Ibu Bekerja : Mengelola “Guilty Feeling” dengan apple to apple

Salah satu hal yang konon lazim dirasakan oleh ibu bekerja, adalah “perasaan bersalah”. Perasaan bersalah atau “guilty feeling” ini bisa dirasakan sebagai dampak  dari adanya kesenjangan antara “nilai” yang tertanam pada diri kita bahwa seharusnya seorang ibu itu “ada di rumah”, “selalu ada” untuk anak-anaknya, dengan kenyataan yang kita pilih dan kita jalani, yaitu “meninggalkan anak-anak”.

Menurut saya, “guilty feeling” itu, perlu dipertahankan. Setelah itu, lalu dikelola. Kenapa harus dipertahankan? Karena memang “value” bahwa ibu itu “heart of family”, harus dipertahankan. Nilai ini yang akan menjadi salah satu “kalibrasi kompas peran” kita sebagai ibu, yang memilih untuk bekerja. Lalu selanjutnya dikelola. Maksudnya?

guilty girl comicSama seperti emosi negatif lainnya seperti marah, kesal, kecewa, dll… emosi “guilty feeling” ini menjadi salah satu “ciri kemanusiaan” kita. Kalau kita hilangkan, akan terjadi “ketidakseimbangan ekosistem psikologis” yang berdampak buruk. Tapi kalau kalau tak kita hilangkan namun tak kita kelola, juga tak kalah buruk dampaknya. Nah, ini nih yang sering “ter-expose”; dampak guilty feeling ibu bekerja yang tak terkelola.

Kalau tak dikelola, si guilty feeling ini paling sering muncul dalam bentuk “mengkompensasi ketidakhadiran diri dengan memenuhi keinginan anak”. Misalnya…masa udah seharian gak ada di rumah trus pulang-pulang memberikan aturan ini-itu pada anak. Masa pas gak ada di rumah merasa sangat terbantu dengan ipad, trus pas datang harus mengganggu “kenikmatan” anak main ipad meskipun mainnya udah entah berapa belas jam ….Menurut penghayatan saya, itu adalah bentuk guilty feeling yang “pasif”. Hehe…bikin teori sendiri  ;). Kalau bentuk yang aktif gimana? beliin ini-itu buat anak yang sebenarnya gak diperlukan anak. Misalnya beliin anak mainan mahal-mahal, ngajak anak makan disana-sini, dll dll.

Jujur saja, saya pernah mengalami fase ini. Saat loading pekerjaan begitu banyak dan memaksa saya p4; pergi pagi pulang petang;  maka saya mengkompensasi ketidaksempatan saya memasak masakan kesukaan anak-anak dengan membelikan makanan istimewa dari resto favorit mereka. Saya juga mengkompensasi minimnya waktu bermain anak-anak dengan saya, dengan membelikan mereka mainan istimewa. Namun selanjutnya, saya menyadari bahwa perilaku “mengkompensasi” ini jika tak dikendalikan, bisa “kebablasan”.

Apa maksudnya kebablasan?

  • Dampak pada pengasuhan yang menjadi tak terkonsep dengan jelas (terutama jika bentuk guilty feelingnya adalah ibu jadi permisif);
  • Kalau anaknya pinter, anak bisa “memanipulasi” perasaan guilty feeling ibu ini loh…ia akan memanfaatkan rasa bersalah ibu untuk mendapatkan apa yang ia mau
  • Seringkali ibu merasa bahwa dengan cara tertentu,  ia telah “membayar” “kekurangan karena ia bekerja” pada anaknya, namun di sisi lain anaknya tidak menghayati demikian. Nah, ini tragis banget. Tapi kenyataannya, ada. Beberapa kali saya menemukan relasi ibu-anak;  yang ibunya berpendapat : “Saya sudah ajak dia liburan ke luar negeri, saya sudah beliin apapun yang dia mau, saya sudah bla..bla..bla…tapi anak saya tetap ngungkit kenapa saya tidak hadir waktu dia pentas abcdxyz” . Sementara anaknya berkata: “saya gak butuh liburan ke luar negeri, saya gak butuh gadget…saya butuh ibu hadir waktu saya pentas abcxyz” misalnya. Ini ilustrasi aja. The point is, seringkali kombinasi antara guilty feeling dan hambatan psikologi untuk mengungkapkan emosi antara ibu-anak, membuat kejadian “tragis” seperti ini terjadi.

