Saya pernah baca satu buku yang menjelaskan bahwa mengetahui dan meng-alam-i proses sesuatu, itu punya dampak besar buat anak. Waktu itu bukunya mengenai perkembangan kognitif anak. Jadi anak tau beras yang dia makan setiap hari itu asalnya dari mana, terus ke mana, lalu digimanain… atau telur yang ia makan itu berasal dari apa, lalu gimana bisa jadi telor dadar yang yummi….itu membuat “sense of…process” anak terasah. Bahwa segala sesuatu tidak ujug-ujug, ada prosesnya. Itulah sebabnya, pembelajaran pada anak haruslah melalui proses meng-alam-i. Anak melihat, menyentuh, menghirup…abstraksi dari pengalaman-pengalaman sensoris itu yang akan jadi bekal kemampuan berpikirnya.
Tapi seiring perjalanan waktu, ketika saya “mengamalkan” ilmu itu, saya menemukan “side effect” lain. Bahwa mengajak anak meng-alam-i suatu proses, itu menumbuhkan penghayatan akan upaya yang dilakukan oleh orang lain. Tak hanya pada anak. Tapi juga pada orang dewasa. Ujung-ujungnya…adalah kesadaran akan realitas dan penghargaanpada orang lain.Kesadaran akan realitas. Berapa banyak kita temukan anak SMA yang menganggap bahwa mereka bisa mencapai keinginanya tanpa herus melalui proses-proses dan tantangan-tantangan tertentu? Penghargaan pada orang lain. Berapa banyak kita lihat saat ini orang yang meremehkan apa yang sudah dilakukan oleh orang lain.
Beberapa kali saya menemani mamah masak, ternyata si soto kaki kambing kesukaan saya itu, proses memasaknya luarrrr biasa. Dari bakar bulunya, rebus, bikin bumbunya…….dst dst. Kalau saya tak pernah ikutan masak, gak akan bisa saya menghayati “pengorbanan mama” dan menghargainya dengan berterima kasih. Beberapa kali saya mengajak anak-anak ikut proses memasak makanan kesukaan mereka, terucap juga dari mulut mereka: “ternyata susah, ribet ya bu”. Ya, mecahin telor aja tak mudah ternyata …
Nah, penghayatan itu yang ingin saya tanamkan pada anak-anak saya. Kita akan sulit untuk menghargai kalau tak menghayati. Dan menghayati itu, seringkali harus lewat meng-alam-i. Kalau tak pernah jadi koordinator mata kuliah, saya akan terus mengkritik tanpa empati koordinator mata kuliah saya yang saya nilai “kurang maksimal”. Setelah saya menjadi koordinator mata kuliah, tahulah saya bahwa ada kesulitan dan persoalan yang harus saya selesaikan. Tak semudah waktu saya jadi komentator. . Kalau saya tak meng-alam-i jadi ketua suatu unit, tak akan pernah saya bisa menghargai hal kecil yang dilakukan oleh ketua unit tersebut, karena saya tak akan pernah tau betapa besarnya upaya yang harus dilakukan.
Ini salah satu kesedihan saya. Begitu mudahnya kita “meniadakan” upaya besar yang orang lain telah lakukan….begitu mudahnya kita menghilangkan rekam jejak kebaikan yang telah dilakukan seseorang. Padahal sikap kita, tak akan meniadakan kualitas mereka. Sikap kita hanya akan menunjukkan kualitas kita.
Sebagai seorang enterpreuner, saya sering mendengar betapa suami saya menghargai si X, si Y, si Z, karena dia tau betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi di dunia enterpreuneur…Teman saya yang penghafal al-Qur’an, begitu dalam penghargaannya pada para hafidz karena ia tahu amat sangat sulit menjaga hafalan secara konsisten. Sebagai seorang akademisi, saya meng-alam-i begitu amat sulitnya menulis karya ilmiah yang sangat sistematis. Maka, saya amat menghargai orang-orang yang telah berupaya dan berhasil melakukannya.
Yups, kita tak mungkin meng-alami-i semuanya. Namun kalau kita menghayati bahwa ada proses untuk mencapai sesuatu, bahwa untuk membuat baju kotor ini bisa dipakai lagi ada sekian panjang proses yang harus dilakukan… semoga itu menjadi bekal buat kita untuk menghayati…bahwa orang yang berbuat itu, melakukan satu proses.
Jangan-jangan, kalau kita sangat mudah meniadakan karya orang lain, begitu sulit menghargai upaya orang lain, itu karena kita tak pernah berbuat apa-apa. Sehingga dalam bayangan kita, semua yang orang lain buat itu amat mudah dan tak butuh upaya.
Ajari anak-anak kita untuk meng-alam-i proses, untuk meng-harga-i upaya yang dilakukan, untuk tak mudah me-niada-kan hasil karya orang lain.
Recent Comments