Bagaimana cara kita bermain dengan anak? (part one)

Akhir bulan lalu, saya mengikuti kuliah umum yang diselenggarakan oleh Majoring Klinis Anak di kampus. Materinya  adalah THERAPLAY. Pengisinya seorang alumni kami yang telah mengikuti pelatihan THERAPLAY dan praktisi dengan pendekatan ini. Bagi teman-teman psikolog maupun orangtua yang ingin tahu lebih dalam mengenai Theraplay, dapat membuka link http://www.theraplay.org. Informasinya cukup lengkap.

Theraplay is a child and family therapy for building and enhancing attachment, self-esteem, trust in others, and joyful engagement. It is based on the natural patterns of playful, healthy interaction between parent and child and is personal, physical, and fun. Theraplay interactions focus on four essential qualities found in parent-child relationships: Structure, Engagement, Nurture, and Challenge. Theraplay sessions create an active, emotional connection between the child and parent or caregiver, resulting in a changed view of the self as worthy and lovable and of relationships as positive and rewarding. Demikian yang tertulis di laman http://www.theraplay.org/index.php/theraplay/what-is-theraplay.

Bukan tentang Theraplay yang akan saya ungkap di tulisan ini. Karena saya belum tuntas baca bukunya. Yang akan saya paparkan adalah “refleksi” buat kita, para orangtua. Ada satu konsep yang amat menarik buat saya dari Theraplay ini dalam tataran praktis parenting. Hal itu adalah 4 kualitas penting dalam hubungan orangtua-anak; (1) Structure, (2) Engagement, (3) Nurture, (4) Challenge.

Karena 4 hal itu adalah hal yang sangat penting dalam menentukan kualitas hubungan orangtua dengan anak, maka 4 “ingredients” itu yang seharusnya ada dalam hubungan kita dengan anak-anak kita. Bagaimana caranya? melalui satu kegiatan yang jadi “main business” anak, yaitu : bermain !!!!

Saya akan mulai menjelaskan dahulu definisi dari masing-masing kualitas itu, apa “ujung” dari masing-masing kualitas itu, lalu akan mencoba menggambarkan aktivitas “bermain” dan aktifitas keseharian apa yang bisa kita lakukan untuk memenuhi 4 kualitas itu.

Penjelasan mengenai 4 kualitas hubungan ortu-anak berdasakan buku Theraplay: Helping Parents and Children Build Relationships Through Attachment-Based Play, Third Edition, 2010 dengan Authors: Phyllis B. Booth and Ann M. Jernberg adalah :

(1) Structure

Dalam hubungan ortu-anak, ortu bertanggungjawab terhadap keamanan dan kenyamanan anak, mengawali interaksi, mengorganisasi dan meregulasi pengalaman anak, menetapkan batasan dan menyediakan arahan. Hal ini amat penting agar anak menghayati perasaan aman. Konsekuensi dari structure yang diberikan ortu ini adalah bahwa anak bukan saja menikmati keamanan fisik dan emosional, namun mereka juga bisa memahami dan belajar mengenai lingkungan mereka dan mereka bisa mengembangkan kemampuan untuk meregulasi diri mereka sendiri. Structure yang diberikan oleh ortu memberikan pesan pada mereka : “You are safe with me because I know how to take good care of you.”

Anak-anak yang over aktif, kurang fokus, atau punya kecenderungan cemas membutuhkan structure dari orangtuanya. Tak hanya anak…orangtua yang regulasinya lemah, yang memberikan aturan lisan namun tak menjalankannya, atau mereka yang kurang tegas juga butuh ini.
(2) Engagement

Hubungan ortu-anak terutama dengan bayi penuh dengan hal-hal yang menarik dan menyenangkan, yang berujung pada engagement emosi (maaf, tak menemukan padanan bahasa Indonesia yang tepat untuk menjelaskan makna “engagement”). Coba kita saksikan seorang ibu yang sedang bermain dengan bayinya….si bayi begitu bersemangat dengan menatap, tersenyum, ber-hao hakkeng…dan si ibu tak kalah semangat merespons si bayi dengan beragam cara. mengkilikitik si bayi, bermain ciluk ba, dan beragam aktivitas yang  delightful, stimulating, and engaging…. yang ujungnya adalah…menumbuhkan self-image yang positif pada si bayi. Si bayi menghayati bahwa ia adalah “seseorang yang terlihat dan berharga”. Ia juga belajar untuk berkomunikasi, berbagi kedekatan dan menikmati hubungan interpersonal. Pesan yang dihayati anak dari ortunya adalah :  “You are not alone in this world. You are wonderful and special”

Anak-anak yang cenderung menghidari kontak dan  terlalu kaku membutuhkan engagement dari orangtuanya. Tak hanya anak…orangtua yang terlalu sibuk dan “gak tau gimana caranya menikmati waktu dengan anak” membutuhkan ini.
(3) Nurture

Dalam hubungan ortu-anak, amat banyak kegiatan yang sifatnya “nurturing”. Menyuapi, mengayun-ayun, memeluk dan banyak lagi. Apa yang dilakukan ortu tersebut akan meyakinkan, menenangkan, dan amat penting untuk membentuk hubungan yang aman. Ortu mengantisipasi kebutuhan anak, dan ini bisa menumbuhkan perasaan pada anak bahwa orangtuanya memahami dan memikirkannya. Sebagai hasil dari pengalaman bagaimana orang dewasa hadir dan menenangkannya serta menyayanginya, anak secara bertahap juga belajar mengembangkan kemampuan untuk menenangkan diri. Pesan yang dihayati anak dari ortunya adalah :  “You are lovable. I
want you to feel good. I will respond to your needs for care, comfort, and affection.”

Anak-anak yang over aktif, agresif, atau “kurang matang” membutuhkan nurture  dari orangtuanya. Tak hanya anak…orangtua yang punya masalah dengan sentuhan, yang cenderung abai atau suka menghukum membutuhkan ini.

(4) Challenge

Dalam hubungan ortu-anak, ortu sering memberikan “tantangan” pada anak untuk “mengambil resiko” yang ringan dan sesuai perkembangan anak. Lalu selanjutnya, ortu mensupport anak untuk menjelajah dan mendukung anak untuk mencoba aktifitas baru yang menumbuhkan perasaan kompeten dalam diri anak. Misalnya saat kita “menantang” si  tahun yang sedang berjalan untuk menghampiri kita…lalu memberikan tepuk tangan meriah dan pelukan hangat saat si anak sampai pada kita. Saat orang dewasa mendukung perkembangan anak dan menunjukkan perasaan senang saat si anak mencapai keberhasilan, anak menghayati perasaan percaya diri terhadap kemampuannya untuk belajar, untuk menerima tantangan dan untuk memiliki harapan yang realistis terhadap dirinya sendiri. Pesan yang dihayati anak dari ortunya adalah : “You are capable of growing and of making a positive impact on the world.”

Anak-anak yang pemalu, sering merasa takut dan pencemas  membutuhkan challenge dari orangtuanya. Tak hanya anak…orangtua yang terlalu menekan anak tak sesuai dengen perkembangannya, terlalu protektif dan terlalu kompetitif membutuhkan ini.

………………….

Baiklah….waktu sudah menunjukkan jam 23. 45. Saya harus segera tidur. Kalau tidak….saya bisa terlambat bangun, terlambat masak sahur daaaan….akibatnya akan dirasakan oleh seluruh isi rumah ini hehe…..

Part two-nya nanti, saya akan coba memberikan contoh gambaran aktivitas keseharian dan contoh permainan apa yang mengandung masing-masing kualitas di atas. Saya gak janji kapan tulisan itu akan muncul hehe….

Namun karena ini adalah tulisan reflektif, maka saya ingin mengajak teman-teman juga diri saya sendiri, untuk bertanya pada diri:

  • Apakah kita berinteraksi dengan anak-anak kita?
  • Apakah kita mengajak dan menemani anak bermain?
  • Jika “ya”, sampai usia berapa?
  • Jika “ya”, berapa lama sehari ?
  • Bagaimana kualitas interaksi kita?
  • Bagaimana kualitas permainan kita?
  • Apakah kita sudah memberikan structure, engagement, nurture dan challenge pada anak-anak kita?
  • Apakah kita membutuhkan structure, engagement, nurture dan challenge untuk diri kita?
  • Dari empat kualitas itu apa yang kurang ? pada diri anak ? pada diri kita?

messageDan dua pertanyaan super penting:

  • “Pesan” apa yang dihayati anak dari sikap kita terhadapnya?
  • “Pesan” apa yang disampikan anak melalui perilakunya pada kita?

Its never too late untuk memperbaiki hubungan dan meningkatkan kualitas hubungan dengan anak-anak kita. Dan itu bisa kita lakukan melalui kegiatan sehari-hari. Mudah. Asal kita mau.

Semangat !!!!

 

 

My Science Boy

Keunikan manusia, selalu menarik buat saya. Tak hanya menarik secara pikir karena keseharian saya bergelut dengan keunikan manusia. Tapi juga menarik secara rasa. Itulah sebabnya saya menikmati sekali keseharian dengan 4 anak saya. Karena ada 4, maka keunikannya pun menjadi amat beragam. Saya sedang excited untuk mengeksplorasi keunikan dari 4 anak saya. Memilihkan buku, memilihkan baju…saya coba sebagai media “mengasah kepekaan saya” terhadap keunikan masing-masing.

Semakin hari, lewat beragam situasi dan peristiwa, semakin menguatkan keunikan Azka, si kaka sulung kelas 6 ini. Yang paling menonjol adalah nurturance-nya. Sesuai namanya, Rahima. Penyayang. Perasaannya peka banget. Waktu kecil, ada buku-buku yang gak pernah tamat dibacakan karena dia selalu nangis gara-gara tokoh di cerita itu menderita. Secara kepribadian, dia sangat mudah beradaptasi dengan beragam situasi. Detil, dan senang dengan kepastian. Makanya ia sangat antisipatif. Dia adalah “anak baik”. Rajin belajar, taat pada orangtua, sayang pada teman….. Sangat mudah diarahkan. Istilahnya mah, kalau saya dan abahnya sebagai ortu ingin dia jadi apa, dia mah akan ikut aja dan bisa “ngikutin” walau mungkin tak sesuai dengan keinginannya. Nurturance, hafalan kuat, senang sama keteraturan, antisipatif, detil….. tampaknya ia akan senang di bidang social service. Dokter, perawat, psikolog, guru…. Dan memang cita-citanya konsisten sejak kecil. Dokter. Meskipun berubah-ubah antara dokter hewan, dokter gigi dan dokter anak. KEmampuan verbalnya juga menonjol. Sekarang lagi suka banget menulis. Setiap hari duduk di depan laptop. Kalau kemana-mana, bawa laptop juga. di mobil pun ngetik-ngetik. Kata guru bahasa Indonesianya waktu kelas 4 dulu, karangannya penuh dengan “rasa”.

Liburan ini, semakin menguatkan kami-saya dan mas- akan keunikan si nomer dua, Umar. Dia dan kakaknya, adalah langit dan bumi. Kalau kakaknya rajin belajar, dia gak pernah mau belajar. Kalau kakaknya suka keteraturan dan kepastian, si kelas 3 ini suka sesuatu yang tidak bisa ia prediksikan hasil akhirnya. Explorer. Itu kata yang tepat menggambarkannya. Kalau kakaknya senang dengan buku-buku yang ada alurnya dan bertema “kemanusiaan” – cinta, persahabatan, dll; maka Umar dari kecil dulu seneng banget sama buku-buku yang sifatnya “fact”. Dulu waktu masih 4 tahun, menjelang tidur buku favoritnya yang selalu dia minta  untuk saya bacakan sebelum tidur adalah … atlas dunia. Bacainnya gimana ? ini amerika, ini australia, ia belanda, ini alaska, dll. Lalu bendera-bendera. Setelah bisa baca, dia suka banget binatang. Dia punya buku ular. Hafal segala jenis ular. Lalu binatang melata…..pokonya yang aneh-aneh.Sekarang ini dia lagi seneng fisika. Dia punya buku Fisika bodoh. Channel yang dia suka? geografic channel. Cita-citanya? mulai jadi tentara, pilot, angkata laut, master chef, petualang, sampai sekarang ilmuwan.

Semakin kesini, minatnya semakin jelas, ke sains. Buku why-nya banyak yang tentang sains. Makanya obrolannya pun begitu. Pernah saya dan abahnya nguping dia ngobrol sama temennya gini:  “ayah kamu merokok engga? kalau merokok, jangan deket-deket ya, soalnya kalau kita menghirup asapnya, 7 detik asap itu udah nyampe otak kita. Terus akibatnya bla…bla..bla…” . Dipadu dengan kepribadiannya yang “berani berbeda”, maka akhirnya saya tak khawatir dia gak pernah mau belajar. Karena dia “berani” menerapkan pengetahuannya dalam situasi belajar. Kalau kakaknya, jawab dan ngasih contoh di ujian persiiiiiis sama catatannya atau yang ada di buku. Umar? selalu beda. Misalnya, waktu pelajaran Bahasa Indonesia mengenai “mendeskripsikan objek”. Begini deskripsinya mengenai ular: “aku binatang melata. Aku ada yang panjang, ada yang pendek. Aku ada yang berbisa, ada yang tidak berbisa. Aku ada yang besar, ada yang lecil. Aku ada yang bersuara, ada yang engga bersuara. Aku ada yang hidup di air, di bawah batu dan di pasir”. Gak jelas banget kan ? Tapi waktu dipanggil gurunya diminta menjelaskan, dia bisa jelasin kalau ular itu ada yang panjang banget, tapi jenis viper itu pendek-pendek. Teruuuus…dia jelaskan satu-satu yang ia tuliskan. Syukurlah saya menemukan sekolah yang menghargai perbedaan. Jadi justru dia dapat nilai plus.

sainsLiburan ini, saya belikan dia 5 paket sains. Saya ingat, dia seneng banget sama percobaan-percobaan. Dan memang begitu di rumah juga. Segala macem dicoba. Daaaan …dugaan saya terbukti. Dari sejak kado itu dibuka….sejak bangun tidur sampai tidur lagi….itu percobaan gak henti-henti dia lakukan. Dan tak hanya mengikuti manual saja, dia coba-cobain juga campurin ini-itu, lakukan prosedur ini digabung sama prosedur itu, sampai saya deg2an takut campuran zat-zat itu berbahaya…..Tapi  excitement itu amat tampak dalam binar matanya, pada semangatnya terus bertanya prosedur-prosedur yang tidak ia pahami (misalnya…”apa maksudnya sisihkan bu?”…”1/4 teh segimana?”). Sampai dia browsing sendiri webnya dan minta dibeliin paket lain.

Begitulah ia. Gak terlalu tertarik pada manusia, gak terlalu suka materi yang verbal, suka dengan percobaan, tertantang dengan ketidakjelasan, rasa ingin tahu sangat tinggi…..sejauh ini, saya dan mas yakin kalau bidang sains akan memuaskan rasa ingin tahunya. Jadi inget waktu dia begitu semangat presentasi mengenai bakteri yang ia temukan di booth yakult kidzania.

Gimana Hana dan Azzam? masih misteri dan masih menduga-duga…..udah ada “hipotesis” sih, tapi…perlu data-data untuk menguatkan 😉

Semakin hari saya semakin yakin kalau anak itu, mungkin benar bisa jadi apapun. Kita fasilitasi kognitifnya. Ikutin bimbel yang top, masuk ke sekolah-sekolah favorit. Masuk jurusan favorit. Berprofesi “hebat”. Tapi menjadi seorang ysng menjalankan profesinya nanti dengan hepi? Itu tantangannya. Dan psikolog-psikolog yang bergerak di bidang penjurusan atau bimbingan karir, pasti tau kalau gak semua orang mengetahui apa yang dia suka. Sering sekali klien-klien remaja yang akan menentukan bidang perguruan tinggi, menjawab “gak tau” saat ditanya apa yang ia suka, kegiatan apa yang membuat ia bahagia…. padahal ia cerdas. Secara kognitif ekstrimnya “bisa masuk jurusan mana aja”.

Tapi setelah berprofesi nanti, bukan kecerdasan yang menentukan. Minat yang lebih menentukan apakah ia menjalani profesinya dengan sungguh-sungguh melibatkan hati, atau hanya “mencari nafkah”.

Kalau kita lakukan profesi  yang kita suka, badan kita mungkin lelah. Pikiran kita mungkin terkuras. Tapi hati kita kaya. Perasaan kita bahagia. Kita merasa bermakna. Kenapa saya bisa tahu? karena saya sudah merasakannya.

Jadi, tak penting anak kita “jadi apa”. Selama dia tahu yang dia mau. Dan saat ia belum tau, tampaknya kita sebagai orangtua bisa membantunya. Apakah harus menjadi orangtua yang psikolog? tidak. Saya pernah ketemu ibu yang bisa cerita anaknya jauh lebih detil dari paparan saya di atas. Secanggih-canggihnya psikolog dan test psikologi, tak ada yang lebih canggih dibanding seorang ibu yang telah bersama anaknya 9 bulan sebelum lahir dan 24 jam setiap hari, setelah ia lahir sampai usianya saat ini. Asal, ia mau peka.

Selamat mengeksplorasi potensi, minat dan bakat putra-putri anda, temans…  It will very interesting.