-pertengkaran hanya berada di ranah “permukaan”; misalnya milih furniture…hehe…
Gak ada lagi “tragedi sukiyaki” seperti yang saya tulis di note facebook beberapa tahun yang lalu. Sekarang, bahkan kami sudah bisa “bertelepati”. Di tempat yang berbeda, saya dan mas melakukan hal yang kami harapkan. Yang paling sederhana….pernah saya ke pasar tanpa mas. Di perjalanan pulang, mas nelpon minta dibeliin kue cucur kesukaannya. Tentu saya bilang “terlambat nelponnya”. Nyampe rumah….tadaaaaa….kue cucur saya hidangkan. Itu yang pertama kali saya beli di pasar tadi…haha…. Mas juga begitu. Pulang kerja, bawa sesuatu yang saya pengen banget, padahal saya gak bilang…
Sebulan lalu, si abah bilang gini: “enak ya de, kita sudah saling memahami” …. itu gara-garanya, saya minta tolong mas pesan sesuatu ke temennya. Tapi sebagai orang yang antisipatif dan tau kalau mas pelupa, saya juga langsung menghubungi temen mas tersebut untuk pesen. Dua minggu kemudian, saya “tagih” ke mas, mana pesenan ke temen mas? mas bilang lupa banget…maaf…begitu dia liat di meja…tadaaaa barangnya udah ada…… itu yang dia bilang “kita sudah saling memahami kekurangan masing-masing”. Demikian pun mas. Sudah sangat memahami kebiasaan-kebiasaan buruk saya, dan sudah tau harus bersikap gimana yang membuat saya pas insyaf, jadi malu sendiri hehe…
Nah, artinya….selama 12 tahun ini kami sudah saling “bergerak”. Entah itu didorong oleh cinta atau komitmen. Gak penting lah…yang penting, kita mau “bergerak” memahami pasangan. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Saya ingin mencoba menjawab pertanyaan seorang teman : “bisakah kita merubah pasangan?”.
Merubah pasangan. Merubah kepribadiannya, kebiasaan buruknya. Bisakah? mmmhhhh….karena ini dalam konteks sebagai seorang yang telah mengarungi perjalanan pernikahan selama 12 tahun, maka saya akan jawab dengan referensi pengalaman. Tapi sebelum itu, saya ingin mengajukan sekaligus menjawab satu pertanyaan.
Haruskah kita mengubah pasangan? itu pertanyaan saya. Jawaban saya? Harus. (Kau yang bertanya….engkau yang menjawab…#dinyanyiin pake lagu dangdut#). Kenapa harus? karena itu bagian dari kewajiban sesama muslim. Amar ma’ruf nahi munkar. Kalau suami kita merokok kita diem aja….suami kita suka mengejek orang kita diem aja….suami kita berlebihan main games kita diem aja…tentu itu tidak benar. Apalagi kalau nanti kita semakin “senior”… mungkin status sosial ekonomi suami kita udah semakin tinggi….. jadi bos di kantor, disegani masyarakat…akan semakin sedikit orang yang bisa “mengingatkan”. Siapa lagi yang bisa “mengingatkan”nya selain kita, pasangannya? Jadi kita harus “mencanangkan” dalam hati, bahwa kita adalah orang yang selalu akan “menjaga pasangan kita” untuk selalu berada dalam kebenaran dan kebaikan.
Nah, sekarang baru ke pertanyaan temen saya itu. Bisakah kita merubah pasangan ? jawaban saya : BISA. Sejauh mana kita bisa merubah pasangan ? Naaah…ini yang rada “tricky”.
Mengubah kepribadian? berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya, kepribadian bukan hal yang mudah untuk diubah. Itulah sebabnya, para konselor pernikahan suka meminta calon pasangan suami istri untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan perilaku bermasalah pasangannya. Itu sebabnya juga, ketulusan untuk “mengubah pasangan” yang menggebu sebelum pernikahan, pada umumnya berakhir dengan keputusasaan. Kata rekan saya yang banyak bergerak di dunia KDRT, pada umumnya istri sudah mengetahui kecenderungan suami yang suka menganiaya fisik. Sebagian bahkan sudah mengalami KDP (kekerasan dalam pacaran).
Jadi, apa dong yang bisa diubah? Ada hukum dasar dalam psikologi: B=f (P,E). Behaviour atau perilaku adalah fungsi dari environment dan personality. Kita sulit untuk mengubah personality pasangan kita, yang udah terbentuk saat kita bertemu dengannya. TApi kita BISA mengubah behaviour pasangan kita. Artinya, perilaku dalam konteks tertentu.
JAdi, kita tak akan pernah bisa mengubah suami kita yang pendiam jadi supel. Tapi kita bisa membantu agar PERILAKU suami kita berubah, tak mengurung diri di kamar saat berkunjung ke rumah orangtua kita. Kita akan sulit mengubah kecenderungan agresi suami kita, tapi kita bisa mengubah perilaku suami kita untuk tak memaki-maki orang yang nyalip saat ia menyetir, di depan anak-anak. Biar berimbang…suami akan sulit mengubah sikap impulsif istrinya untuk belanja. Tapi suami bisa mengubah perilaku belanja istrinya, saat ia lagi bokek.
Dan perubahan PERILAKU itu, sudah cukup untuk membuat kehidupan berumahtangga menjadi nyaman. Apapun dasar pernikahan kita- entah itu cinta, komitmen, atau intimacy kalau pake teori Triangular Love-nya Sternberg; itu akan cukup membuat kita merubah PERILAKU yang diharapkan oleh pasangan. HAnya satu syaratnya. KEDEWASAAN. Itulah sebabnya pernikahan itu, adalah tugas perkembangan di usia dewasa.
Jadi, kalau mau flashback…memilih calon pasangan itu….ganteng/cantik boleh; soleh/solehah harus; kaya gak apa-apa, pinter gak salah…namun yang WAJIB harus di-cek adalah, apakah ia cukup dewasa untuk mau MENDENGARKAN dan FLEKSIBEL untuk MAU MENGUBAH PERILAKUNYA DALAM SITUASI TERTENTU, situasi yang bermakna bagi pasangannya.
Rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata a’yunin waj-’alna lil-muttaqîna imama.
“Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan: 74).
Recent Comments