Oleh-oleh Workshop Art Therapy; Siapa murid, siapa guru ?

Akhir bulan lalu, saya mengikuti Workshop Art Therapy yang diselenggarakan oleh salah satu unit di Fakultas tercinta, Pusat Kajian dan Pelatihan Profesi Psikologi (PKP3). Trainernya adalah seorang art psychotherapist muda berbakat yang fresh from the oven, baru menamatkan pendidikan masternya dari London.  Ia membawakan workshop ini dengan gaya personalnya yang khas.

Setengah ruangan training dibiarkan kosong, sebagai tempat kami membuat “karya”. Di bagian belakang ruangan ada beragam macam media visual art yang disajikan panitia : beragam kertas, lem, cat warna-warni, kuas, glitter, gunting, kertas krep, bulu-bulu, stick es krim, krayon, spidol, beragam macam majalah dan koran yang bisa kami gunting, bunga-bunga dan biji-bijian kering, tali dari beragam bahan, dan bahan-bahan lainnya.

Kalau ukurannya materi, memang sedikit materi yang kami dapat. Namun melalui metoda “experiential group”, selama 3 hari kami diajak membuat 4 karya, yang melalui proses pembuatan 4 karya visual art itu kami mendapatkan beragam penghayatan. Setiap harinya kami diminta untuk membuat karya dengan instruksi tertentu, dan setelahnya sharing  dalam kelompok kecil mengenai penghayatan kami terhadap proses yang kami lakukan. Berdasarkan penghayatan itu, kami lalu mendiskusikan teknik pendekatan visual art yang ini, akan cocok untuk intervensi kasus klien yang seperti apa. Meskipun kegiatannya “cuman” begitu, tapi gak bosenin bahkan selalu waktu yang telah disediakan terasa “kurang”. Maklum, karena pesertanya orang-orang psikologi, maka setelah menceritakan penghayatan, langsung disambung dengan “analisa” terhadap penghayatan diri sendiri tersebut wkwkwk….

Yang paling seru adalah, di hari terakhir diadakan “pameran”. ke-25 peserta “memamerkan” masing-masing hasil karyanya. Dari 100 karya yang dipamerkan, semua sangat unik. Tiba-tiba kami menjadi seniman dan penikmat seni yang bercitarasa tinggi haha…. tapi beneran…hepi banget saat itu rasanya. Dan, meskipun hasil karya saya secara estetis pastinya engga bernilai  tinggi, tapi entah mengapa, saya merasa puas dan bangga haha…narsis 😉

DSC_0721Dari 4 hasil karya saya, yang paling saya suka adalah karya pertama. Itu dibuat di hari pertama pastinya. Saya ingat instruksi dari trainer kurang lebih adalah, “bayangkan kita kembali lagi ke masa prasekolah, dan buatlah karya saat kita masih prasekolah tersebut”. You know what? reaksi saya dalam hati adalah ...”Yippie…gambar prasekolah…berarti boleh gak teratur! berarti gak harus rapi !”. Sisi lain hati saya langsung “menganalisa”. Oooh…kayaknya perasan itu muncul karena saat itu, saya sedang membuat satu laporan penelitian dan menyusun 1 proposal penelitian. Dan selama beberapa hari itu, saya sedang memaksa pikiran ini untuk berpikir runtut, logis, rapi… Dan aktivitas sehari-hari pun, menuntut untuk berpikir logis dan runtut. Pantesan saya kayak anak kecil yang “melompat-lompat kegirangan” saat diinstruksikan membuat karya dengan menghayati diri sebagai anak prasekolah.

Dengan perasaan riang itu, saya memilih beragam bahan, lalu mulailah guntang-gunting, sobak-sobek, tompal-tempel, sambil “bersenandung dalam hati”. Karya yang tertuang, memang jauh dibandingkan dengan apa yang ada dalam bayangan saya, yang sesungguhnya ingin saya wujudkan.  Tapi entah mengapa, itu tak mengurangi kegembiraan saya.Waktu itu, otomatis yang terbayang dalam kepala saya adalah ekspresi anak-anak saya yang “cuek” saat hasil karyanya gak sesuai dengan keinginannya. Terbayang Hana yang bilang : “iih, punya Kaka Azka bagus banget…ga apa-apa lah, punya teteh Hana mah gak sebagus punya Kaka Azka juga…”.

Sambil berkarya, saya berpikir….saya menyediakan alat-alat seperti ini di rumah untuk anak-anak. Kegiatan membuat karya “visual art” ini tak asing. Tapi jujur saja, Saya tak pernah ikutan dan “larut” dalam kegiatan tersebut. Wow…ternyata menyenangkan kalau ikutan ya…setelah ini kalau anak-anak beraktivitas visual art, pasti saya akan ikut gabung !

Meskipun bahan-bahan yang disediakan oleh panitia banyak, tapi karena kami begitu “all out” dalam membuat karya, maka tak sedikit dari kami yang “kekurangan bahan”. Termasuk saya. Saya kehabisan lem, dan gak kebagian beberapa bahan yang tadinya ingin saya gunakan. Tapi lagi-lagi, kondisi itu tak sedikitpun mengurangi kegembiraan saya. Lagi-lagi, secara otomatis yang terbayang adalah bagaimana reaksi Hana: “yaaaa…teteh mau pake cet biru tapi habis sama mas Umar…ga apa-apa lah, teteh pake yang kuning aja”….

Setelah selesai, saya menghayati satu hal di luar penghayatan lain yang saya diskusikan di kelompok kecil. Penghayatan ini lebih personal. Bahwa…. seringkali kita terlalu terfokus pada perasaan bahwa kita harus menjadi “guru” buat anak-anak kita. Bahwa kita harus mengajarkan sesuatu, menjadi narasumber, bahwa kita harus jadi role model buat anak-anak kita.

Pengalaman hari itu, membuka cakrawala penghayatan lain dalam diri saya…bahwa tanpa kita sadari, kita belajar banyak dari anak-anak kita. Tanpa kita sadari, ada hal-hal yang kita tiru dari perilaku anak-anak kita. Tanpa kita sadari, perilaku anak-anak kita mewarnai sebagian diri kita.

Yups….anak, dengan karakteristiknya yang “egosentris” memang secara “general” memaksa dan menempa kita untuk menjadi lebih fleksibel. Se”perfeksionis” apapun seorang ibu, ia akan “tunduk” pada kondisi yang “diciptakan” anaknya. Hasrat untuk selalu rapi di rumah? Keinginan untuk mengerjakan kerjaan rumah dengan terjadwal? akan kalah saat si kecil sudah “beraksi”. Buat ibu bekerja, beberapa kali saya harus batalkan hal-hal “besar” yang sudah ada di depan mata, karena situasi si kecil.

Itu yang general. Tapi ternyata, secara spesifik… perilaku anak yang cenderung “easy going”, “gak takut salah”, “lugu”,  itu juga mewarnai diri kita. Perilaku-perilaku “alami” dan “sederhana” yang kalau saya hayati, menjadi begitu bermakna dan membantu saat kita menghadapi masalah orang dewasa yang “serius”. Begitu juga mungkin, tanpa kita sadari, perilaku anak yang lainnya.  Ke”disiplin”an anak kita mungkin, ke”keukeuh”an anak kita untuk mencapai apa yang dia mau, dan hal-hal lainnya.

Jadi, tak perlu cemas bahwa menjadi ibu, berarti kita harus menjadi “super”, selalu menjadi guru. Karena ternyata tanpa sadar… kita juga bisa jadi murid, yang “berguru” pada  anak.

Reureugnya tuh disini…

Beberapa waktu yang lalu, pernah rame di medsos share tulisan yang isinya ….. Seorang guru di Australia pernah berkata: “Kami tidak terlalu khawatir jika anak2 sekolah dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.” Bagi yang belum pernah membaca, bisa membaca di link https://www.facebook.com/arifs2/posts/10151739757894463.

Salah satu pesan moral dari tulisan  tersebut yang saya tangkap adalah, bahwa seringkali kita “salah fokus”, terlalu memfokuskan perhatian kita untuk menstimulasi dan mengapresiasi pencapaian akademik anak, dan “melupakan” stimulasi dan apresiasi terhadap pencapaian non akademik anak. Dalam tulisan ini, pencapaian akademik diwakili oleh “pandai matematika” dan pencapaian non akademik diwakili oleh “pandai mengantri”.

Yups, saya setuju bahwa -menyontek slogannya SMA 3 Bandung- Knowledge is power, but character is more. Pinter kudu, tapi itu gak ada gunanaya kalau gak ditunjang sama “sikap mental” yang baik. Nah terkait dengan “sikap mental” ini, ada satu hal yang meresahkan saya. Anak saya, si nomor dua. Umar. Dalam beberapa tulisan saya, saya sering menuliskan betapa perjuangan terbesar mengasuh anak ini adalah menumbuhkan sikap mental yang positif. “Yang engga lebay”. Karena dibandingkan dengan kakak dan adiknya, saat menghadapi masalah ia cenderung “lebay”. Bukannya maju malah mundur. Mudah menyerah. Kurang “fight” gitu.

Ujiannya dia, kurang fight nya dia diringi oleh kemampuan kognitif yang baik. Jadi tak perlu belajar, ia bisa mencapai nilai-nilai tertinggi. Kenapa saya bilang ini ujian? karena hal ini melenakan dia. Saya tahu betul, tantangan di kehidupan bermasyarakat saat ia sudah besar nanti tak hanya bisa diselesaikan oleh kepintaran. Tapi…”sikap mental” itu tadi. Tak mudah menyerah. Pantang mundur. Mau mencoba hal baru. Berani ambil resiko. Bukannya menghindar dan “lebay”.

Keresahan saya semakin memuncak karena profesi saya membuat saya sering melewati “lorong waktu”. Saya bertemu dengan permasalahan anak yang usianya diatas usia anak-anak saya. Saya bertemu dengan ibu-ibu dan anak-anak yang memiliki persoalan yang sama dengan Umar. Kalau dia sekarang kelas 3 SD, saya menemukan permasalahan yang sama pada anak usia 13 tahun bahkan 23 tahun . Dari permasalahan-permasalahan itu saya menyadari bahwa daya juang untuk mengatasi hambatan dan masalah, itu gak bisa tumbuh sendiri seiring bertambahnya usia anak. Bahkan masalahnya akan semakin kompleks saat usia semakin besar dan persoalan semakin kompleks.

Saya benar-benar resah, khawatir, dan gelisah. Setiap kali saya sholat, saya berdoa “rabbi…habli…minash sholihiin” sambil saya bayangkan anak-anak saya satu-satu. Saat saya bayangkan wajah Umar, saya doakan dia tiga kali. Waktu tahun lalu ke tanah suci, setiap thawaf sunat saya punya jatah 4 keliling untuk mendoakan masing-masing anak saya, saya tambah ekstra satu keliling untuk Umar. Bahkan saya pernah menangis dan memohoooon banget pada Allah. Saya sering curhat soal kekhawattiran saya tentang Umar pada Mas. Saya khawatir karena dia anak laki-laki pertama. Saya suka bilang kalau abah nanti meninggal duluan, mas Umar yang akan jadi kepala keluarga di rumah ini.

Sebagai ikhtiar, saya juga berusaha untuk menumbuhkan dan menempa daya juangnya. Melalui kegiatan sehari-hari. Umpan balik terhadap sikap-sikapnya, arahan dan dorongan serta apresiasi….

Sampai hari Sabtu lalu, sore-sore dia minta saya untuk membantu dia mengerjakan PRnya. PRnya, 6 soal bagi kurung. Soal pertama, saya tuntun langkah demi langkah. Soal kedua juga. Soal bagi kurung itu adalah hal yang kompleks buat anak-anak kelas 3. Selain mempersyaratkan kemampuan bagi dan kali yang harus sudah di luar kepala, mengingat langkah-langkah penyelesaiannya yang kompleks juga bukan hal mudah. Soal no 3, 4, dua soal terakhir sudah bisa saya lepas sepenuhnya.

Setelah selesai, saya perhatikan kok soal itu ditulis tangan oleh gurunya…Lalu saya tanya “Mas, bu guru nulisin PR di buku anak-anak satu-satu?”…”Enggak” jawab dia. “Ini mah PR khusus untuk mas Umar kok, gak untuk semua kelas 3”. … saya merasa heran dengan jawabannya. “Kenapa gitu mas?” … “Iya, mas Umar yang minta dibikinin PR sama bu guru, soalnya mas Umar merasa belum ngerti, jadi minta PR”.

Seperti saat mendengar kata-kata Hana di tulisan https://fitriariyanti.wordpress.com/2014/10/28/kala-anak-kita-bicara-gamblang/ , saya “freeze” sejenak. Saya tak menyangka kalimat itu akan saya dengar. Beberapa detik kemudian setelah saya sadar, saya rasanya ingin melompat ke atas awan. Saya bahagiaaaaa banget. Jauuuh lebih bahagia dibanding saat mendengar dia renking satu. Lebih bahagia dibanding melihat beberapa nilai 100 di rapornya.

reugreugMenghayati bahwa ia belum memahami pelajaran, ada keinginan untuk bisa, lalu berinisiatif meminta PR pada gurunya, buat saya adalah hal yang sangat istimewa, dilakukan oleh Umarku. Memang ini hanya satu momen. Tapi cukup untuk memudarkan  kekhawatiran saya. Saya katakan saya bangga padanya, sangat bangga. Karena ia tak menyerah, karena ia berinisiatif dan mau berusaha.

Perasaan saya sore itu, kalau mencontek kata-kata Kang Emil…”reugreugnya tuh di sini”. Perasaan reugreug yang saya rasakan sepadan dengan penantian 19 tahun para bobotoh menanti si maung bandung jadi juara…

Semoga “sikap mental” itu kau bawa terus sampai saatnya nanti kau harus menghadapi dunia seorang diri, nak …

tentang mimpi perempuan

Mungkin seringkali kita lupa bahwa seorang ibu, seorang istri, adalah seorang “diri” juga. Selain harus membimbing anak-anaknya meraih harapan dan cita-cita mereka, selain harus mendampingi suaminya meraih harapan dan cita-citanya, ia sendiri adalah seseorang. Yang memiliki dunia, harapan dan cita-citanya tersendiri.

Itulah sebabnya pilihan-pilihan seorang perempuan yang menjadi istri lalu menjadi ibu, tak pernah sederhana.

Ia harus mencari cara bagaimana agar semua peran, harapan, tuntutan dan keinginan dari orang-orang yang dicintainya; anak-anak dan suaminya, serta dari dirinya sendiri, berjalan dengan RELATIF seimbang. Ya, RELATIF.

Bagaimana seorang perempuan “mengatur” impiannya agar sejalan dengan mimpi suami dan anak-anaknya, tak pernah sederhana. Ada yang memilih “merubah” impiannya. Ada yang lebih nyaman “menunda impiannya” . Ada pula yang terus mengejar mimpinya meskipun mimpinya tak lagi sempurna.

Namun dalam semua bentuknya, pergulatan batin itu terjadi. Pergulatan itu bisa mewujud dalam bentuk yang terlihat; bagaimana ia mengatur aktivitas anak-anak, suami dan dirinya sendiri….atau kalaupun tak terlihat secara fisik, pergulatan itu masih ada dalam pikiran dan hati para perempuan. Mewujud dalam baragam rupa : kisah, puisi, bahkan doa.

Dare-to-Dream1Perempuan..setelah ia menjadi istri dan ibu, hidupnya dan pilihan-pilihannya tak pernah sederhana. Namun satu hal… entah itu berubah, berbeda, atau tak sesempurna apa yang dibayangkan dulu…tetaplah punya mimpi.

Sekecil apapun mimpi itu, sesederhana apapun mimpi itu. Karena suatu hari, kita akan menyadari bahwa meskipun secara status kita masihlah seorang istri dan ibu, namun secara nyata…kita akan kembali menjadi diri kita. Saat itu, kalau kita tak menyisakan bara api impian kita, mungkin kita akan merasa hampa.