Kasus artis cantik Marshanda dan aktor terkenal Robin Williams yang mengalami “gangguan kesehatan jiwa”, tampaknya membuat “galau” sebagian dari kita. Selain 2 tokoh tersebut, ada satu lagi yang terkenal, yaitu “bipolar”. Cukup banyak pertanyaan yang saya terima terkait dengan si “bipolar” ini. Memang sih, kalau baca-baca artikel yang kita dapati di media tentang bipolar ini, wajar kalau sebagian dari kita jadi “curiga”, jangan-jangan diri kita, pasangan kita, sodara kita, temen kita…punya gangguan bipolar hehe…kayaknya simptomnya cucok gituh 😉
Misalnya, ini penjelasan mengenai bipolar dari link yang cukup populer : health.detik.com dalam artikel Mengenal Bipolar: Datang dari depresi dan harus minum obat terus-menerus. “Jika hari ini riang gembira, tahu-tahu esoknya diliputi duka nestapa. Penderita bipolar sering merasakan sensasi bahagia, sedih dan galau secara bergantian. Jika diibaratkan, siklusnya mirip jet coaster,” kata dr Dito kepada detikHealth dan ditulis pada Jumat (8/8/2014).
Dalam tulisan ini, saya tak akan membahas tentang Bipolar atau Depresi. Nanti saya minta teman saya yang mendalami psikogi klinis dewasa yang membahas hal tersebut. Dalam tulisan ini saya akan mengulas tentang hal yang lebih mendasar, yaitu apa itu “normal” dan “abnormal”. Ini adalah salah satu topik kuliah saya, yaitu mata kuliah Pengantar Psikologi atau nama “kerennya” PEPSI :). Psikologi abnormal sendiri, di psikologi diajarkan khusus 1 semester yaitu di semester 5.
Sebelum saya mengulas, mungkin ada baiknya kalau ada kertas dan pulpen, silahkan diambil, lalu tuliskan perilaku yang dianggap “abnormal” oleh teman-teman …..” haha…sok dosen pisan nya….” kkkk
Menurut Atkinson dan Hilgard (2009), ada 4 kriteria yang bisa digunakan untk menilai apakah satu perilaku disebut “abnormal” atau “menyimpang. Empat kriteria tersebut adalah :
- Penyimpangan dari norma budaya
- Penyimpangan dari norma statistik
- Tingkah laku maladaptif
- Personal Distress
Mari kita bahas persatu :
(1) Suatu perilaku bisa disebut ABNORMAL jika menyimpang dari NORMA BUDAYA
Seminggu lalu, saat saya berada di sebuah toko buah, ada dua perempuan memakai baju super minim. Sangat super minimnya. Hampir semua pengunjung toko buah tersebut, tak ada yang bisa menyembunyikan tatapan pada kedua perempuan tersebut. Setelah perempuan itu keluar toko, beberapa berkomentar dan saling meng-iya-kan. Intinya adalah, pegunjung toko buah itu menilai kedua perempuan tersebut memakai pakaian yang “kurang pantas” dikenakan di tempat umum. Padahal kalau kita liat film barat, mungkin kita biasa melihat perempuan barat mengenai pakaian super minim tersebut. Ini adalah contoh perilaku abnormal menurut norma budaya.
Sebaiknya, kita “peka” terhadap hal ini. Sejalan dengan perspektif “Cultural Relativist” yang menyatakan bahwa “we should respect each culture’s definitions of abnormality for the members of that culture, We do not impose one culture’s standards on another, dan Ideas of normality and abnormality differ from one society to another and over time within the same society”
(2) Suatu perilaku bisa disebut ABNORMAL jika menyimpang dari NORMA STATISTIK
Contohnya misalnya saya, dianggap abnormal diantara teman seumuran saya karena sebagai ibu bekerja memiliki 4 anak. Kenapa? karena secara statistik, punya 4 anak buat ibu bekerja adalah di luar “kurva normal” yang rata-ratanya 2 dengan standar deviasi 1 (haha…sok tau…;). Anak-anak akselerasi itu, yang punya IQ di atas 130 adalah anak-anak dengan kecerdasan yang “abnormal”. Kalau kita biasa on time datang rapat sedangkan seluruh rekan kerja teman-teman semuanya telat satu jam, maka berarti kita juga abnormal.
Jadi kriteria ini terkait erat dengan kuantitas. Jumlah. Dibawah rata-rata kebanyakan orang, atau diatas rata-rata kenbanyakan orang.
(3) Suatu perilaku bisa disebut ABNORMAL jika sifatnya MALADAPTIF (mengganggu kesejahteraan individu dan atau merugikan lingkungan).
Jadi perilaku menyalakan petasan deket rumah sakit, atau perilaku suporter PERSIB yang mencorat-coret tembok kota adalah perilaku abnormal menurut kriteria ini.
(4) Suatu perilaku bisa disebut ABNORMAl berdasarkan penghayatan subjektif individu yang merasakannya.
Kriteria ini sifatnya subjektif sekali. Ada orang-orang yang merasa perilakunya normal-normal saja meskipun seluruh dunia mengatakan dia menyimpang. Demikian juga sebaliknya, ada orang yang merasa dia menyimpang padahal menurut lingkungan dan berdasarkan 3 kriteria sebelumnya oke-oke aja.
BIG QUESTIONNYA adalah, kriteria manakah yang digunakan oleh para profesional untuk mendiagnosa masalah kesehatan mental (mental health problems)?
Untuk menentukan bahwa si A sedih biasa, sedangkan si B depresi? untuk menyatakan bahwa “mood swing“nya si X wajar sementara “mood swing“nya si Y termasuk bipolar?
Salah satuacuan yang digunakan oleh para profesional di bidang kesehatan jiwa adalah apa yang disebut dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM); yaitu klasifikasi gangguan mental dari penelitian-penelitian yang ada, mempertimbangkan sekian banyak kriteria. Selalu diperbarui berdasarkan penelitian yang ada.Jadi isi dari satu edisi dengan edisi lainnya akan berbeda, sesuai kondisi yang uptodate. Yang terbaru adalah DSM-5 yang terbit tahun 2013. Dari sinilah istilah “bipolar” atau “depression” itu muncul.
Ada serangkaian kondisi dalam jangka waktu tertentu yang harus “dipenuhi” agar sebuah simptom-simptom perilaku mendapatkan “nama” gangguan tertentu. Asesmennya harus menyeluruh. Kenapa? karena keakuratan diagnosa merupakan pertaruhan integritas dan kompetensi profesional tersebut. Akan sangat berpengaruh pada bentuk intervensi yang dilakukan, apalagi jika intervensinya menyangkut obat. Salah diagnosa, salah intervensi, maka akan berakibat fatal. Itulah sebabnya juga, sebaiknya kita tidak menduga-duga apakah kita mengalami gangguan mental tertentu berdasarkan hasil bacaan saja. Jika kita merasa atau menduga, lebih baik datang ke profesional, daripada “tersugesti” oleh pikiran kita.
Untuk para profesional, DSM ini juga berfungsi sebagai sarana komunikasi. Jadi kalau ada psikiater dan psikolog bicara tentang ADHD, ya dalam benak masing-masing konsepnya sama. Demikian pula kalau psikiater Chicago dan psikiater Chiamis bicara soal bipolar, yang dibicarakan adalah hal yang sama.
Di Indonesia, kita punya juga “DSM versi Indonesia”, yaitu PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) yang menjadi pegangan psikiater dan psikolog klinis.
Beberapa waktu lalu, seorang teman juga meminta saya mengulas bagaimana caranya “mendeteksi dini” gangguan mental yang mungkin dimiliki oleh calon pasangan (yang akan menikah), karena katanya kasusnya sekarang cukup banyak. Dan memang, banyak dari yang punya indikasi gangguan mental ini bisa “survive” di lingkungan; seperti yang kita lihat pada artis Marshanda.
Menurut saya, mudahnya untuk “deteksi awal” adalah menggunakan ke-empat kriteria yang saya ulas di atas, dan kalau disederhanakan lagi bisa pake rumusnya bang Rhoma; yaitu TERLALU….kkk. Eh, ciyus loh, menurut pengalaman, biasanya setiap orang punya “feeling” ada “something wrong” didasatkan pada penialain “terlalu” ini. “Terlalu narsis”, “Terlalu jaim”,”Terlalu lebay, “Terlalu lempeng” … dan terlalu terlalu lainnya …. Feeling “terlalu” itu, jangan diabaikan. Diskusikan dan minta pendapat objektif dari orang lain, kalau perlu profesional.
Semoga bermanfaat…
Recent Comments