Halal Bi Halal : Ber-maafan atau Ber-rekonsiliasi ? (versi 2.0)

Minggu ini atau minggu depan, kita mulai akan beraktifitas kembali dalam rutinitas masing-masing. Anak-anak masuk sekolah, bapak-ibu yang bekerja akan mulai ngantor, yang di rumah akan kembali berbaur dengan dengan aktivitas bersama tetangga.  Agenda yang tidak pernah tidak ada sehabis lebaran adalah HALBI atau halal bi halal. Baik dilakukan secara formal (mengundang ustadz, pake acara makan2 😉 atau tidak formal (setiap ketemu salaman, cipika-cipiki). Semua itu dilakukan sebagai tanda kita saling bermaafan. Saya memaafkan kesalahan kamu, kamu memaafkan kesalahan saya.

Saya setuju dengan pandangan Mustofa Bisri aka Gus Mus dalam bukunya “Menembus Pintu Langit”. Di buku itu, ada salah satu judul tulisan beliau: “Idul Fitri atawa Lebaran”. Kalau saya ringkas, menurut beliau Halal Bi Halal (selanjutnya akan disebut dengan istilah “Halbi”) ini “dibudayakan” oleh para pendahulu kita di Indonesia sebagai salah satu bagian penting membersihkan diri, menghapus seluruh dosa yang pernah dilakukan. Kesalahan pada Allah, bisa dihapus dengan berbagai ritual ibadah : beristighfar, sholat, puasa, zakat. Sedangkan dosa pada sesama manusia, selain memerlukan pertobatan pada Allah, ada satu syarat lagi yang diperlukan…yaitu, meminta maaf pada orang yang bersangkutan. Nah..di moment halbi inilah menurut Gus Mus, tampaknya setiap orang lebih lapang dadanya untuk meminta maaf dan dimaafkan. Di moment ini, bahkan tanpa “mikir” kita meminta maaf dan memaafkan, hal yang mungkin berat kita rasakan saat “hari-hari biasa”.

Buat sebagian orang, memaafkan bukanlah proses yang mudah. Saya ingat ada seorang teman yang sangat peka dan sulit baginya untuk bisa memaafkan kesalahan yang telah dilakukan orang lain padanya. Apalagi jika kesalahan yang dilakukan oleh orang tsb begitu “mendalam” dan “personal” serta menyangkut hal yang sangat “prinsip”. Beberapa tahun lalu, saya tak bisa menghayati ini. Namun tahun ini, saya bisa menghayati karena ada seseorang yang melakukan sesuatu pada keluarga saya, yang bahkan “dalam bayangan pun” beraaaaat sekali untuk saya maafkan.

Dalam proses “memaksa diri” untuk memaafkan inilah saya ingat tulisan dalam buku  Handbook of Forgiveness (2005) yang di editor-i oleh Everett L. Worthington, Jr. Di buku itu dijelaskan bahwa “memaafkan” sebenarnya bermanfaat untuk yang bersangkutan. Penelitian menunjukkan bahwa orang2 yang bisa “memaafkan” kesalahan orang lain, hidupnya lebih bahagia. Mereka tidak akan menjadi “ahli sejarah” yang akan mengingat kesalahan orang-orang kepadanya. Jadi kalau dilihat dari sudut pandang egoistis, sebenarnya memaafkan itu adalah untuk kepentingan diri kita sendiri.

Hal paling menarik yang diungkapkan oleh buku itu adalah, bahwa insting “memperbaiki hubungan” itu tak hanya ada pada manusia, tapi juga pada hewan. Sayangnya, hal itu bukanlah yang dimaksud dengan “memaafkan”, namun hanya “rekonsiliasi”.

Reconciliation is defined as a friendly reunion between former opponents: The reunion supposedly serves to return the relationship to normal levels of tolerance and cooperation. Begitu diungkap di buku ini.  Jika merujuk pada definisinya, maka hasil rekonsiliasi adalah “hubungan yang kembali pada level kerjasama dan toleransi yang normal”. Dua makhluk yang sudah berekonsiliasi akan bisa bersikap “biasa” lagi. Ini sejalan dengan definis rekonsiliasi menurut kamus besar Bahasa Indonesia : re·kon·si·li·a·si /rékonsiliasi/ n 1 perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pd keadaan semula.

Tapi, rekonsiliasi BUKANLAH memaafkan. Memaafkan hanya bisa dilakukan oleh MANUSIA. Dan, tak semua manusia juga bisa melakukannya meskipun punya potensi ini. Betapa banyak kita lihat orang-orang, atau mungkin diri kita sendiri yang setiap tahun bersalaman saat halal bi halal, namun setelah itu ….. rasa benci itu, rasa kesal itu, tak memudar sedikitpun.

Forgiveness is best defined as a victim releasing or foregoing bitterness and vengeance toward the perpetrator of an offense while acknowledging the seriousness of the wrong. Forgiveness does not imply forgetting (Smedes, 1996), condoning (Veenstra, 1992), reconciliation (Freedman,1998), or release from legal accountability (Enright & Fitzgibbons, 2000).

Further, we assume that the absence of negative feelings toward the offender is sufficient for forgiveness. This definition allows maximum applicability across religious worldviews, which vary as to whether acknowledgment of wrongdoing and restitution by the offender are prerequisites of forgiveness and whether positive feelings or actions by the victim are a necessary part of forgiveness (Rye et al., 2000).

The process of forgiveness occurs when individual A has been wronged in some way by individual B, resulting in A having negative emotions toward B. A then attempts to cope with the situation and overcomes these negative feelings, which usually requires changing one’s perception of the other individual. Forgiveness implies acceptance of the situation and the other individual.

forgives2Nah, melalui penjelasan diatas, jelaslah sudah…”make sense” kenapa pahala memaafkan amatlah besar, dan benefit psikologisnya pun segudang. Jadi sambil bermaafan, ada baiknya dalam hati kita hayati betul bahwa kita benar-benar melakukan proses “memaafkan”. Bahkan untuk kesehatan mental kita, yang perlu kita lakukan adalah bayangkan orang-orang yang telah melukai kita, lalu lakukan proses memaafkan. Bahkan jika tak bertemu dengan orang itu. Tentunya sambil diniatkan beribadah.

Jika amat berat karena kesalahan yang dilakukan oleh seseorang itu begitu besar, mendalam dan amat menyakitkan, menurut saya keywordnya adalah requires changing one’s perception of the other individual. Kalau mau bisa memaafkan kita harus ubah persepsi kita mengenai orang itu. Kita luaskan lantang pandang  kita dalam melihat orang tersebut; bukan hanya berfokus apa yang dia lakukan terhadap kita, tapi siapa dia. Sejauh mana pengetahuannya, bagaimana lingkungannya, mengapa dia melakukan itu. Proses memaafkan, akan selalu menempatkan kita sebagai seorang yang posisinya “di atas”. Yang “mau memahami” orang lain. Yang “lebih dewasa”. Itulah salah satu hikmah memaafkan.

Semoga kita selalu mendapatkan “hasanah” dalam kehidupan kita ini. “Hasanah” ada kebaikan yang tak hanya di dunia, namun “memanjang” sampai ke akhirat. Atau dengan kata lain,  bahagia di dunia dan selamat di akhirat. Siapa yang tak mau bahagia dan selamat? memaafkan adalah salah satu caranya. Biar kita sehat. Fisik, Psikologis dan Spiritual.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: