Beberapa hari ini ada thread diskusi menanggapi adanya gagasan untuk menghilangkan kolom “agama” di KTP. Karena gagasan ini dimunculkan oleh salah satu timses capres yang tengah berlaga, maka jadilah isu ini cukup “hot”. Tampaknya memang karena pilcapres kali ini head to head, maka isu apapun menjadi “tajam”. Tentu ada yang pro dan ada yang kontra. Sayangnya, di tengah-tengah kepadatan aktivitas mengolah nilai dan mengurus puntas-pentas anak-anak, saya tidak punya waktu untuk membaca semua thread terkait diskusi ini. Hanya beberapa thread yang sempat saya baca. Dari situ saya coba memahami apa yang menjadi alasan pro dan kontranya.
Yang pro, mendukung pernyataan sang timses; bahwa cara ini bisa mengatasi diskriminasi yang terjadi. Jujur saja, saya baru tahu kalau ada fenomena ini. Diskriminasi agama berdasarkan informasi dari KTP. Katanya ada pegawai yang tidak diterima karena keterangan agama yang tercantum di KTPnya. Ada juga seseorang yang “tidak diterima” di lingkungan tertentu ketika yang berwenang di masyarakat tersebut membaca identitas agama ybs di KTPnya. Ada lagi yang menjelaskan sejarah KTP, bahwa dulu agama itu tidak ada. Kolom “agama” lalu dicantumkan untuk tujuan politik, dimana agama yang diakui hanya tertentu jumlahnya. Lebih luas lagi, pihak yang pro kemudian mempertanyakan “manfaat’ dari KTP. Itu sedikit yang saya tangkap.
Yang kontra ? mengusung gagasan menghargai keunikan dan “identitas” masing-masing individu. Bagaimana kita bisa menghargai seseorang sesuai identitasnya jika kita tidak mengetahui identitasnya secara utuh ? misalnya seorang bos, akan mengucapkan selamat hari raya sesuai agamanya…atau akan menguburkan sesuai agamanya…dan banyak implikasi teknis lainnya.
Mmmmhhh….tampaknya perbedaan gagasan ini, salah satunya dipengaruhi oleh pengalaman yang berbeda. Itu yang menjadikan “alam pemikirannya” berbeda. Yang mengalami, mengetahui atau menyaksikan adanya praktek diskriminasi, kemungkinan besar menjadi pro. Yang pengalaman hidupnya penuh kedamaian, penuh toleransi dan saling menghargai dengan orang2 yang “berbeda”, kemungkinan besar akan menjadi kontra.
Eh, sebenarnya ada satu kelompok lagi yang dengan kreatipnya “memelesetkan” isu ini dengan sentuhan humor. Ini yang saya kagum saya bangsa ini…apapun situasinya, bisa memberikan gagasan humor yang kreatiiiif banget 😉
Bagaimana dengan saya? saya pun akan menyampaikan pengetahuan dan pengalaman saya.
Kurang lebih 4 tahun lalu, saya pernah mengantar seorang kolega dari Belanda yang sedang mengajar di kampus saya ke IGD. Ia mengalami diare hebat. Di tempat pendaftaran rumah sakit tersebut, ia sangat kaget ketika harus mengisi “agama”. Setelah bingung lama, trus akhirnya dia bilang tulis ******** aja. Keheranannya tampaknya berkelanjutan. Saat saya mengantar ia ke ruang IGD dan menunggu dokter memeriksa, ia kembali bertanya pada saya; kurang lebih begini terjemahannya “saya merasa heran banget. di Belanda, gak pernah saya ditanya agama. Agama itu hal yang personal. Gak perlu orang tahu apa agama saya. Apalagi pemerintah. Buat apa ?” tanyanya. Waktu itu, tanpa pikir panjang dan sok tahu saya jawab: “well..in Indonesia, religion is important” kkk…kalau dipikir2, jawaban saya jaka sembung pisan nya…. tapi cukup memuaskan kayaknya tuh…soalnya kolega saya ini ngangguk2 ….kkkk
Tapi justru pertanyaan itu muncul lagi di benak saya saat ini, di trigger oleh persoalan “kolom KTP” itu. Saya jadi inget percakapan dengan seorang senior sebulan lalu. Ia sedang mengambil S3. Topiknya tentang “religious self di Indonesia”. Saya tanya, kenapa itu topiknya. Lalu beliau pun dengan semangat menceritakan preliminary-preliminary study beliau yang kemudian bermuara pada topik ini. Sayangnya, saya tidak terlalu menguasai teori “self” yang jadi grand theory disertasi beliau.
Secara sederhana, apa yang saya tangkap dari penjelasan beliau adalah seperti ini: berdasarkan study-study yang ia lakukan mengenai “Self” di Indonesia (self secara sederhana bisa diartikan sebagai “diri”, “Siapa saya”), ternyata tak pernah lepas dari agama. Agama apapun. Penelitian tentang PHBS (pola hidup bersih sehat), dalam konteks industri, dalam memaknakan well being (kesejahteraan), dll (beliau menyebutkan konteks-konteks lain tapi saya lupa 😉 semuanya selalu melibatkan nilai agama. Hal ini berbeda dengan di negara barat yang self-nya tidak mengandung aspek agama. Itulah khas-nya “self”; penghayatan mengenai “siapa saya” di Indonesia. Dari hal itulah bisa disimpulkan bahwa agama, merupakan identitas diri yang melekat pada diri orang Indonesia.
Saya menemukan fakta-fakta yang terkait dengan penemuan itu. Waktu kami meneliti masalah pernikahan dan perceraian, hampir seluruh responden kami yang berjumlah 250an, menjawab alasan dan harapan pernikahan dengan frame “agama”. Penelitian mengenai resiliensi (kemampuan untuk “bangkit kembali” setelah mengalami bencana/permasalahan berat), juga menyatakan ada faktor keyakinan agama yang berperan dalam diri manusia indonesia.
Jadi, boleh disimpulkan …. nilai2 agama, melekat dalam diri seorang manusia Indonesia. Memang sih, “pengejawantahannya tak selalu sesuai. Namun secara kognitif, “agama” memang tak dipungkiri menjadi bagian dari dirinya. Dengan alasan filosofis-empirik itulah, saya lebih setuju kolom agama tetap ada. Nanti kalau saya ketemu kolega yang mempertanyakan, saya akan jawab panjang lebar seperti yang saya tulis haha…dan mempertahankan kolom “agama” di KTP Indonesia menurut saya berarti mengakomodasi nilai indigenous dan kearifan lokal kita.
Jadi, bagaimana dengan isu diskriminasi ? apakah kita abaikan saja? seolah2 itu tak pernah terjadi dan tak usah kita pedulikan ? saya tak setuju. Kita harus akui bahwa itu ada, lha wong ada faktanya kok. Jadi, kalaupun ada yang perlu dihapus, buat saya yang perlu dihapus adalah perilaku mendiskriminasikan orang lain berdasarkan agama, dan berdasarkan apapun juga.
Sebagai penganut agama tertentu, perasaan bahwa agama saya satu2nya yang benar adalah wajar. Keyakinan itu yang menjadi alasan kita menganut agama tersebut bukan? Namun kebanggaan itu, cukuplah diuangkapkan saat kita berada diantara saudara2 seiman kita. Dalam pergaulan bersama orang yang berbeda agama? pengejawantahan kebanggaan kita pada agama yang kita anut harusnya berbentuk perilaku yang menggambarkan ajaran agama kita. Kalau semua penganut agama melakukan hal ini, tak akan ada situasi yang berujung pada diskriminasi. Karena nilai kebaikan dan kebenaran universal itu, merupakan “himpunan bagian” dari ajaran agama.
Gak perlu juga menyatakan toleransi agama dengan mengikuti peribadatan orang lain. Gak perlu yang muslim ikut ke gereja dan yang kristiani ikut pengajian. Menurut saya, bisa banget kok kita memegang keyakinan kita sendiri, dan tetap hidup harmonis dengan yang berbeda. Kalau kita masing-masing menjalankan agama dengan baik, diskriminasi itu harusnya tak perlu ada.
Tugas siapakah mengajarkan untuk berperilaku tak diskriminatif? tugas ibu pada anaknya. Tugas guru pada muridnya. Tugas bos pada bawahannya. Tugas pemuka agama pada pengikutnya. Tugas kita. Tugas saya. Tugas pemerintah. Tapi mungkin memang lebih mudah menghapus kolom agama dibandingkan menghapus sikap intoleransi ya….meskipun itu kayak kemoterapi. Yang hilang bukan hanya diskriminasinya, tapi juga banyak kebaikan-kebaikan lain, jadi turut hilang….
Recent Comments