Kala anak kita bicara gamblang

Kalau seorang ibu diminta menceritakan anak-anaknya dan ceritanya ditulis lalu dibukukan, maka setiap ibu pasti bisa menghasilkan buku sebanyak jumlah anaknya. Mungkin lebih. Seorang ibu, bisa mengingat secara detil rangkaian peristiwa yang ia alami dengan anaknya, lengkap dengan nuansa emosi yang mereka rasakan saat itu. Meskipun peristiwanya telah tahunan, belasan, bahkan puluhan tahun lalu, saya sering menyaksikan ibu yang menceritakan pengalamannya bersama anaknya, dengan binar bahagia, atau mata yang berkaca-kaca….dengan emosi yang intens, seakan mereka mengalaminya pada saat itu.

Saya ingat seorang kolega senior saya dari Belanda, saat ada kegiatan di kampus dan saya menjadi LO-nya, beliau menceritakan bahwa beliau sedang menulis “speech” yang akan ia sampaikan pada pernikahan putrinya. Tapi kesulitannya, kata dia…bagaimana caranya dia “memilih” mana yang akan disampaikan pada waktu yang terbatas, padahal ia ingin menceritakan semuaaaaa kenangannya bersama si anak. Bahkan mulai saat si anak belum hadir di perut ibunya.

Hayu ibu-ibu…yang mau belajar menulis…dan bingung mau menulis apa. Kita tulis mengenai anak kita. Pengalaman bersama mereka, perasaan-perasaan kita terhadap mereka, pasti seru deh …

hanaDi tulisan ini saya ingin menceritakan putri ketiga saya, Aisha Hanadia Rahima atau akrab dipanggil Teteh Hana. Umurnya 5 tahun, TK B. Setiap anak pasti unik, Demikian juga keempat anak saya. Dan salah satu keunikan Hana adalah, dia begitu ekspresif mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Mulai dari hal-hal yang “biasa” seperti :

“Ih, ibu teh gendut banget sih…”

“Ibu teh ibu yang aneh…masa ada ibu-ibu senengnya main game zombie…”

“Ibu mah nyebelin ih!”

“Ibu mah gak sayang teteh ! sayangnya sama de Azzam aja”

Dia juga sangat assertif:

“Ibu, udah teteh bilang kalau ibu lagi main sama teteh, jangan pegang hape. Ayo matiin hapenya bu. Sekarang juga !”

Sampai hal-hal yang mengungkapkan perasaannya yang terdalam. Yang selalu saya ingat adalah saat dia menggambarkan bagaimana sedihnya ia waktu tahun lalu kami tinggal berhaji. Dia bisa menceritakan kembali bagaimana pada saat itu dia sakit. “teteh  sangat merindukan ibu…teteh membayangkan ibu ada di sini dan memeluk teteh….teteh kangen banget pelukan ibu…teteh menunggu ibu kapan pulang…rasanya lama banget….”

Ya, dia memang sangat peka terhadap hal-hal yang sifatnya “kasih sayang”. Pernah dia bilang: “Hari ini ibu gak sayang teteh”. Waktu saya tanya kenapa, dia bilang karena hari itu saya belum memeluk dia.

Gambarannya mengenai kehadiran saya, terkadang membuat saya terharu…. setelah dua hari Kamis saya meninggalkan rumah tanpa membangunkan dia karena harus pergi sangat pagi, dia bilang  “Ibu janji ya, ibu gak akan pergi tanpa membangunkan teteh. Kalau ibu gak ada pas teteh bangun, teteh teh merasa kedinginan. Beda kalau pas teteh bangun ada ibu. Rasanya anget”.

Minggu kemarin, ada suatu kejadian yang membuat saya menghayati  keekspresifannya secara lebih bermakna.

Hari itu badan saya meriang. Kepala pusing. Saya paksakan membacakan cerita untuk Hana, karena Hana selalu bilang “teteh tidak bisa tidur tanpa dua kehangantan: kehangatan susu dan kehangatan dibacain cerita sambil dipeluk ibu”.

Sedang membacakan cerita, tiba-tiba…jeduk …..kepala saya terbentur kepalanya yang “gak mau diem”. Langsung deh bintang-bintang mengelililngi kepala saya. Spontan saya mengomel. “Teteh…coba tetehnya diem…kepala teteh juga sakit kan jadinya….”

Beberapa menit kemudian, saya panggil dia yang setelah saya omelin tadi pergi ke kamarnya. Dia datang dengan mata berkaca-kaca. Saya bilang: “ibu menegur teteh  karena kan bukan cuman kepala ibu yang sakit, tapi keala teteh juga kan?”