Karena posisi saya sebagai ibu, maka menurut saya…”mengkompensasi” itu hal yang wajar, namun kompensasinya harus apple to apple. Kompensasi apple to apple untuk mengurangi kadar guilty feeling kita, menurut saya bisa dilakukan dengan dua cara:

(1) Menkompensasi kuantitas waktu yang “hilang” karena kita bekerja, dengan kualitas waktu. Quality time. Terdengar sangat  familiar bukan?. Tapi saya baru menghayatinya secara mendalam minggu lalu. Biasanya, sejak tak punya pembantu, saat di rumah memang “terpaksa” saya “melayani” kebutuhan anak-anak tanpa disambi aktifitas lain. Da emang gak bisa…Pulang dari aktifitas sore, lagi masak untuk makan malem…si bungsu Azzam ngajak main bola….gak mungkin masak sambil main bola. Terpaksa lah si kompor dimatikan, tak peduli sedang pada tahap apa si proses memasak. Deadline menggunung, tapi Hana minta diajarin belajar baca, terpaksa si deadline dilupakan da gak mungkin disambi. Begitu seterusnya. Nah, minggu lalu, karena mas ada di rumah saya coba-coba, di rumah nemenin anak-anak sambil buka laptop. Sebenarnya gak ngerjain yang serius sih, cuman mau ngerekap progres kerjaan aja. Dan hasilnya…saya kesel, karena kerjaan saya gak kelar-kelar. Anak-anak, gak kalah keselnya. Azzam rewel, Hana protes…. dan kalau mereka tau ibunya gak “konsentrasi” pada mereka, tiba-tiba ajakan si abah untuk main, menjadi gak laku ;(

Ah, saya jadi inget prinsip quality time dalam bertinteraksi dengan anak HERE AND NOW. Ibu ada DISINI, SEKARANG. Pikiran dan perasaan ibu, hadir bersama. Dan anak, di usia berapapun -menurut pengalaman saya- punya “sensor” untuk merasakan apakah ibunya “HERE” atau “THERE”. Dan ternyata, mencurahkan pikiran dan perasaan sepenuhnya saat berinteraksi dengan anak itu, tak hanya bermanfaat untuk anak-seperti yang selama ini saya pikir. Namun ternyata bermanfaat juga buat kita. Menari hockey pockey sambil inget kerjaan, tentu beda proses dan hasilnya dengan saat kita menari hockey pockey d dengan benar-benar menikmatinya. Anak akan merasa bahwa ketawa kita, gak palsu. Tulus. Dan, kita akan larut dan menikmati serta merasakan energi positif dari bermain. Double impact 😉

Berdasarkan pengalaman tersebut, maka untuk ibu bekerja, satu jam yang kita punya sebelum berangkat bekerja, beberapa jam yang kita punya sepulang kerja sampai anak-anak tidur, jangan sia-siakan. Jangan sia-siakan. Kosongkan pikiran dari semua hal yang terkait pekerjaan. Simpan hape jauh-jauh, silent-kan. Hayu kita “bayar” kuantitas waktu yang hilang dengan waktu yang “berkualitas super”. Interaksi ibu-anak yang paling berkualitas menurut saya adalah, interaksi tanpa media. Alat permainan yang paling jitu untuk membangun relasi yang berkualitas antara ibu dan anak adalah…tubuh kita. Saling memeluk, saling  mencium, saling gelitik, permainan “bila gajah berjalan…bila semut berjalan”, beragam macam tepuk (tepuk badut, tepuk polisi, tepuk sambel, tepuk si cepot, dlsb), guling sosis, dll dll. Fungsinya ganda: membuat anak merasa berharga, dan membuat ibu merasa bahagia karena bisa menghilangkan kepenatan dari pekerjaan.

(2) Jujur saja, setiap hari saya merasa harus meminta maaf pada anak-anak saya. Saat setiap siang saya telpon Hana dan ngobrol dia lagi apa lalu  si TK B itu menjawab  lagi main ini-itu sendirian, saya bayangkan kalau saya ada di rumah, dia pastinya akan jauh lebih senang. Perasaan bahwa hak anak-anak menjadi terkurangi karena pilihan kita bekerja, menurut saya akan menjadi amunisi yang tak terhingga bagi kita untuk memanjatkan doa yang paling tuluuuuuus untuk anak-anak kita, setiap hari-nya. Dan doa ibu….bagaimana kedahsyatannya, tak diragukan lagi.

Jadi, demikianlah curhat tengah malam kali ini. Semoga bermanfaat 😉

sumber gambar : http://www.thehugginghome.ca/2011/06/mother-guilt-i-have-it-and-i-feel.html

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: