Seragam vs Tidak Seragam

Sepuluh tahun lalu, 2004, selepas kuliah profesi dan jadi “freshgraduate psikolog”, saya punya minat yang amat besar ke dunia pendidikan. Maka saat itu, saya banyak baca tentang konsep-konsep pendidikan, beragam konsep sekolah. Kebetulan saat itu juga mulai muncul beragam sekolah swasta dengan konsep yang beragam di Bandung. Salah satu sekolah yang saya menarik buat saya adalah sekolah yang  menerapkan konsep dan teknis kegiatan yang merupakan “antitesis” dari konsep yang selama ini ada. Konsep sekolah formal diubah 180 derajat menjadi informal. Operasionalisasinya? murid tanpa seragam, bangunan sekolah terbuka, relasi guru-murid begitu “cair”. Saya membantu sekolah tersebut. Sampai sekarang. Meskipun bentuk dan intensitasnya sudah jauh berubah.

Namun filosofi “tak memakai seragam sekolah”, baru saya ketahui setelah beberapa tahun saya di sana. Dari sebuah buku. Buku biografi penggagas konsep sekolah tersebut. Dan saya, begitu terkesan dengan paparan beliau mengenai alasan mengapa beliau tak memberlakukan seragam di sekolahnya.

Selama ini, saya amat setuju dengan konsep seragam. Alasannya? ia bisa mengurangi kesenjangan sosial. Bayangkan si miskin yang mungkin, dalam seminggu bajunya itu…itu aja. Lusuh. Kucel. Sedangkan si kaya, mungkin bajunya selalu berbeda…dengan mereka-merek tertentu….Ya, saya setuju. Saya lupa dapat pemahaman itu dari mana ya…;)

Namun beliau, punya sudut pandang yang sama sekali berbeda. Bahwa keragaman itu, tak akan pernah bisa kita hindari. Dan sedari kecil, anak-anak kita perlu dilatih untuk berada dalam keberagaman. Agar bisa bersikap benar dalam keberagaman. Tak terbawa arus, namun tak terkucilkan. Si miskin, dilatih untuk percaya diri dan tidak menilai kualitas dirinya hanya dari baju yang ia pakai. Si kaya, belajar mengasah empati untuk menahan keinginannya menunjukkan kemewahan yang ia punya. Dengan melihat adanya “realitas lain” dari “realitas tempat selama ini ia berada”, ia akan punya lantang pandang yang lebih luas dalam bersikap, menilai masalah dan berperilaku.  Itu secara konseptual.

Secara operasional? saya selalu terpesona melihat anak-anak itu, tampil dengan ciri khasnya masing-masing. Saya jadi hafal, kalau yang pake baju batman tiap hari, pasti si X. Saya juga kenal si Y karena anak itu selalu bergaya girly dengan segala macam aksesoris princessnya. Berawal dari hal fisik, moga-moga proses ini membuat anak jadi mengenal siapa dirinya.

Ya, ditunda selama apapun, anak kita akan terjun dalam masyarakat yang beragam. Dan bagaimana ia melihat keberagaman dan perbedaan, tergantung dari pengalaman dan nilai-nilai yang ia pelajari  mengenai perbedaan tersebut.

Duluuuu, saya pernah mengobrol dengan beberapa ibu. Tentang sekolah. Beberapa ibu tersebut menyayangkan sekolah anaknya kini menjadi sekolah inklusi, dimana anak-anak berkebutuhan khusus berada dalam satu kelas bersama anak-anak mereka. Beberapa ibu bahkan secara gamblang menyatakan menghindari sekolah yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Saya ingin tahu apa yang menjadi landasan pandangan mereka. Sebagian bilang “takut terpengaruh. Nanti anak saya jadi ikut autis”. Sebagian lagi bilang “gak tau ya, gak enak aja gitu…mereka kan beda ya…”. Jujur saja saya sediiiih sekali. Ya, saat itu kemudian saya jelaskan bahwa sekelas bersama seorang anak autis, tidak serta merta akan menjadikan anak mereka menjadi autis. Tapi saya paham. Zaman kita kecil, banyak “stigma” yang melekat pada kelompok yang berbeda dengan kita. Saya ingat, dulu waktu kecil  saya suka dibilangin oleh tetangga-tetangga saya….”hati-hati, keluarga “XYZ” mah PERSIS”. Dengan intonasi dan mimik wajah yang…waktu kecil, saya artikan sebagai mimik yang menunjukkan bahwa PERSIS itu buruk lah….sebisa mungkin kita hindari….Intonasi dan mimik wajah yang sama  saya lihat dari ibu-ibu yang tadi saya ceritakan. Yang mengagetkan adalah, mereka ibu-ibu terpelajar. Beberapa profesional. Tapi memang mengandalkan “katanya…..” adalah cara ampuh buat kita untuk menghindari keberagaman.

Saya teringat lagi peristiwa dengan ibu-ibu itu ketika 3 minggu lalu, suatu siang di sebuah kolam renang, Hana yang katanya pengen banget berendam di kolam air hangat menolak ke sana. Waktu saya anter, ia menunjuk seseorang. Seorang anak dengan wajah khas Syndrome Down. Badannya besar, mungkin usianya sudah belasan, namun perilakunya kalau saya lihat seperti anak usia 5 tahunan. Beberapa ibu, saya lihat membawa anaknya menjauh dari anak itu. Waktu itu, saya coba jelaskan gak apa-apa main bersama dia…saya ajak ngobrol anak itu….lalu saya jelaskan pada Azka, Umar dan Hana bahwa ada anak-anak yang walaupun sudah besar, tapi dalam dirinya ia merasa sebagai anak yang lebih kecil. Engga apa-apa….Hana tanya “kenapa wajahnya beda?” saya coba jelaskan karena ia sakit tertentu. Tapi tidak berbahaya. LaLu akhirnya, dengan saya dampingi, anak-anak pun mau main bersama anak itu. Bahkan terakhir, Hana akrab banget…Saya gak tau apakah penjelasan saya tepat atau tidak. Tapi saya merasa cara pandang terhadap perbedaan yang ia lihat itu, harus saya tanamkan dengan benar.

Ada satu kejadian lucu juga terkait hal ini. Waktu Umar 4 tahun, saya ajak menemui kolega saya dari Belanda. Umar memandang kolega saya itu dari ujung rambut ke ujung kaki, dari ujung kaki ke ujung kepala. Terus dengan lantang dia ngomong begini: “Mas Umal belum pelnah liat olang kayak gitu” hahaha…untuk dia kagak ngarti….Lalu saya jelaskan, bahwa di setiap tempat orang-orang itu bisa beda warna kulit, warna rambut, dll….tapi mereka sama aja kayak kita. Baik. Awalnya, Umar gak mau dipangku si bule itu. Waktu itu kami nonton angklung di Saung Ujo. Tapi setelah lama kelamaan si bule begitu ramah sama Umar, maka di akhir acara dia mau dipangku.

diversityDari dua kejadian itu saya mengambil kesimpulan bahwa pengalaman, adalah cara jitu untuk mengajarkan anak kita merasakan bahwa perbedaan itu bukan ancaman. Sebagai orang dewasa pun, jujur saja saya sendiri jauh lebih nyaman berada dalam lingkungan yang homogen. Tapi baru-baru ini saya belajar bahwa berada di lingkungan yang heterogen, mengajarkan kita beberapa hal yang amat berharga.  (1) Peka terhadap orang lain. Tanpa sadar, dalam lingkungan yang homogen, kita mungkin mengembangkan nilai-nilai merasa “lebih”. Seringkali tanpa sadar kita punya  “ejekan-ejekan” tertentu pada orang-orang yang kita anggap “lebih rendah” dari kelompok kita. Kita mungkin biasa bilang orang lain berasal dari almamater yang “abal-abal” karena almamater kita adalah almamater yang keyeen….Kita mungkin gak sadar mengungkapkan kata-kata sinis pada orang-orang yang berbed apandangan dengan kita….(2) Saya sering terbelalak terkaget-kaget mengetahui bahwa setelah berbaur dengan “mereka yang berbeda”, ada banyak kesamaan yang terjadi. Ada banyak “stigma” salah yang kita kembangkan tentang mereka. Ada banyak “hikmah” dan “pelajaran” juga “kebaikan” yang tak pernah kita lihat ketika kita mengandalkan “katanya” dan menghindari mereka.

Jadi…sejujurnya saya sekarang tak setuju dengan seragam. Seragam apapun. Termasuk seragam ibu-ibu pengajian hehe…Menurut saya, ada nilai yang lebih bermakna dibanding “kekompakan” yang terkadang, melenakan kita menjadi eksklusifitas.

 

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: