Kala anak kita bicara gamblang

Kalau seorang ibu diminta menceritakan anak-anaknya dan ceritanya ditulis lalu dibukukan, maka setiap ibu pasti bisa menghasilkan buku sebanyak jumlah anaknya. Mungkin lebih. Seorang ibu, bisa mengingat secara detil rangkaian peristiwa yang ia alami dengan anaknya, lengkap dengan nuansa emosi yang mereka rasakan saat itu. Meskipun peristiwanya telah tahunan, belasan, bahkan puluhan tahun lalu, saya sering menyaksikan ibu yang menceritakan pengalamannya bersama anaknya, dengan binar bahagia, atau mata yang berkaca-kaca….dengan emosi yang intens, seakan mereka mengalaminya pada saat itu.

Saya ingat seorang kolega senior saya dari Belanda, saat ada kegiatan di kampus dan saya menjadi LO-nya, beliau menceritakan bahwa beliau sedang menulis “speech” yang akan ia sampaikan pada pernikahan putrinya. Tapi kesulitannya, kata dia…bagaimana caranya dia “memilih” mana yang akan disampaikan pada waktu yang terbatas, padahal ia ingin menceritakan semuaaaaa kenangannya bersama si anak. Bahkan mulai saat si anak belum hadir di perut ibunya.

Hayu ibu-ibu…yang mau belajar menulis…dan bingung mau menulis apa. Kita tulis mengenai anak kita. Pengalaman bersama mereka, perasaan-perasaan kita terhadap mereka, pasti seru deh …

hanaDi tulisan ini saya ingin menceritakan putri ketiga saya, Aisha Hanadia Rahima atau akrab dipanggil Teteh Hana. Umurnya 5 tahun, TK B. Setiap anak pasti unik, Demikian juga keempat anak saya. Dan salah satu keunikan Hana adalah, dia begitu ekspresif mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Mulai dari hal-hal yang “biasa” seperti :

“Ih, ibu teh gendut banget sih…”

“Ibu teh ibu yang aneh…masa ada ibu-ibu senengnya main game zombie…”

“Ibu mah nyebelin ih!”

“Ibu mah gak sayang teteh ! sayangnya sama de Azzam aja”

Dia juga sangat assertif:

“Ibu, udah teteh bilang kalau ibu lagi main sama teteh, jangan pegang hape. Ayo matiin hapenya bu. Sekarang juga !”

Sampai hal-hal yang mengungkapkan perasaannya yang terdalam. Yang selalu saya ingat adalah saat dia menggambarkan bagaimana sedihnya ia waktu tahun lalu kami tinggal berhaji. Dia bisa menceritakan kembali bagaimana pada saat itu dia sakit. “teteh  sangat merindukan ibu…teteh membayangkan ibu ada di sini dan memeluk teteh….teteh kangen banget pelukan ibu…teteh menunggu ibu kapan pulang…rasanya lama banget….”

Ya, dia memang sangat peka terhadap hal-hal yang sifatnya “kasih sayang”. Pernah dia bilang: “Hari ini ibu gak sayang teteh”. Waktu saya tanya kenapa, dia bilang karena hari itu saya belum memeluk dia.

Gambarannya mengenai kehadiran saya, terkadang membuat saya terharu…. setelah dua hari Kamis saya meninggalkan rumah tanpa membangunkan dia karena harus pergi sangat pagi, dia bilang  “Ibu janji ya, ibu gak akan pergi tanpa membangunkan teteh. Kalau ibu gak ada pas teteh bangun, teteh teh merasa kedinginan. Beda kalau pas teteh bangun ada ibu. Rasanya anget”.

Minggu kemarin, ada suatu kejadian yang membuat saya menghayati  keekspresifannya secara lebih bermakna.

Hari itu badan saya meriang. Kepala pusing. Saya paksakan membacakan cerita untuk Hana, karena Hana selalu bilang “teteh tidak bisa tidur tanpa dua kehangantan: kehangatan susu dan kehangatan dibacain cerita sambil dipeluk ibu”.

Sedang membacakan cerita, tiba-tiba…jeduk …..kepala saya terbentur kepalanya yang “gak mau diem”. Langsung deh bintang-bintang mengelililngi kepala saya. Spontan saya mengomel. “Teteh…coba tetehnya diem…kepala teteh juga sakit kan jadinya….”

Beberapa menit kemudian, saya panggil dia yang setelah saya omelin tadi pergi ke kamarnya. Dia datang dengan mata berkaca-kaca. Saya bilang: “ibu menegur teteh  karena kan bukan cuman kepala ibu yang sakit, tapi keala teteh juga kan?”

Dan keluarlah kata-kata yang tak pernah saya duga itu.

“Bukan kepala teteh yang sakit bu, tapi perasaan teteh.”

JLEB. beberapa detik saya frozen. Membeku. Saya tak tahu harus bersikap apa. Apa yang diucapkannya benar-benar di luar dugaan saya.

Akhirnya setelah saya sadar, saya peluk dia. Saya bilang minta maaf. Sambil terisak, dia bilang … “gitu perasaan teteh setiap kali ibu marahin teteh teh. Sakit”.

……………….

Sebagian dari kita diuji oleh anak-anak yang -kita gak tau lagi harus bagaimana- untuk mengetahui “isi hatinya” . Sebagian lagi diuji dengan anak-anak yang begitu gamblang mengungkapkan perasaan terdalamnya pada kita. Mengapa saya bilang anak yang terbuka itu juga ujian? ujian apakah kita mau mendengarkan atau tidak.

Kalau kita mau mempedulikan dan mendengarkan, maka sebenarnya banyak yang bisa kita pelajari dari anak-anak yang gamblang ini. Meskipun kita sudah sangat paham bahwa  “anak  bukan individu dewasa dalam ukuran kecil”, namun menghayati apa yang dipikirkan dan dirasakan anak sehingga kita bisa bersikap benar padanya, satu-satunya sumber yang valid adalah….ya anak itu sendiri.

Jadi, untuk ibu-ibu yang anaknya begitu ekspresif dan selalu berkata gamblang, hayu kita dengarkan mereka. Itulah salah satu cara Allah mengasah potensi ke-ibu-an kita.

 

 

 

1 Comment (+add yours?)

  1. titin florentina
    Oct 28, 2014 @ 08:45:26

    Subhanallah, sll membri pencerahan, tks fitri…ibu, istri,dosen,psikolog yg luar biasa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: