Akhirnya saya membuat folder baru. WORKING MOM.
Hal ini karena di usia menjelang 10 tahun sejak saya menerjunkan diri dalam “dunia bekerja”, saya memasuki babak baru. Coba tanya pada semua ibu-ibu yang memilih untuk menjadi dosen. Apa alasan mereka memilih pekerjaan ini? KELUANGAN WAKTU. Sebagian besar jawabannya adalah demikian. Termasuk saya. Namun pada kenyataannya, dunia perdosenan tidak hanya mengajar titik. Semakin “naik” jenjang pangkat kita, semakin banyak “tugas tambahan” yang sifatnya manajerial maupun keprofesian yang harus dilakukan. Itulah sebabnya sampai tahun lalu, saya masih belum menghayati bahwa saya “bekerja”. Karena waktu saya sangat fleksibel. Hanya mengajar beberapa jam dalam seminggu. Sisanya? bisa di rumah, bisa beraktifitas pribadi. Lalu kemudian ada masa dimana saya merasa “terpaksa” melakukan tugas-tugas tambahan…Dan kini, babak baru itu adalah, saat saya menyadari bahwa “tugas-tugas tambahan” ini adalah menjadi tanggung jawab saya. Banyaknya senior yang memasuki masa pensiun, dan diskusi-diskusi dengan teman-teman sebaya, tampaknya berhasil menumbuhkan “sense of belonging” saya terhadap “rumah” tempat saya beraktivitas … eh bekerja. Di bidang profesi-pun, tak bisa saya pungkiri, saya sudah masuk ke fase …apa ya…middle? kalau dulu ada kasus yang “sulit” saya akan refer pada senior saya, sekarang….satu per satu mulailah para “junior” saya merefer kasus pada saya. Secara operasional, tahun ini saya memasuki babak baru sebagai ibu bekerja, yang aktifitas dan tanggung jawab saya membuat saya harus bekerja fulltime. Senin-Jumat, pagi-sore.
Setiap perubahan, pastilah membut dis-equilibrium. Situasi baru, tantangan baru. Untuk saya yang juga sangat ingin tetap menjadi “heart of my family” dalam arti yang sesungguhnya, saya menghayati betul bahwa saya harus belajar. Ini adalah kelas baru. Saya harus belajar pelajaran baru. Terutama karena justru support system di rumah kurang menjamin. Saya membayangkan….dulu enak banget ya saya, anak dua…pembantu dua. Beraktifitas cuman dua harian lah dalam seminggu. Sekarang, anak empat. Aktifitas full. Pembantu hanya pulang pergi. Ah, tapi alhamdulillah banget punya Pak Ayi sopir multitasking dan istrinya yang sangat membantu mengasuh Azzam dan Hana selama siang saya bekerja.
Yups, saya sudah membaca banyak referensi tentang work-family balanced. Saya sudah menemukan pendekatan yang paling “pas” untuk mengelola pekerjaan dan keluarga sama baiknya. Secara teoretis. Saya juga bersyukur, di kampus kolega saya 90 persen adalah ibu-ibu. Mereka punya anak, punya keluarga. Saya punya banyak “role model”. Saya bisa pilih siapa yang bisa jadikan “role model”, yang value-nya sama dengan saya dalam mengelola pekerjaan dan kehidupan keluarga secara seimbang. Yang bisa “hebat” di luar rumah dan “ibu yang menenangkan” di dalam rumah. Namun tetap saja, dalam menjalankannya, jatuh-bangun itu terasa. Tidak mudah.
Salah satu hal yang cukup terasa adalah saat ada beberapa “kesempatan besar” di depan mata, yang tak bisa diambil karena pertimbangan keluarga. Workshop ini-itu yang menggiurkan dan bisa meningkatkan kompetensi tapi beberapa hari di luar kota, Conference in-itu yang menawarkan pengalaman seru jalan-jalan ke luar negeri, kesempatan sekolah, acara sharing ini-itu yang bsia mengeyangkan kehausan akan ilmu tertentu…serta “komitmen” kita terhadap pekerjaan…
“Hal-hal kecil” juga tak kalah menggoda : godaan untuk beraktifitas di hari Sabtu-Minggu. Aktifitas sosial. Advokasi pada masyarakat. Padahal saya sudah berkomitmen untuk “menambal” minimnya kuantitas waktu di weekdays, dua hari di wiken itu saya harus ber-quality time bersama keluarga.
Pilih keluarga ! itu teorinya. Mudah. Tapi menjalaninya, menghayatinya, tak semudah itu. Saya yakin perasaan ini dialami oleh banyak ibu-ibu bekerja. Karena pilihannya bukan baik-buruk. Tapi baik-lebih baik.
Dulu, sebagai penonton, saya mudah berkomentar. Tapi sebagai pemain, menjalaninya….tak semudah itu ya…
Kadang dalam situasi itu, beberapa kali saya berpikir “coba ya, kalau anak-anak udah besar”. Pengen cepet-cepet si bungsu “bisa ditinggal”.
Inilah yang ingin saya bagi dengan teman-teman sesama ibu bekerja. Bagaimana kita tetap bisa “bertahan” untuk berada di jalur kompas yang benar. Bagaimana kita tak hanya jadi manager, namun tetap jadi leader dalam kehidupan kita. Bagaimana kita tetap bisa luwes memenuhi tuntutan lingkungan, tapi tak pernah lupa arah tujuan hidup kita yang sesungguhnya. Bagaimana kita tetap merasa nyaman dan proporsional menjalani “tanggung jawab ganda” kita. Bagaimana kita tetap amanah dalam pekerjaan namun tak membuat kita “terlena” dan melupakan apa yang lebih hakiki. Keluarga.
Saya percaya tak ada yang kebetulan. Begitupun ketika malam ini film Click ! hadir dan saya tonton. The right film in the rignt time 🙂 Film yang dibintangi Adam Sandler ini, bercerita tentang seorang “Newman” yang ingin mencapai puncak karir di pekerjaannya, dan mendapatkan “remote ajaib” untuk mengatur kehidupannya. Singkat kata singkat cerita, ia selalu menggunakan remote itu untuk “melompat” ke saat-saat ia mencapai keberhasilan dalam pekerjaannya. Promosi, sampai sukses menjadi CEO. Dan dampaknya adalah, ia melewatkan banyak waktu dalam perjalanan kehidupan keluarganya. Seperti film keren lainnya, film ini bikin tertawa karena adegan-adegan lucu-nya, tapi bikin menangis karena adegan-adegan “menyentuh”nya.
Ada momen dimana saya curhat pada sahabat saya, saat satu situasi memaksa saya untuk lebih memprioritaskan pekerjaan daripada keluarga. Saya bilang pada sahabat saya, saya takut pola perilaku memprioritaskan pekerjaan ini menjadi “kebiasaan” bagi saya. Saya takuuuut sekali bayangan saya tentang masa tua saya (kalau panjang umur); berbincang dengan mas berdua, dengan kulit kami yang telah mengeriput di kursi taman menghadap halaman rumah kami yang luaaaaas sambil minum kopi dan membicarakan anak cucu kami dengan penuh bahagia, sirna karena tanpa sadar saya dan mas “sibuk” dengan dunia masing-masing. Satu hal yang amat mungkin terjadi dan sudah terjadi pada beberapa senior yang saya amati… dan membuat saya amat resah.
Buat teman-teman yang juga pernah mengalami keresahan yang sama, mari kita ingat pesan dalam film ini. Terkadang kita terlena untuk mengejar mimpi di ujung pelangi. Yang kita bayangkan adalah saat kita sampai disana. Namun ternyata yang kita dapati sampai di ujung sana, hanyalah “sekotak sereal”. Padahal kita sudah melewatkan banyak momen berharga untuk sampai di ujung itu.
Sering-seringlah mengkalibrasi kompas kehidupan kita. Melalui tafakur di keheningan malam, menemukan role model yang sesuai, menghayati waktu demi waktu, membayangkan akhir hidup seperti apa yang kita inginkan…..dan beragam cara lainnya.
Mari saling mengingatkan dan berdoa agar pilihan kita “bekerja” menjadi pilihan yang berkah, yang menjadi sajadah panjang kita untuk melakukan kebaikan. Kebaikan yang melindungi anak-anak kita saat kita tak ada di sisi mereka, kebaikan dan keberkahan yang membuat kita bisa menikmati indahnya kasih sayang dan kebersamaan dengan orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita, di akhir hidup kita yang-entah kapan.
Recent Comments