Dan keluarlah kata-kata yang tak pernah saya duga itu.

“Bukan kepala teteh yang sakit bu, tapi perasaan teteh.”

JLEB. beberapa detik saya frozen. Membeku. Saya tak tahu harus bersikap apa. Apa yang diucapkannya benar-benar di luar dugaan saya.

Akhirnya setelah saya sadar, saya peluk dia. Saya bilang minta maaf. Sambil terisak, dia bilang … “gitu perasaan teteh setiap kali ibu marahin teteh teh. Sakit”.

……………….

Sebagian dari kita diuji oleh anak-anak yang -kita gak tau lagi harus bagaimana- untuk mengetahui “isi hatinya” . Sebagian lagi diuji dengan anak-anak yang begitu gamblang mengungkapkan perasaan terdalamnya pada kita. Mengapa saya bilang anak yang terbuka itu juga ujian? ujian apakah kita mau mendengarkan atau tidak.

Kalau kita mau mempedulikan dan mendengarkan, maka sebenarnya banyak yang bisa kita pelajari dari anak-anak yang gamblang ini. Meskipun kita sudah sangat paham bahwa  “anak  bukan individu dewasa dalam ukuran kecil”, namun menghayati apa yang dipikirkan dan dirasakan anak sehingga kita bisa bersikap benar padanya, satu-satunya sumber yang valid adalah….ya anak itu sendiri.

Jadi, untuk ibu-ibu yang anaknya begitu ekspresif dan selalu berkata gamblang, hayu kita dengarkan mereka. Itulah salah satu cara Allah mengasah potensi ke-ibu-an kita.

 

 

 

Ibu-ibu yang tidak ideal: Jangan Menyerah !!!

Saya adalah ibu yang tidak ideal. Saya tidak selalu ada disamping anak-anak saya. Setiap hari kerja, saya meninggalkan rumah mulai jam setengah 8 sampai jam 4 sore. Si bungsu Azzam, yanng berusia 2,5 tahun akan meninggalkan rumah duluan. Jam 7 dia akan dijemput teh Rini, istri sopir saya. Yups, selama saya pergi, Azzam memang diasuh oleh teh Rini di rumahnya yang tak terlalu jauh dari rumah saya. Kenapa? karena teh Rini pun punya anak kecil. De Rendi yang seusia teteh Hana, TK B. Gile….ayahnya lulusan S3, ibunya lulusan S2, anaknya diasuh lulusan SMA? rumahnya gede tapi anaknya diasuh di rumah sederhana? yups, memang demikianlah adanya. Kan saya sudah bilang saya ibu yang tak ideal.

Dhuhur, teh Rini akan membawa de Azzam kembali ke rumah untuk beberes rumah, sambil nemenin teteh Hana yang akan datang jam setengah 1 dari sekolah. Demikian sampai saya dan Kaka Azka plus mas Umar pulang sore. Setelah itu teh Rini akan pulang, dan kalau si Abah sedang di luar kota maka kami pun akan menghabiskan waktu berlima. Memasak makan malam, lalu makan malam dan beraktifitas sampai tidur.

Saya adalah ibu yang tak ideal. Tak selalu tiap malam saya bisa menemani Kaka Azka dan mas Umar belajar. Seringkali juga saya ketiduran di tengah membacakan buku buat Teteh Hana dan de Azzam dan…alih-alih menghapuskan gadget, terkadang saya sengaja menyetelkan youtube ke Azzam dan Hana biar bisa mandi sebentar… biar seger dan bisa terjaga sampai Hana-Azzam terlelap.

Saya adalah ibu yang tak ideal. Saya suka meminta anak-anak saya “berkorban”; misalnya setiap kamis, anak-anak harus berangkat setengah jam lebih pagi dan menunggu di sekolah karena saya jam setengah 9 harus sudah ada di jatinangor. Sedangkan mobilitas kami semua tergantung pada pak Ayi, sopir kami.

Dulu, saya berpikir kalau menjadi ibu itu harus ideal. Harus selalu ada di samping anak dan selalu berkorban untuk anak. Itulah yang berusaha saya wujudkan dalam diri saya. Tapi kemudian, saya bertemu dengan banyak ibu yang “tak ideal”. Ibu-ibu single parent yang ditinggal wafat atau bercerai dengan suaminya, para ibu bekerja yang tetap  mengejar cita-cita sambil berkeluarga…

Dan dari para ibu “tak ideal” itu saya belajar, bahwa ketidak-idealan, tak harus membuat kita lebay dan putus asa. Saya melihat mereka-mereka tetap berjuang sekuat yang mereka bisa, untuk tetap memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Baik emosi, tenaga ataupun biaya. Dan no gain without pain. Kerja ekstra mereka, membuahkan anak-anak yang tak lantas menjadi “broken home” karena kurang kasih sayang ibunya.

Saya pernah menyaksikan seorang ibu yang ditinggal wafat suaminya, pergi pagi pulang malam dan meninggalkan dua putri kecilnya bersama neneknya. Setiap hari, entah berapa banyak air mata si ibu yang tertumpah. Saya tahu si ibu akan bangun jam 3 dini hari setiap harinya, membuatkan bekal makanan kesukaan anak-anaknya. Saya juga pernah mendengar cerita seorang ibu yang tiap hari pulang pergi jakarta-bandung saat menempuh kuliah S3 di Bandung padahal rumahnya di Jakarta, agar anaknya tidak kehilangan sosok dirinya. Saya juga melihat bagaimana seorang ibu pejabat yang selalu membayar kamar hotel ekstra setiap kali ia bertugas di luar kota, agar anak-anaknya bisa ikut dan ia tetap bisa bersama anaknya di tengah aktifitasnya. Saya mengetahui seorang ibu yang setiap hari bekerja dengan sungguh-sungguh dan saat wiken mematikan handphonenya, agar bisa full untuk anak-anaknya.

Saya menyaksikan begitu banyak upaya dan begitu besar pengorbanan ibu-ibu yang “tak ideal” ini untuk “menembel ketidak-idealannya”. Saya juga jadi memahami bahwa definisi operasional dari menjalankan peran sebagai “madrasah yang pertama dan utama” buat anak itu, banyak bentuk dan caranya. Saya jadi memahami esensinya. Dengan menyaksikan bahwa peran untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan yang benar dan baik, itu tetap bisa dilakukan walaupun dengan kondisi yang “tak ideal”.

idealSegala upaya ibu-ibu “tak ideal” yang saya ketahui dan saya saksikan, menginspirasi saya bahwa dalam ketidak-idealan yang kita miliki, kita tetap bisa “bergerak” untuk memberikan yang terbaik buat anak-anak kita. Jangan menyerah. Itu intinya. Yups, pastinya ada masa-masa galau yang saya rasakan, saat penilaian-penilaian negatif dan judgement bahwa “saya bukan ibu ynag baik” begitu melukai. Padahal hujatan itu datangnya dari lubuk hati saya sendiri. Namun berkaca dari ibu-ibu tak ideal yang saya ceritakan tadi, saya bisa tetap yakin akan keputusan saya.

Yups, saya memang menitipkan anak saya pada seorang lulusan SMA. Lulusan SMA yang begitu responsif dalam mengasuh anak. Itulah sebabnya Azzam makannya lahap, badannya harum selalu setiap sore saya memeluknya. Saat saya melakukan “sidak” pulang siang hari, saya pergoki dia sedang main petak umpet lah, sedang main ciluk ba lah, main bola lah, main robot-robotan lah, sama teh Rini. Bahkan di luar harapan saya, dia sudah bisa menyanyikan 10 lagu dan hafal dua doa, serta sudah bisa berhitung 1-10 dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Itu adalah “ulah’ teh Rini. Mengenai nilai-nilai kehidupan? salutnya saya sama keluarga sederhana ini adalah, nilai-nilai kejujuran dan kebaikan yang dijaga teguh.

Minimnya waktu bersama, juga membuat saya jadi aware untuk tak menyia-nyiakan waktu saat bersama anak-anak. Satu jam di pagi hari, 3 jam di sore-malam hari plus 2 hari wiken menjadi waktu yang sangat berharga. Saya juga belajar banyak untuk mengantisipasi dampak buruk dari minimnya waktu bersama anak. Berlatih active listening, berupaya memanfaatkan waktu di luar untuk menyelesaikan semua pekerjaan saya agar tak harus membawa pekerjaan ke rumah…Saya berdoa dan ingin melakukan kebaikan yang lebih banyak biar Allah melindungi anak-anak saya. Saya melakukan segala upaya sebisa saya untuk menembel ketidak idealan saya. Yups, saya tetap mengakui bahwa saya tidak ideal, tapi saya tak mau cengeng dan lebay dengan ketidak idealan saya, seperti contoh ibu-ibu tak ideal lain yang saya saksikan.

Inti dari tulisan ini adalah …. saya ingin mengajak ibu-ibu yang tak bisa mewujudkan kondisi pengasuhan yang  ideal, untuk tak berputus asa. Justru situasi tak ideal ini membuat kita harus try harder and pray harder. Dengan kesadaran diri, kerendahan hati plus keikhlasan, semoga pertolongan Allah senantiasa kita dapatkan.

“Hari Raya Pengorbanan” : Apa yang kita Qurbankan?

Alhamdulillah, kita masih dikaruniai umur untuk kembali merayakan salah satu dari dua hari super istimewa. Dua hari raya milik kita sebagai muslim, sama istimewanya namun dengan keunikan yang berbeda. Jika dalam Idul Fitri kita menghayati keberhasilan kita menahan diri sesuai dengan perintahNya, maka pada Idul Adha kita menghayati untuk mengorbankan sesuatu. Wujudnya, binatang. Kambing, sapi, unta. Namun hakikatnya bukan itu.

Mungkin tak ada muslim yang tak hafal peristiwa yang mendasari perintah berkurban. Bahkan anak-anak TK pun, bisa dengan lancar menceritakan bagaimana dahulu nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih puteranya Ismail, namun kemudian Allah menggantinya dengan domba. Setiap tahun saya merayakan Idul Adha, namun penghayatan terhadap peristiwa itu baru saya alami beberapa tahun ke belakang. Penghayatan yang membuat saya benar-benar merasa bahwa memang, hari raya ini sangat istimewa.

Penghayatan pertama datang beberapa tahun lalu. Saat saya menyaksikan penyembelihan qurban. Saya perhatikan detik demi detik syakaratul maut si hewan, dan tiba-tiba saya membayangkan……bagaimana ya, perasaan Nabi Ibrahim saat itu. Pastinya Nabi Ibrahim tak pernah tahu “rencana” Allah yang akan mengganti putera tersayangnya itu dengan domba. Saya bayangkan kalau yang di posisi nabi Ismail itu Azka, Umar, Hana, (waktu itu belum ada Azzam). Saat itu, kisah kekuatan tauhid Nabi Ibrahim yang ratusan kali telah saya baca dan dengar selama puluhan tahun hidup saya, baru saya hayati.

Penghayatan kedua saya alami tahun lalu. Saat saya membaca buku yang amat “powerfull”. HAJI. Karya DR. Ali Syariati. Kekuatan gaya bahasa dan kekhasan penuturan ilmuwan yang juga sastrawan itu, begitu kuat menghunjam di hati saya. Ini yang ingin saya bagi melalui tulisan ini. Meskipun pastinya saya tak sanggup menyetarai paparan beliau dalam bukunya. Bahkan saya tak bisa menemukan rangkaian kata untuk menggantikan apa yang beliau paparkan. Itulah sebabnya, saya akan meng-copy bagian-bagian tulisannya, saya tuliskan dengan cetak miring.

Bismillah….tuh, belum apa-apa udah deg-degan dan pengen nangis…;)

qurbanTulisan beliau berhasil membuat saya menghayati bahwa Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih puteranya itu, adalah Ibrahim yang sama dengan Ibrahim ynag mempertanyakan siapakah Tuhan itu. Ibrahim yang sama dengan Ibrahim yang kita tahu mencermati dan mengira bahwa bintang, bulan dan matahari adalah Tuhan, tapi lalu kekuatan logikanya mengatakan “bukan”. Ia adalah Ibrahim yang dengan berani menghancurkan berhala-berhala dan mengalungkan kapak pada berhala yang lebih besar, lalu mematahkan logika ketuhanan penyembah berhala dengan cara itu. Ia adalah Ibrahim yang sama, yang tak gentar saat dilemparkan ke api oleh Raja Namrudz. Saat itu, pastinya ia tak tahu bahwa Tuhan yang ia yakini, akan menyelamatkannya. Ia adalah Ibrahim yang sama, yang tunduk saat diperintahkan Tuhannya untuk meninggalkan istri dan anak yang didambakannya di tengah gurun pasir tandus.

Mari kita tutup mata kita…kita bayangkan orang seperti apakah Ibrahim itu….seseorang yang seluruh hidupnya penuh dengan pengalaman mencari dan meyakini Tuhannya. Seluruh tema hidupnya adalah ketauhidan pada sang Pencipta yang ia temukan dengan susah payah. Dan Ibrahim yang sama, di ujung hidupnya, masih menghadapi satu ujian ketauhidan. Ia diminta untuk menyembelih putera kesayangannya. Ismail.

Ismail bukan hanya seorang putera bagi ayahnya. Ismail adalah buah yang didambakan Ibrahim seumur hidupnya dan hadiah yang diterimanya sebagai imbalan karena ia telah memenuhi hidupnya dengan perjuangan…….Ismail berbeda dari anak-anak lain karena kehadirannya telah didambakan ayahnya selama seratus tahun, dan karena kelahirannya tidak diuga-duga oleh ayahnya. Ismail tumbuh sebagai sebatang pohon yang kekar. Ia mendatangkan kecerahan dan kebahagiaan ke dalam hidup Ibrahim. Ia adalah harapan, kecintaan dan putera ayahnya….Tetapi tanpa terduga-duga wahyu Allah turun : “Wahai Ibrahim, taruhlah pisau ke leher puteramu san dengan tanganmu sendiri, sembelihlah dia!”….Begitu menerima wahyu Allah itu Ibrahim, hamba Allah yang paling patuh dan tokoh pemberontak yang paling terkenal di dalam sejarah, gemetar dan goyah seakan-akan hendak roboh; seakan-akan tokoh sejarah yang tak terkalahkan itu sedang mengalami kehancurannya…Ia mengalami konfilk dalam batinnya: siapakah yang lebih disayanginya? Allah atau Ismail?

….Ibrahim menghadapi dua pilihan : mengikuti perasaan hatinya dengan “menyelamatkan” Ismail atau menaati perintah Allah dengan “mengobankannya”. Ia harus memilih salah satu diantara keduanya: “CINTA” atau “KEBENARAN” berperan dalam batinnya….. Seandainya yang diperintahkan Allah adalah agar ia mengorbankan dirinya sendiri, maka tidaklah sulit baginya menentukan pilihan. Ibrahim telah mempertaruhkan nyawanya demi Allah….Kecintaan kepada Ismail merupakan ujian bagi Ibrahim. Kecintaannya ini adalah satu-satunya kelemahan dirinya di dalam perjuangan melawan syetan.

Di sebuah pelosok lembah Mina yang sepi, sang ayah berbicara dengan puteranya. Si ayah, dengan rambut dan janggut yang telah putih, sudah berusia satu abad, sedangkan Ismail, puteranya, baru menanjak remaja. Langit yang mengatapi Jazirah Arab…oh tidak, ynag kami maksudkan, langit yang mengatapi bumi ini tidak tega menyaksikan peristiwa ini ! Sejarah belum pernah mencatat adanya dialog yang seperti ini diantara seorang bapak dengan puteranya. Tidak seorang manusia pun pernah membayangkan percakapan yang sangat bersahabat namun sangat mencekam ini !

………….

Pelajaran yang paling dalam maknanya dari peristiwa digantinya Ismail dengan domba adalah, bahwa Allah tidak menghendaki agar Ismail dikorbankan. Yang dikehendakiNya adalah Ibrahim mengorbankan Ismail dan kehendakNya itu telah dilaksanakan oleh Ibrahim dengan gagah berani. Ismail memperoleh kemuliaan karena ia dipilih sebagai korban dan ia telah menghadapinya dengan tabah. Tetapi kenyataannya dia tidak perlu dibunuh. Allah yang Maha Besar tidak membutuhkan sesuatupun juga, Dia tidak seperti kita yang memiliki segaletia macam kebutuhan ! Inilah yang dikehendaki oleh Allah Yang Maha Kuasa. Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang dari manusia. Dialah telah memuliakan dan mengangkat Ibrahim ke tingkat kerelaan mengorbankan puteranya sendiri sedang Ismail, puteranya itu, tidak menjadi korban.

Seperti yang dilakukan Ibrahim, ambillah Ismailmu dan bawalah ia ke Mina. Siapakah Ismailmu itu? Engkau sendirilah yang mengetahuinya dan orang-orang lain tak perlu tahu ! …. Aku tidak tahu yang mana tetapi yang jelas Ismailmu itu adalah hal-hal yang sangat engkau cintai seperti sang putera yang sangat dicintai oleh Ibrahim. Ismailmu adalah setiap sesuatu yang merampas kebebasanmu dan menghalangimu untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu.; setiap kenikmatan yang membuat engkau terlena; setiap sesuatu ynag membuat engkau tidak dapat mendengar dan mengetahui kebenaran……Di dalam hidup ini engkau harus mencari dan menemukan seiapakah Ismailmu itu. Jika Engkau ingin  menghampiri Allah yang Maha Besar maka hendaklah Ismailmu itu engkau korbankan di Mina.

Dua paragraf terakhir yang saya copy, sangat abstrak, filosofis sekaligus dalaaaam sekali maknanya.

Ya, Qurban hakikatnya adalah mengorbankan Ismail kita. Berarti sebelum melakukan Qurban, kita harus mengenali siapa Ismail kita. Bisa jadi ia adalah sesuatu yang sangat gamblang, umum dan kasat mata. Kecantikan yang kita miliki, kemodisan berpakaian, kecerdasan, jurusan dan almamater kita, almamater suami, prestasi anak, kehebatan-kehebatan kita,  jabatan orangtua, keharmonisan keluarga kita, kecintaan pada artis idola, kekayaan kita…..

Secara psikologis, yang saya hayati, Ismail kita adalah sesuatu atau seseorang yang membuat kita merasa “ada”, “eksis”, dan merasa “I’m someone”. Oleh karena itu, Ismail kita bisa berupa hal-hal yang baik, seperti prestasi dan kehebatan-kehebatan; tapi bisa juga sesuatu yang buruk secara objektif, namun secara psikologis membuat kita merasa “i’m someone”. Bisa jadi Ismail kita adalah kenyinyiran dan kesompralan kata-kata kita di status yang menuai banyak kecaman; karena kecaman-kecaman itu membuat kita merasa “i’m someone”. Bisa jadi ismail kita adalah ke”galak-“an kita pada bawahan, keluhan-keluhan yang kita ungkapkan, bahkan kerepotan dan penderitaan yang  kita alami, ……. apapun yang membuat kita merasa “eksis”.

Ismail kita itu, bisa jadi sangat gamblang diketahui oleh orang lain. Tapi bisa jadi ia juga sesuatu yang tersembunyi jauuuh di lubuk hati kita yang terdalam. Kebanggaan akan banyaknya ibadah yang kita lakukan, kebanggan karena kita merasa begitu rendah hatinya . kesombongan karena kita merasa begitu sederhana..

Bagaimana kita tahu yang mana Ismail kita? secara operasional, menurut saya, adala dari reaksi kita terhadap reaksi orang lain. Kalau kita kesal karena orang lain tak berkomentar positif pada foto hasil masakan kita yang menurut kita begitu menggugah selera, berarti kelihaian memasak adalah Ismail kita. Kalau kita tak puas karena orang tak “membully” kesompralan cuitan kita di twitter, itu artinya Ismail kita adalah kesompralan kita. Kalau kita kecewa karena obrolan kita mengenai kehebatan suami kita tak mendapatkan pujian, berarti kehebatan suami adalah Ismail kita.

Kenalilah Ismail kita masing-masing, lalu korbankanlah ia. Bagaimana cara mengorbankannya? Kita “bunuh”? ya, jika Ismail kita adalah hal-hal yang buruk. Tapi kalau Ismail yang kita miliki adalah hal baik, maka peristiwa tergantinya Ismail oleh domba, merupakan pelajaran yang syarat makna. Kalau kita mengidentifikasi bahwa prestasi-prestasi kita adalah Ismail kita, maka bukan berarti “prestasi” itu harus kita bunuh sehingga kita tak perlu mengejar prestasi. Kalau kita mengenali kecerdasan kita adalah Ismail kita, kita tak perlu membunuh kecerdasan kita dengan tak memanfaatkannya untuk berpikir. Poinnya adalah bukan Ismail yang harus mati. Tapi Ibrahim yang harus bersedia mengorbankan Ismail. Itulah jiwa Ibrahim. Harta boleh tetap kita miliki. Kecantikan boleh tetap kita pertahankan. Demikian pula kecerdasan, prestasi, anak-anak yang membanggakan….hanya, jadilah orang yang bebas seperti Ibrahim. Hati kita tak terikat pada Ismail-Ismail kita. Kita boleh punya mobil bagus. Tapi hati kita tak terikat pada mobil itu. Sehingga ketika suatu saat ada yang tak sengaja menyeggol mobil kita, kita tak perlu merasa rusuh. Kita boleh punya prestasi setinggi langit. Tapi saat ada yang prestasinya melebihi langit kita, kita tak usah merasa kesal.

Jadi, apapun Qurban kita tahun ini…domba, sapi, unta…..bahkan kalaupun kita belum dikaruniaia rizki untuk berkurban, pada hakekatnya, kita selalu bisa berkurban. Mari  mengurbankan Ismail-ismail kita. Agar kita menjadi seperti Ibrahim. Bebas, lepas, tak terikat dengan apapun ynag akan menghalangi pertemuan kita dengan Allah nanti.

Satu lagi….pada hakikatnya, mengorbankan Ismail kita tak ada hubungannya sama sekali dengan orang lain. Karena ini adalah pergulatan personal antara diri kita dengan syetan kita masing-masing. Dan kalau itu sulit, Ibrahim pun perlu tiga kali melempar syetan sebelum ia bisa meyakinkan diri untuk mengorbankan Ismailnya. Pergulatan mengorbankan Ismail kita, adalah tentang ketauhidan. Bahwa kita yakin Allah yang Maha Tahu mencatat setiap titik buruk dan titik baik dalam hati kita. Hanya Allah yang perlu kita pedulikan. Bukan manusia.

Ibu Bekerja : Mengelola “Guilty Feeling” dengan apple to apple

Salah satu hal yang konon lazim dirasakan oleh ibu bekerja, adalah “perasaan bersalah”. Perasaan bersalah atau “guilty feeling” ini bisa dirasakan sebagai dampak  dari adanya kesenjangan antara “nilai” yang tertanam pada diri kita bahwa seharusnya seorang ibu itu “ada di rumah”, “selalu ada” untuk anak-anaknya, dengan kenyataan yang kita pilih dan kita jalani, yaitu “meninggalkan anak-anak”.

Menurut saya, “guilty feeling” itu, perlu dipertahankan. Setelah itu, lalu dikelola. Kenapa harus dipertahankan? Karena memang “value” bahwa ibu itu “heart of family”, harus dipertahankan. Nilai ini yang akan menjadi salah satu “kalibrasi kompas peran” kita sebagai ibu, yang memilih untuk bekerja. Lalu selanjutnya dikelola. Maksudnya?

guilty girl comicSama seperti emosi negatif lainnya seperti marah, kesal, kecewa, dll… emosi “guilty feeling” ini menjadi salah satu “ciri kemanusiaan” kita. Kalau kita hilangkan, akan terjadi “ketidakseimbangan ekosistem psikologis” yang berdampak buruk. Tapi kalau kalau tak kita hilangkan namun tak kita kelola, juga tak kalah buruk dampaknya. Nah, ini nih yang sering “ter-expose”; dampak guilty feeling ibu bekerja yang tak terkelola.

Kalau tak dikelola, si guilty feeling ini paling sering muncul dalam bentuk “mengkompensasi ketidakhadiran diri dengan memenuhi keinginan anak”. Misalnya…masa udah seharian gak ada di rumah trus pulang-pulang memberikan aturan ini-itu pada anak. Masa pas gak ada di rumah merasa sangat terbantu dengan ipad, trus pas datang harus mengganggu “kenikmatan” anak main ipad meskipun mainnya udah entah berapa belas jam ….Menurut penghayatan saya, itu adalah bentuk guilty feeling yang “pasif”. Hehe…bikin teori sendiri  ;). Kalau bentuk yang aktif gimana? beliin ini-itu buat anak yang sebenarnya gak diperlukan anak. Misalnya beliin anak mainan mahal-mahal, ngajak anak makan disana-sini, dll dll.

Jujur saja, saya pernah mengalami fase ini. Saat loading pekerjaan begitu banyak dan memaksa saya p4; pergi pagi pulang petang;  maka saya mengkompensasi ketidaksempatan saya memasak masakan kesukaan anak-anak dengan membelikan makanan istimewa dari resto favorit mereka. Saya juga mengkompensasi minimnya waktu bermain anak-anak dengan saya, dengan membelikan mereka mainan istimewa. Namun selanjutnya, saya menyadari bahwa perilaku “mengkompensasi” ini jika tak dikendalikan, bisa “kebablasan”.

Apa maksudnya kebablasan?

  • Dampak pada pengasuhan yang menjadi tak terkonsep dengan jelas (terutama jika bentuk guilty feelingnya adalah ibu jadi permisif);
  • Kalau anaknya pinter, anak bisa “memanipulasi” perasaan guilty feeling ibu ini loh…ia akan memanfaatkan rasa bersalah ibu untuk mendapatkan apa yang ia mau
  • Seringkali ibu merasa bahwa dengan cara tertentu,  ia telah “membayar” “kekurangan karena ia bekerja” pada anaknya, namun di sisi lain anaknya tidak menghayati demikian. Nah, ini tragis banget. Tapi kenyataannya, ada. Beberapa kali saya menemukan relasi ibu-anak;  yang ibunya berpendapat : “Saya sudah ajak dia liburan ke luar negeri, saya sudah beliin apapun yang dia mau, saya sudah bla..bla..bla…tapi anak saya tetap ngungkit kenapa saya tidak hadir waktu dia pentas abcdxyz” . Sementara anaknya berkata: “saya gak butuh liburan ke luar negeri, saya gak butuh gadget…saya butuh ibu hadir waktu saya pentas abcxyz” misalnya. Ini ilustrasi aja. The point is, seringkali kombinasi antara guilty feeling dan hambatan psikologi untuk mengungkapkan emosi antara ibu-anak, membuat kejadian “tragis” seperti ini terjadi.

Karena posisi saya sebagai ibu, maka menurut saya…”mengkompensasi” itu hal yang wajar, namun kompensasinya harus apple to apple. Kompensasi apple to apple untuk mengurangi kadar guilty feeling kita, menurut saya bisa dilakukan dengan dua cara:

(1) Menkompensasi kuantitas waktu yang “hilang” karena kita bekerja, dengan kualitas waktu. Quality time. Terdengar sangat  familiar bukan?. Tapi saya baru menghayatinya secara mendalam minggu lalu. Biasanya, sejak tak punya pembantu, saat di rumah memang “terpaksa” saya “melayani” kebutuhan anak-anak tanpa disambi aktifitas lain. Da emang gak bisa…Pulang dari aktifitas sore, lagi masak untuk makan malem…si bungsu Azzam ngajak main bola….gak mungkin masak sambil main bola. Terpaksa lah si kompor dimatikan, tak peduli sedang pada tahap apa si proses memasak. Deadline menggunung, tapi Hana minta diajarin belajar baca, terpaksa si deadline dilupakan da gak mungkin disambi. Begitu seterusnya. Nah, minggu lalu, karena mas ada di rumah saya coba-coba, di rumah nemenin anak-anak sambil buka laptop. Sebenarnya gak ngerjain yang serius sih, cuman mau ngerekap progres kerjaan aja. Dan hasilnya…saya kesel, karena kerjaan saya gak kelar-kelar. Anak-anak, gak kalah keselnya. Azzam rewel, Hana protes…. dan kalau mereka tau ibunya gak “konsentrasi” pada mereka, tiba-tiba ajakan si abah untuk main, menjadi gak laku ;(

Ah, saya jadi inget prinsip quality time dalam bertinteraksi dengan anak HERE AND NOW. Ibu ada DISINI, SEKARANG. Pikiran dan perasaan ibu, hadir bersama. Dan anak, di usia berapapun -menurut pengalaman saya- punya “sensor” untuk merasakan apakah ibunya “HERE” atau “THERE”. Dan ternyata, mencurahkan pikiran dan perasaan sepenuhnya saat berinteraksi dengan anak itu, tak hanya bermanfaat untuk anak-seperti yang selama ini saya pikir. Namun ternyata bermanfaat juga buat kita. Menari hockey pockey sambil inget kerjaan, tentu beda proses dan hasilnya dengan saat kita menari hockey pockey d dengan benar-benar menikmatinya. Anak akan merasa bahwa ketawa kita, gak palsu. Tulus. Dan, kita akan larut dan menikmati serta merasakan energi positif dari bermain. Double impact 😉

Berdasarkan pengalaman tersebut, maka untuk ibu bekerja, satu jam yang kita punya sebelum berangkat bekerja, beberapa jam yang kita punya sepulang kerja sampai anak-anak tidur, jangan sia-siakan. Jangan sia-siakan. Kosongkan pikiran dari semua hal yang terkait pekerjaan. Simpan hape jauh-jauh, silent-kan. Hayu kita “bayar” kuantitas waktu yang hilang dengan waktu yang “berkualitas super”. Interaksi ibu-anak yang paling berkualitas menurut saya adalah, interaksi tanpa media. Alat permainan yang paling jitu untuk membangun relasi yang berkualitas antara ibu dan anak adalah…tubuh kita. Saling memeluk, saling  mencium, saling gelitik, permainan “bila gajah berjalan…bila semut berjalan”, beragam macam tepuk (tepuk badut, tepuk polisi, tepuk sambel, tepuk si cepot, dlsb), guling sosis, dll dll. Fungsinya ganda: membuat anak merasa berharga, dan membuat ibu merasa bahagia karena bisa menghilangkan kepenatan dari pekerjaan.

(2) Jujur saja, setiap hari saya merasa harus meminta maaf pada anak-anak saya. Saat setiap siang saya telpon Hana dan ngobrol dia lagi apa lalu  si TK B itu menjawab  lagi main ini-itu sendirian, saya bayangkan kalau saya ada di rumah, dia pastinya akan jauh lebih senang. Perasaan bahwa hak anak-anak menjadi terkurangi karena pilihan kita bekerja, menurut saya akan menjadi amunisi yang tak terhingga bagi kita untuk memanjatkan doa yang paling tuluuuuuus untuk anak-anak kita, setiap hari-nya. Dan doa ibu….bagaimana kedahsyatannya, tak diragukan lagi.

Jadi, demikianlah curhat tengah malam kali ini. Semoga bermanfaat 😉

sumber gambar : http://www.thehugginghome.ca/2011/06/mother-guilt-i-have-it-and-i-feel.html