Keunikan manusia, selalu menarik buat saya. Tak hanya menarik secara pikir karena keseharian saya bergelut dengan keunikan manusia. Tapi juga menarik secara rasa. Itulah sebabnya saya menikmati sekali keseharian dengan 4 anak saya. Karena ada 4, maka keunikannya pun menjadi amat beragam. Saya sedang excited untuk mengeksplorasi keunikan dari 4 anak saya. Memilihkan buku, memilihkan baju…saya coba sebagai media “mengasah kepekaan saya” terhadap keunikan masing-masing.
Semakin hari, lewat beragam situasi dan peristiwa, semakin menguatkan keunikan Azka, si kaka sulung kelas 6 ini. Yang paling menonjol adalah nurturance-nya. Sesuai namanya, Rahima. Penyayang. Perasaannya peka banget. Waktu kecil, ada buku-buku yang gak pernah tamat dibacakan karena dia selalu nangis gara-gara tokoh di cerita itu menderita. Secara kepribadian, dia sangat mudah beradaptasi dengan beragam situasi. Detil, dan senang dengan kepastian. Makanya ia sangat antisipatif. Dia adalah “anak baik”. Rajin belajar, taat pada orangtua, sayang pada teman….. Sangat mudah diarahkan. Istilahnya mah, kalau saya dan abahnya sebagai ortu ingin dia jadi apa, dia mah akan ikut aja dan bisa “ngikutin” walau mungkin tak sesuai dengan keinginannya. Nurturance, hafalan kuat, senang sama keteraturan, antisipatif, detil….. tampaknya ia akan senang di bidang social service. Dokter, perawat, psikolog, guru…. Dan memang cita-citanya konsisten sejak kecil. Dokter. Meskipun berubah-ubah antara dokter hewan, dokter gigi dan dokter anak. KEmampuan verbalnya juga menonjol. Sekarang lagi suka banget menulis. Setiap hari duduk di depan laptop. Kalau kemana-mana, bawa laptop juga. di mobil pun ngetik-ngetik. Kata guru bahasa Indonesianya waktu kelas 4 dulu, karangannya penuh dengan “rasa”.
Liburan ini, semakin menguatkan kami-saya dan mas- akan keunikan si nomer dua, Umar. Dia dan kakaknya, adalah langit dan bumi. Kalau kakaknya rajin belajar, dia gak pernah mau belajar. Kalau kakaknya suka keteraturan dan kepastian, si kelas 3 ini suka sesuatu yang tidak bisa ia prediksikan hasil akhirnya. Explorer. Itu kata yang tepat menggambarkannya. Kalau kakaknya senang dengan buku-buku yang ada alurnya dan bertema “kemanusiaan” – cinta, persahabatan, dll; maka Umar dari kecil dulu seneng banget sama buku-buku yang sifatnya “fact”. Dulu waktu masih 4 tahun, menjelang tidur buku favoritnya yang selalu dia minta untuk saya bacakan sebelum tidur adalah … atlas dunia. Bacainnya gimana ? ini amerika, ini australia, ia belanda, ini alaska, dll. Lalu bendera-bendera. Setelah bisa baca, dia suka banget binatang. Dia punya buku ular. Hafal segala jenis ular. Lalu binatang melata…..pokonya yang aneh-aneh.Sekarang ini dia lagi seneng fisika. Dia punya buku Fisika bodoh. Channel yang dia suka? geografic channel. Cita-citanya? mulai jadi tentara, pilot, angkata laut, master chef, petualang, sampai sekarang ilmuwan.
Semakin kesini, minatnya semakin jelas, ke sains. Buku why-nya banyak yang tentang sains. Makanya obrolannya pun begitu. Pernah saya dan abahnya nguping dia ngobrol sama temennya gini: “ayah kamu merokok engga? kalau merokok, jangan deket-deket ya, soalnya kalau kita menghirup asapnya, 7 detik asap itu udah nyampe otak kita. Terus akibatnya bla…bla..bla…” . Dipadu dengan kepribadiannya yang “berani berbeda”, maka akhirnya saya tak khawatir dia gak pernah mau belajar. Karena dia “berani” menerapkan pengetahuannya dalam situasi belajar. Kalau kakaknya, jawab dan ngasih contoh di ujian persiiiiiis sama catatannya atau yang ada di buku. Umar? selalu beda. Misalnya, waktu pelajaran Bahasa Indonesia mengenai “mendeskripsikan objek”. Begini deskripsinya mengenai ular: “aku binatang melata. Aku ada yang panjang, ada yang pendek. Aku ada yang berbisa, ada yang tidak berbisa. Aku ada yang besar, ada yang lecil. Aku ada yang bersuara, ada yang engga bersuara. Aku ada yang hidup di air, di bawah batu dan di pasir”. Gak jelas banget kan ? Tapi waktu dipanggil gurunya diminta menjelaskan, dia bisa jelasin kalau ular itu ada yang panjang banget, tapi jenis viper itu pendek-pendek. Teruuuus…dia jelaskan satu-satu yang ia tuliskan. Syukurlah saya menemukan sekolah yang menghargai perbedaan. Jadi justru dia dapat nilai plus.
Liburan ini, saya belikan dia 5 paket sains. Saya ingat, dia seneng banget sama percobaan-percobaan. Dan memang begitu di rumah juga. Segala macem dicoba. Daaaan …dugaan saya terbukti. Dari sejak kado itu dibuka….sejak bangun tidur sampai tidur lagi….itu percobaan gak henti-henti dia lakukan. Dan tak hanya mengikuti manual saja, dia coba-cobain juga campurin ini-itu, lakukan prosedur ini digabung sama prosedur itu, sampai saya deg2an takut campuran zat-zat itu berbahaya…..Tapi excitement itu amat tampak dalam binar matanya, pada semangatnya terus bertanya prosedur-prosedur yang tidak ia pahami (misalnya…”apa maksudnya sisihkan bu?”…”1/4 teh segimana?”). Sampai dia browsing sendiri webnya dan minta dibeliin paket lain.
Begitulah ia. Gak terlalu tertarik pada manusia, gak terlalu suka materi yang verbal, suka dengan percobaan, tertantang dengan ketidakjelasan, rasa ingin tahu sangat tinggi…..sejauh ini, saya dan mas yakin kalau bidang sains akan memuaskan rasa ingin tahunya. Jadi inget waktu dia begitu semangat presentasi mengenai bakteri yang ia temukan di booth yakult kidzania.
Gimana Hana dan Azzam? masih misteri dan masih menduga-duga…..udah ada “hipotesis” sih, tapi…perlu data-data untuk menguatkan 😉
Semakin hari saya semakin yakin kalau anak itu, mungkin benar bisa jadi apapun. Kita fasilitasi kognitifnya. Ikutin bimbel yang top, masuk ke sekolah-sekolah favorit. Masuk jurusan favorit. Berprofesi “hebat”. Tapi menjadi seorang ysng menjalankan profesinya nanti dengan hepi? Itu tantangannya. Dan psikolog-psikolog yang bergerak di bidang penjurusan atau bimbingan karir, pasti tau kalau gak semua orang mengetahui apa yang dia suka. Sering sekali klien-klien remaja yang akan menentukan bidang perguruan tinggi, menjawab “gak tau” saat ditanya apa yang ia suka, kegiatan apa yang membuat ia bahagia…. padahal ia cerdas. Secara kognitif ekstrimnya “bisa masuk jurusan mana aja”.
Tapi setelah berprofesi nanti, bukan kecerdasan yang menentukan. Minat yang lebih menentukan apakah ia menjalani profesinya dengan sungguh-sungguh melibatkan hati, atau hanya “mencari nafkah”.
Kalau kita lakukan profesi yang kita suka, badan kita mungkin lelah. Pikiran kita mungkin terkuras. Tapi hati kita kaya. Perasaan kita bahagia. Kita merasa bermakna. Kenapa saya bisa tahu? karena saya sudah merasakannya.
Jadi, tak penting anak kita “jadi apa”. Selama dia tahu yang dia mau. Dan saat ia belum tau, tampaknya kita sebagai orangtua bisa membantunya. Apakah harus menjadi orangtua yang psikolog? tidak. Saya pernah ketemu ibu yang bisa cerita anaknya jauh lebih detil dari paparan saya di atas. Secanggih-canggihnya psikolog dan test psikologi, tak ada yang lebih canggih dibanding seorang ibu yang telah bersama anaknya 9 bulan sebelum lahir dan 24 jam setiap hari, setelah ia lahir sampai usianya saat ini. Asal, ia mau peka.
Selamat mengeksplorasi potensi, minat dan bakat putra-putri anda, temans… It will very interesting.
Mar 16, 2016 @ 16:34:47
Jazakillah khoir katsir mb, saya mendapat banyak manfaatnya