Alhamdulillah, kita masih dikaruniai umur untuk kembali merayakan salah satu dari dua hari super istimewa. Dua hari raya milik kita sebagai muslim, sama istimewanya namun dengan keunikan yang berbeda. Jika dalam Idul Fitri kita menghayati keberhasilan kita menahan diri sesuai dengan perintahNya, maka pada Idul Adha kita menghayati untuk mengorbankan sesuatu. Wujudnya, binatang. Kambing, sapi, unta. Namun hakikatnya bukan itu.
Mungkin tak ada muslim yang tak hafal peristiwa yang mendasari perintah berkurban. Bahkan anak-anak TK pun, bisa dengan lancar menceritakan bagaimana dahulu nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih puteranya Ismail, namun kemudian Allah menggantinya dengan domba. Setiap tahun saya merayakan Idul Adha, namun penghayatan terhadap peristiwa itu baru saya alami beberapa tahun ke belakang. Penghayatan yang membuat saya benar-benar merasa bahwa memang, hari raya ini sangat istimewa.
Penghayatan pertama datang beberapa tahun lalu. Saat saya menyaksikan penyembelihan qurban. Saya perhatikan detik demi detik syakaratul maut si hewan, dan tiba-tiba saya membayangkan……bagaimana ya, perasaan Nabi Ibrahim saat itu. Pastinya Nabi Ibrahim tak pernah tahu “rencana” Allah yang akan mengganti putera tersayangnya itu dengan domba. Saya bayangkan kalau yang di posisi nabi Ismail itu Azka, Umar, Hana, (waktu itu belum ada Azzam). Saat itu, kisah kekuatan tauhid Nabi Ibrahim yang ratusan kali telah saya baca dan dengar selama puluhan tahun hidup saya, baru saya hayati.
Penghayatan kedua saya alami tahun lalu. Saat saya membaca buku yang amat “powerfull”. HAJI. Karya DR. Ali Syariati. Kekuatan gaya bahasa dan kekhasan penuturan ilmuwan yang juga sastrawan itu, begitu kuat menghunjam di hati saya. Ini yang ingin saya bagi melalui tulisan ini. Meskipun pastinya saya tak sanggup menyetarai paparan beliau dalam bukunya. Bahkan saya tak bisa menemukan rangkaian kata untuk menggantikan apa yang beliau paparkan. Itulah sebabnya, saya akan meng-copy bagian-bagian tulisannya, saya tuliskan dengan cetak miring.
Bismillah….tuh, belum apa-apa udah deg-degan dan pengen nangis…;)
Tulisan beliau berhasil membuat saya menghayati bahwa Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih puteranya itu, adalah Ibrahim yang sama dengan Ibrahim ynag mempertanyakan siapakah Tuhan itu. Ibrahim yang sama dengan Ibrahim yang kita tahu mencermati dan mengira bahwa bintang, bulan dan matahari adalah Tuhan, tapi lalu kekuatan logikanya mengatakan “bukan”. Ia adalah Ibrahim yang dengan berani menghancurkan berhala-berhala dan mengalungkan kapak pada berhala yang lebih besar, lalu mematahkan logika ketuhanan penyembah berhala dengan cara itu. Ia adalah Ibrahim yang sama, yang tak gentar saat dilemparkan ke api oleh Raja Namrudz. Saat itu, pastinya ia tak tahu bahwa Tuhan yang ia yakini, akan menyelamatkannya. Ia adalah Ibrahim yang sama, yang tunduk saat diperintahkan Tuhannya untuk meninggalkan istri dan anak yang didambakannya di tengah gurun pasir tandus.
Mari kita tutup mata kita…kita bayangkan orang seperti apakah Ibrahim itu….seseorang yang seluruh hidupnya penuh dengan pengalaman mencari dan meyakini Tuhannya. Seluruh tema hidupnya adalah ketauhidan pada sang Pencipta yang ia temukan dengan susah payah. Dan Ibrahim yang sama, di ujung hidupnya, masih menghadapi satu ujian ketauhidan. Ia diminta untuk menyembelih putera kesayangannya. Ismail.
Ismail bukan hanya seorang putera bagi ayahnya. Ismail adalah buah yang didambakan Ibrahim seumur hidupnya dan hadiah yang diterimanya sebagai imbalan karena ia telah memenuhi hidupnya dengan perjuangan…….Ismail berbeda dari anak-anak lain karena kehadirannya telah didambakan ayahnya selama seratus tahun, dan karena kelahirannya tidak diuga-duga oleh ayahnya. Ismail tumbuh sebagai sebatang pohon yang kekar. Ia mendatangkan kecerahan dan kebahagiaan ke dalam hidup Ibrahim. Ia adalah harapan, kecintaan dan putera ayahnya….Tetapi tanpa terduga-duga wahyu Allah turun : “Wahai Ibrahim, taruhlah pisau ke leher puteramu san dengan tanganmu sendiri, sembelihlah dia!”….Begitu menerima wahyu Allah itu Ibrahim, hamba Allah yang paling patuh dan tokoh pemberontak yang paling terkenal di dalam sejarah, gemetar dan goyah seakan-akan hendak roboh; seakan-akan tokoh sejarah yang tak terkalahkan itu sedang mengalami kehancurannya…Ia mengalami konfilk dalam batinnya: siapakah yang lebih disayanginya? Allah atau Ismail?
….Ibrahim menghadapi dua pilihan : mengikuti perasaan hatinya dengan “menyelamatkan” Ismail atau menaati perintah Allah dengan “mengobankannya”. Ia harus memilih salah satu diantara keduanya: “CINTA” atau “KEBENARAN” berperan dalam batinnya….. Seandainya yang diperintahkan Allah adalah agar ia mengorbankan dirinya sendiri, maka tidaklah sulit baginya menentukan pilihan. Ibrahim telah mempertaruhkan nyawanya demi Allah….Kecintaan kepada Ismail merupakan ujian bagi Ibrahim. Kecintaannya ini adalah satu-satunya kelemahan dirinya di dalam perjuangan melawan syetan.
Di sebuah pelosok lembah Mina yang sepi, sang ayah berbicara dengan puteranya. Si ayah, dengan rambut dan janggut yang telah putih, sudah berusia satu abad, sedangkan Ismail, puteranya, baru menanjak remaja. Langit yang mengatapi Jazirah Arab…oh tidak, ynag kami maksudkan, langit yang mengatapi bumi ini tidak tega menyaksikan peristiwa ini ! Sejarah belum pernah mencatat adanya dialog yang seperti ini diantara seorang bapak dengan puteranya. Tidak seorang manusia pun pernah membayangkan percakapan yang sangat bersahabat namun sangat mencekam ini !
………….
Pelajaran yang paling dalam maknanya dari peristiwa digantinya Ismail dengan domba adalah, bahwa Allah tidak menghendaki agar Ismail dikorbankan. Yang dikehendakiNya adalah Ibrahim mengorbankan Ismail dan kehendakNya itu telah dilaksanakan oleh Ibrahim dengan gagah berani. Ismail memperoleh kemuliaan karena ia dipilih sebagai korban dan ia telah menghadapinya dengan tabah. Tetapi kenyataannya dia tidak perlu dibunuh. Allah yang Maha Besar tidak membutuhkan sesuatupun juga, Dia tidak seperti kita yang memiliki segaletia macam kebutuhan ! Inilah yang dikehendaki oleh Allah Yang Maha Kuasa. Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang dari manusia. Dialah telah memuliakan dan mengangkat Ibrahim ke tingkat kerelaan mengorbankan puteranya sendiri sedang Ismail, puteranya itu, tidak menjadi korban.
Seperti yang dilakukan Ibrahim, ambillah Ismailmu dan bawalah ia ke Mina. Siapakah Ismailmu itu? Engkau sendirilah yang mengetahuinya dan orang-orang lain tak perlu tahu ! …. Aku tidak tahu yang mana tetapi yang jelas Ismailmu itu adalah hal-hal yang sangat engkau cintai seperti sang putera yang sangat dicintai oleh Ibrahim. Ismailmu adalah setiap sesuatu yang merampas kebebasanmu dan menghalangimu untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu.; setiap kenikmatan yang membuat engkau terlena; setiap sesuatu ynag membuat engkau tidak dapat mendengar dan mengetahui kebenaran……Di dalam hidup ini engkau harus mencari dan menemukan seiapakah Ismailmu itu. Jika Engkau ingin menghampiri Allah yang Maha Besar maka hendaklah Ismailmu itu engkau korbankan di Mina.
Dua paragraf terakhir yang saya copy, sangat abstrak, filosofis sekaligus dalaaaam sekali maknanya.
Ya, Qurban hakikatnya adalah mengorbankan Ismail kita. Berarti sebelum melakukan Qurban, kita harus mengenali siapa Ismail kita. Bisa jadi ia adalah sesuatu yang sangat gamblang, umum dan kasat mata. Kecantikan yang kita miliki, kemodisan berpakaian, kecerdasan, jurusan dan almamater kita, almamater suami, prestasi anak, kehebatan-kehebatan kita, jabatan orangtua, keharmonisan keluarga kita, kecintaan pada artis idola, kekayaan kita…..
Secara psikologis, yang saya hayati, Ismail kita adalah sesuatu atau seseorang yang membuat kita merasa “ada”, “eksis”, dan merasa “I’m someone”. Oleh karena itu, Ismail kita bisa berupa hal-hal yang baik, seperti prestasi dan kehebatan-kehebatan; tapi bisa juga sesuatu yang buruk secara objektif, namun secara psikologis membuat kita merasa “i’m someone”. Bisa jadi Ismail kita adalah kenyinyiran dan kesompralan kata-kata kita di status yang menuai banyak kecaman; karena kecaman-kecaman itu membuat kita merasa “i’m someone”. Bisa jadi ismail kita adalah ke”galak-“an kita pada bawahan, keluhan-keluhan yang kita ungkapkan, bahkan kerepotan dan penderitaan yang kita alami, ……. apapun yang membuat kita merasa “eksis”.
Ismail kita itu, bisa jadi sangat gamblang diketahui oleh orang lain. Tapi bisa jadi ia juga sesuatu yang tersembunyi jauuuh di lubuk hati kita yang terdalam. Kebanggaan akan banyaknya ibadah yang kita lakukan, kebanggan karena kita merasa begitu rendah hatinya . kesombongan karena kita merasa begitu sederhana..
Bagaimana kita tahu yang mana Ismail kita? secara operasional, menurut saya, adala dari reaksi kita terhadap reaksi orang lain. Kalau kita kesal karena orang lain tak berkomentar positif pada foto hasil masakan kita yang menurut kita begitu menggugah selera, berarti kelihaian memasak adalah Ismail kita. Kalau kita tak puas karena orang tak “membully” kesompralan cuitan kita di twitter, itu artinya Ismail kita adalah kesompralan kita. Kalau kita kecewa karena obrolan kita mengenai kehebatan suami kita tak mendapatkan pujian, berarti kehebatan suami adalah Ismail kita.
Kenalilah Ismail kita masing-masing, lalu korbankanlah ia. Bagaimana cara mengorbankannya? Kita “bunuh”? ya, jika Ismail kita adalah hal-hal yang buruk. Tapi kalau Ismail yang kita miliki adalah hal baik, maka peristiwa tergantinya Ismail oleh domba, merupakan pelajaran yang syarat makna. Kalau kita mengidentifikasi bahwa prestasi-prestasi kita adalah Ismail kita, maka bukan berarti “prestasi” itu harus kita bunuh sehingga kita tak perlu mengejar prestasi. Kalau kita mengenali kecerdasan kita adalah Ismail kita, kita tak perlu membunuh kecerdasan kita dengan tak memanfaatkannya untuk berpikir. Poinnya adalah bukan Ismail yang harus mati. Tapi Ibrahim yang harus bersedia mengorbankan Ismail. Itulah jiwa Ibrahim. Harta boleh tetap kita miliki. Kecantikan boleh tetap kita pertahankan. Demikian pula kecerdasan, prestasi, anak-anak yang membanggakan….hanya, jadilah orang yang bebas seperti Ibrahim. Hati kita tak terikat pada Ismail-Ismail kita. Kita boleh punya mobil bagus. Tapi hati kita tak terikat pada mobil itu. Sehingga ketika suatu saat ada yang tak sengaja menyeggol mobil kita, kita tak perlu merasa rusuh. Kita boleh punya prestasi setinggi langit. Tapi saat ada yang prestasinya melebihi langit kita, kita tak usah merasa kesal.
Jadi, apapun Qurban kita tahun ini…domba, sapi, unta…..bahkan kalaupun kita belum dikaruniaia rizki untuk berkurban, pada hakekatnya, kita selalu bisa berkurban. Mari mengurbankan Ismail-ismail kita. Agar kita menjadi seperti Ibrahim. Bebas, lepas, tak terikat dengan apapun ynag akan menghalangi pertemuan kita dengan Allah nanti.
Satu lagi….pada hakikatnya, mengorbankan Ismail kita tak ada hubungannya sama sekali dengan orang lain. Karena ini adalah pergulatan personal antara diri kita dengan syetan kita masing-masing. Dan kalau itu sulit, Ibrahim pun perlu tiga kali melempar syetan sebelum ia bisa meyakinkan diri untuk mengorbankan Ismailnya. Pergulatan mengorbankan Ismail kita, adalah tentang ketauhidan. Bahwa kita yakin Allah yang Maha Tahu mencatat setiap titik buruk dan titik baik dalam hati kita. Hanya Allah yang perlu kita pedulikan. Bukan manusia.
Recent Comments