Time Frame Kehidupan Kita ….

hour_glass_200Besok malam, tahun akan berganti lagi. 2015.

Mungkin banyak diantara kita yang menjadikan momen pergantian tahun ini sebagai momen untuk membuat Rencana. Target. Resolusi.

Ekspresinya, bisa beragam. Mungkin ada yang menuliskan dengan tinta warna-warni di “diary” atau “dreambook”nya, mungkin ada yang menempelkannya di dinding meja belajar atau meja kerjanya, mengetiknya di aplikasi gadgetnya, atau ada yang hanya menuliskannya dalam hati.

Ada yang punya rencana besar yang nyata……. Tahun depan akan jadi sarjana. Dua tahun lagi akan melamar pujaan hati. Tiga tahun lagi akan merintis usaha baru. Empat tahun lagi akan sekolah ke luar negeri. Lima tahun lagi akan punya anak. Enam tahun lagi akan naik haji. Tujuh tahun lagi mau ganti mobil. Delapan tahun lagi mau keliling Eropa. Sembilan tahun lagi mau bikin rumah yatim. Sepuluh tahun lagi mau hafal al-quran……seribu satu resolusi, rencana, cita-cita, mimpi dan harapan kita miliki.

Meskipun beragam cara dan isi rencana kita, ada satu kesamaan…. kita mengasumsikan bahwa kita akan hidup sampai saat itu.

Ya…ya…kita semua tahu… bahwa ajal, mengintai diri kita setiap saat. Dengan 3 rahasia besarnya; rahasia tempat, waktu dan cara. Ya, kita tahu. Tapi apakah kita menghayati??? Tak setiap saat kita menghayati itu. Tak setiap saat kita sadar bahwa bisa jadi, usia kita tak sampai di batas waktu yang kita tetapkan untuk resolusi kita itu.

Beberapa bulan lalu, sahabat saya wafat. Dengan sangat tiba-tiba. Belum lama saya mengenal sahabat ini. Usianya hanya terpaut 10 tahunan dari saya. Saya mengenal dan bersamanya saat menunaikan ibadah haji tahun lalu. Sebulan bersama satu kamar, lalu kemudian beberapa bulan lalu beliau pindah ke Bandung dan putrinya sekelas dengan anak saya, membuat kami sering berinteraksi. Sampai saat ini, saya masih belum percaya ia telah tiada. Saya masih ingat “rencana-rencana” yang beberapa kali kami bicarakan mengenai anak-anak kami.

Saya masih ingat di hari ketika saya mendapat kabar tiba-tiba wafatnya sahabat saya itu, adalah hari senin. Waktu saya melayat, seorang rekan kerjanya (beliau wafat saat pertemuan di tempat kerjanya) menceritakan bahwa beliau sedang dalam keadaan berpuasa. Saya merasa tertampar sekali. Saya ingat hari itu saya berniat puasa juga. Namun menjelang Dzuhur saya batalkan karena saya hanya sempat sahur sedikit dan rencananya, hari itu saya akan beraktifitas sampai sore. Ada satu pelajaran berharga hari itu. Bahwa saya “mengasumsikan” akan hidup sampai sore. Bagaiana kalau hari itu, saya yang diwafatkan? betapa iri saya pada sahabat saya itu, wafat dalam keadaan berpuasa.

Kepergiannya yang tiba-tiba, tanpa disangka oleh siapapun, mengajarkan suatu hal yang amat berharga buat saya. Bahwa “time frame” kehidupan kita, bukanlah dalam satuan puluhan tahun. Bukan dalam satuan tahun. Bukan dalam satuan bulan. Bukan satuan minggu. Hari. Jam.

Ya, kita boleh punya rencana; apa yang akan kita lakukan kalau anak-anak sudah besar. Kita boleh punya rencana sekian tahun lagi akan menyelesaikan kuliah. Kita boleh punya rencana apapun…Tapi seluruh rencana itu harus disertai dengan kesadaran bahwa bisa jadi, bisa jadi kita tak sampai di waktu itu. Lalu kalau kita belum sampai di rencana itu, bagaimana kondisi kita?

Kepergian sahabat saya yang tiba-tiba itu mengajarkan satu satu hal. Bahwa “time frame” kehidupan kita adalah per-helaan nafas. Betapa ruginya sahabat saya itu kalau Allah hanya melihat “hasil”. Anak-anaknya belum “jadi” sesuai rencannya. Tapi bukan itu yang Allah nilai bukan? tapi prosesnya.

Oleh karena itu, bagi setiap muslim….

Setiap helaan nafasnya, adalah proses. Tapi juga bisa jadi ujung perjuangannya. Setiap akhir harinya, bisa jadi proses. Tapi bisa juga jadi ujung perjuangannya. Setiap akhir bulannya, bisa jadi proses. Tapi bisa juga jadi ujung perjuangannya. Setiap akhir tahunnya, bisa jadi proses. Tapi bisa juga jadi ujung perjuangannya.

Oleh karena itu, bagi setiap muslim…

Harusnya tak ada alasan untuk menunda sedetik pun kebaikan yang ingin dilakukannya. Harusnya, tak ada kata “nanti” untuk kebaikan yang muncul dari nurani kita. Mau membantu teman. Nanti? mungkin nanti itu tak akan ada. Mau berinfaq. Nanti? mungkin nanti itu tak akan pernah ada. Mau naik haji. Nanti? tak ada yang menjamin kita akan sampai di saat “nanti” itu. Mau berbakti pada orangtua. Nanti? tak ada jaminan nanti itu kita temui.

Setiap langkah kehidupan kita, bisa jadi proses … namun bisa jadi ujung perjuangan kita. Penghayatan itu, semoga selalu menyertai langkah kita. Jangan ada kata “nanti” untuk kebaikan yang terbersit di nurani kita. Karena bisa jadi, “nanti” itu tak ada buat kita.

 

gambar diambil dari : http://vtcsp.blogspot.com/2007/05/time-is-running-out-to-provide-csp.html

 

2014 in review

The WordPress.com stats helper monkeys prepared a 2014 annual report for this blog.

Here’s an excerpt:

The concert hall at the Sydney Opera House holds 2,700 people. This blog was viewed about 45,000 times in 2014. If it were a concert at Sydney Opera House, it would take about 17 sold-out performances for that many people to see it.

Click here to see the complete report.

Cita-cita kita : menjadi ibu yang selalu bahagia ???

Dulu, dulu banget, saya sangat mengagumi orang-orang yang menampilkan dirinya sebagai seorang yang “sempurna”. Hebat gituh, dalam segala hal-nya. Tak punya kekurangan. Namun seiring perjalanan waktu, beragam pengalaman saya temui, diiringi dengan pengetahuan, pemahanan dan penghayatan….. saya tak terlalu suka lagi orang yang menampilkan dirinya sebagai orang yang sempurna. Karena biasanya, orang yang menampilkan dirinya sempurna itu alternatifnya dua: (1) dia orang yang nyebelin banget, karena pada dasarnya gak demikian (2) banyak sisi diri orang tersebut yang ditutupi karena ia tak mau sisi itu terlihat oleh orang lain.

Sudah lama dan sampai sekarang saya “terpesona” oleh orang-orang yang tak sempurna. Orang-orang yang secara alami dan rendah hati mengakui kekuarangan dirinya.

Salah satu buku yang berkesan buat saya adalah buku “Even the Angel Ask”; “Bahkan Malaikat pun Bertanya”. Buku ini ditulis oleh seorang profesor matematika yang menemukan kedamaian dalam Islam melalui logika-logikanya. Buku ini bercerita mengenai penghayatannya terhadap ayat AlQur’an yang mengemukakan mengapa Allah menempatkan menusia -yang tak sempurna seperti malaikat- menjadi Khalifah di bumi ini.

Ini adalah penjelasan mengenai kesempurnaan manusia. Bahwa kesempurnaannya, bukan terletak pada diri yang hanya memiliki sisi kebaikan, tapi justru karena manusia punya sisi keburukan juga. Perjuangan mengalahkan keburukan dengan kebaikanlah yang menjadikannya sempurna.

Yups, orang-orang yang menampilkan atau merasa dirinya sempurna memang akan menyebalkan. Karena ia bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Sebaliknya pengakuan akan kelemahan diri, adalah keberanian dan kekuatan yang sejati.

Dalam peran menjadi ibu, tadinya saya berpikir bahwa kita, sebagai ibu, harus selalu bahagia, dan terlihat bahagia oleh anak-anak kita. Agar bisa menularkan kebahagiaan pada anak-anak kita. Tapi ternyata saya salah. Karena kehidupan anak-anak kita pun tak hanya akan penuh suka cita, kebahagiaan dan keberhasilan. Anak-anak kita juga akan mengalami episode kehidupan yang menyedihkan, kegagalan, penolakan, kesulitan…

motherSudah lama saya meninggalkan keinginan untuk menampilkan diri sebagai ibu yang selalu kuat, tangguh, tak pernah nangis, tak pernah marah, tak pernak kesal, tak pernah cemas… selain akan membuat kita lelah dan bisa “meledak” suatu hari nanti, ada satu pelajaran yang akan dipelajari anak-anak kita dari kita kalau kita menampilkan diri kita secara alami: bahwa ibunya adalah manusia biasa, sama seperti mereka.

Itulah sebabnya saya suka sekali buku serial Franklin. Banyak kisah disana yang bisa menjadi media untuk membicarakan isu ini dengan anak-anak. Seperti buku yang berjudul “Franklin Takut Kegelapan”. Kelegaan Franklin saat ia tahu ayah-ibunya punya ketakutan juga, merupakan refleksi perasaan anak-anak kita juga, saya kira.

Menjadi ibu yang selalu “hepi”; jangan-jangan tanpa sadar membuat anak kita merasa “something wrong” kalau dia gak hepi. Menjadi ibu yang selalu berhasil, jangan-jangan membuat anak kita “I’m noone” kala mereka mengalami kegagalan.

Ada satu konsep yang diperkenalkan oleh “Madzhab” Psikologi Positif; WELLBEING. Dibahasa-Indonesiakan sebagai SEJAHTERA, meskipun menurut saya rasa bahasanya “kurang nendang’. WellBeing artinya merasa “sejahtera” entah itu dalam situasi bahagia atau sedih, saat mengalami keberhasilan atau kegagalan. Dan perasaan sejahtera ini, kalau saya boleh meminjam konsepnya Resiliensi-nya Edith Grothberg bersumber dari penghayatan bahwa AKU PUNYA potensi untuk bangkit, AKU BISA mengatasi masalah, dan AKU PUNYA ORANG YANG AKAN MEMBANTU saat aku tak bias mengatasi persoalanku sendirian. Yang sebagai muslimah, tambah stau lagi: penghayatan bahwa Allah yang maha KAsih dan Maha Sayang, tak mungkin menimpakan keburukan pada kita, karena Dia telah mengukur dengan sangat cermat, kesulitan yang kita alami masih lebih kecil dibanding potensi ynag kita miliki untuk mengatasinya.

Ibu yang wellbeing, akan menangis saat mengalami kesulitan. Tapi bukan menangis lebay. Setelah itu ia akan bangkit bergerak. Ibu yang wellbeing akan kesal dan marah, tapi kemudian ia tahu cara mengatasi kekesalan dan kemarahannya. Dan cara kita bangkit dan mengatasi kesulitan kita, itu akan jadi pelajaran yang amat berharga buat anak-anak kita.

Menjadi ibu yang wellbeing, mengajarkan anak-anak menjadi wellbeing, itulah cita-cita saya.

Mengapa ibu itu selalu mulia …

mothers-day-clip-art-4Beberapa minggu  yang lalu saya membaca sebuah tulisan yang di share oleh salah seorang teman facebook saya. Tulisan itu adalah tanggapan terhadap “mom war” antara ibu bekerja dan ibu tidak bekerja, yang ditulis oleh seorang pria. Mungkin fenomenanya sudah “basi”, mengingat tampaknya “mom war” gak sedang jadi hot topic sekarang ini. Tapi tulisan itu ….saya suka gagasannya, saya suka gaya bahasanya, dan saya suka kalimat terakhir di tulisan itu. Di akhir tulisan itu, sang penulis menyebut, menjadi ibu bekerja atau tidak bekerja, seorang ibu itu selalu mulia kok.

Yups, agama menyebut nama ibu tiga kali untuk dimuliakan. Tak ada lagi yang meragukan kemuliaan seorang ibu. Saya menghayati satu dimensi lagi kenapa seorang ibu itu selalu mulia. Adalah karena mereka “invisible”. “Invisible” sampai ada dua hal yang terjadi: anak mereka BERPRESTASI, atau anak mereka BERMASALAH.

Beban berat seorang ibu adalah, saat anak mereka mengalami masalah. Seorang teman saya pernah berseloroh pada saya, bilang gini: “gampang jadi psikolog anak mah Fit….pokoknya apapun kasusnya, yang salah ibunya  kan…ibunya terlalu keras, ibunya terlalu permisif, pola asuh ibunya pasti yang salah”. Memang itu hanya seloroh, sayangnya, memang demikianlah yang terjadi di masyarakat. Saya sering sekali menerima informasi mengenai permasalahan anak yang dikeluhkan oleh guru atau tetangga, dengan akhir kalimat gini: “soalnya ibunya kerja sih…”. Nah lo…ibu bekerja langsung jadi tersangka. Saya suka bertanya balik; “emang kenapa kalau ibunya bekerja?” Aaaah…teman-teman yang pro-ibu di rumah pasti lega. Eits…jangan lega dulu … ungkapan “soalnya ibunya kerja sih” itu, sama seringnya saya dengar dengan kalimat : “padahal ibunya di rumah loh” …kkk.

Intinya… saya menghayati, beban yang diberikan masyarakat pada seorang ibu itu beurat loh…dan ada hukum gini kayaknya: “Kalau ibu berhasil mendidik anak-anaknya tanpa masalah, itu sih wajar. Kalau ibu gak berhasil mendidik anak-anaknya, nah, itu mutlak kesalahan ibu” … itulah mengapa menjadi ibu itu selalu mulia. Karena berbanding berbalik dengan kebutuhan manusiawi untuk “dihargai”, ibu-ibu tak mendapatkannya.

Ibu bekerja, sepenting apapun pekerjaannya, seketat apapun deadlinenya, tak akan dapat toleransi dari siapapun kalau misalnya dia lupa nyiapin makan untuk anak-anaknya. Ibu di rumah, berapa ribu kali dia beresin rumah, invisible…orang-orang hanya “ngeuh” kalau rumah berantakan karena ibu gak beresin rumah.

Yups, menjadi ibu memang selalu mulia. Entah itu berpendidikan tinggi, berpendidikan rendah, berpenghasilan tinggi, tak berpenghasilan, mau lembut, mau galak… semakin kesini, semakin banyak saya bertemu ibu yang anak-anaknya “bermasalah”, semakin saya menghayati satu hal: Apapun perilaku ibu pada anaknya, itu adalah cara yang yang menurut pemikiran dan perasaannya, untuk kebaikan anaknya.  Hanya bahwa caranya kurang pas, itu karena mereka tidak tahu. Seluruh ibu punya mimpi yang sama, ingin memberikan yang terbaik untuk keluarganya, untuk anak-anaknya. Kalau cara mereka kurang pas, mari kita bantu mereka. Jangan dihakimi.

Buat para ibu di seluruh dunia… kemuliaan kita bukan terletak pada hal-hal BESAR yang kita lakukan, tapi justru ada pada hal-hal KECIL keseharian yang “invisible” di mata orang lain, bahkan mungkin di mata anak kita sendiri. Maka, nikmatilah hari-hari sajadah panjang kita untuk keluarga dan anak-anak.

Selamat hari ibu…

sumber gambar : http://november2013calendar.org/happy-mothers-day-clip-art-and-images.html

You Are What You Read : Pelajaran dari “Mamak”

serial anak mamakSejauh ini, tamat sudah 3 buku Serial Anak Mamak karya Tere Liye, saya baca. Meski bacanya cuman bisa pas wiken, ngumpet-ngumpet  sebelum “ketauan” ama si bungsu Azzam 2,5 tahun  yang akan langsung teriak : “Ibu, jangan baca buku…ayo main sama De Azzam”.

Saya sudah selesai membaca buku AMELIA si bungsu yang kuat, BURLIAN si pangais bungsu yang istimewa, dan PUKAT si anak kedua yang jenius. Tinggal si sulung ELIANA si anak pertama yang pemberani yang belum saya baca.

Sebenarnya saya sangat pemilih dalam membaca buku. Maklum, karena waktu yang amat terbatas, maka pengennya nemu buku yang bener-bener refreshing sekaligus memberikan energi di tengah bacaan lain yang wajib di baca: tugas mahasiswa dan literatur-literatur baik untuk kepentingan mengajar maupun untuk penanganan klien.

Dan buku Serial anak-anak Mamak ini, memenuhi kriteria yang saya butuhkan : “ringan, syarat pesan yang dalam, menggugah emosi”. Hana si panais bungsu yang cermat memperhatikan saya kalau lagi baca buku-buku ini, sering berkomentar : “Aneh ibu mah…tadi senyum-senyum…ketawa-ketawa…terus nangis….emang gimana sih bu ceritanya?”

Di tengah segala macam bombardir cerita keburukan baik yang dilakukan oleh anak-anak kita maupun orang dewasa dari beragam kelompok, nilai-nilai kebaikan yang ingin ditunjukkan dan ditularkan oleh sang penulis terasa sangat kuat. Nilai kejujuran melalui cerita celengan naga yang diceritakan oleh Nek Kiba, guru ngaji mereka dalam buku PUKAT sangat kuat, sekaligus mengaduk emosi. Demikian juga nilai-nilai baik seperti “jangan bergibah”, diungkapkan dengan lugas sekaligus menghibur lewat perbincangan ringan Mamak dengan BURLIAN saat BURLIAN keukeuh pengen tau dan membicarakan “urusan orang lain”.

Persahabatan, kerja keras, kesungguhan, semua nilai kebaikan yang kini semakin memudar …. serasa menenukan oase yang menyegarkan di tengah hiruk pikuk masalah negeri ini. Dan salah satu tokoh sentral dalam 4 buku ini, tentulah Mamak, ibu dari 4 anak itu. Saya menemukan banyak pelajaran menjadi orangtua yang baik dari gambaran perilaku Mamak. Ketegasannya, kelembutannya, cara dia mengajarkan konsekuensi pada anak …. dan satu lagi : caranya mengajarkan kemandirian.

Kemandirian. Di jaman ini, konon adalah sebuah harta yang cukup mahal, karena semakin sulit ditemukan pada anak-anak kita. Banyak faktornya. Sosial ekonomi yang baik sehingga ada bibi atau teteh atau mbak yang membantu. Kalaupun tak ada, rasa tak tega seorang ibu mengingat beban anak di sekolah sudah cukup berat, membuat ibu tak tega menuntut kemandirian dari anak-anaknya.

Coba saja… cung-ngacung ibu yang memberikan tanggung jawab nyuci dan nyetrika seragam sendiri buat anaknya yang udah kelas 6 ! Padahal Eliana, sang kakak sulung di kisah ini, sejak SD sudah bertanggung jawab mengurus urusan rumah sendirian, karena Mamak harus bekerja.

Saya jadi ingat…setelah kami (saya dan Azka) baca buku itu, saya bilang ke Azka, “tuh Ka….Eliana tuh sebesar Kaka loh, kelas 6. Tapi dia bertugas ngurus semua pekerjaan rumah loh…masak, nyetrika…berarti Kaka juga harusnya bisa kayak gitu” … jawabannya di luar perkiraan saya. Tadinya saya mengira dia akan jawab “beda jaman”. Tapi jawabannya ternyata begini: “ya beda atuh bu….Eliana tuh pulangnya siang… kalau kaka, jam 4. Eliana tuh gak bimbel..Kaka bimbel…” katanya haha….

Yups, kondisi saya yang terbatas tanpa pembantu menginap, membuat saya beberapa kali menerapkan aturan kemandirian. Umar, setiap wiken saya tugaskan mencuci. Selain itu kalau ada bahan masakan yang kurang,misalnya minyak, atau terigu, atau apa gitu,,,,saya tak segan menyuruhnya ke warung. Azka, tugas rutin hariannya adalah masak nasi dan pesen air galon kalau abis. Selain itu, selalu saya minta bantu masak. Beberapa gorengan seperti tempe tepung goreng, biasanya saya suruh kerjakan dari awal sampai akhir. Begitu juga Umar. Kalau mereka pengen cemilan misalnya pisang aroma, atau bola-bola coklat, atau macaroni schutel, saya siapin aja bahan-bahannya. Saya minta Azka memanage adik-adiknya sesuai kemampuan mereka. Jangan tanya bagaimana bentuk dan hasilnya. Tapi its oke. Toh, merek atetap menikmati dan bangga dengan “hasil karya” mereka. Hana si TK B, sudah biasa membuat teh manis sendiri. Umar sudah biasa membuatkan susu untuk Azzam. Kalau pas mereka libur sedangkan saya bekerja, saya minta mereka goreng telor atau ayam sendiri untuk makan siang mereka.

Saya setuju dengan Mamak…  jadi apapun mereka nantinya, keterampilan dasar kemandirian itu harus mereka miliki, terutama menurut saya adalah KEPEDULIAN terhadap kondisi lingkungan dan PENGHAYATAN TERHADAP PROSES. Saya paling gak suka kalau saya riweuh, anak-anak enaaaak aja nonton TV. Bisa, saya bisa bereskan semuanya sendiri. Tapi ada satu hal yang tidak saya ajarkan kalau begitu; KEPEDULIAN. Penghayatan terhadap proses, pernah saya tulis sebagai dasar untuk menghargai.

Nah, tapi jujur aja, kadang semangat untuk konsisten mengajarkan kemandirian itu, menyurut. Misalnya kalau ngobrol sama teman, lalu teman saya berkomentar “negatif” seperti : “euleuh, kasian atuh” atau “haaa? dirimu mengizinkan Azka nyalain kompor sendiri? gak bahaya tuh?”. Komentar-komentar seperti itu, jujur menyurutkan dan membuat saya mempertanyakan, apakah langkah saya tepat? Meskipun rasanya sih, apa yang saya tuntut itu sesuai dengan kemampuan mereka dan tak membahayakan.

Tapi membaca buku serial anak Mamak, membuat saya merasa…keinginan saya sederhana, dan apa yang saya lakukan tidak salah. Yups, memang setting saya dan mamak sangat berbeda. Waktu, tempat dan kondisi. Tapi bukankah cita-cita kami sama? ingin anak-anak kami tumbuh dengan memiliki rasa tanggung jawab dan kepedulian. Dua hal yang bisa kami bekalkan karena kami sebagai orangtua tak akan bisa selalu bersama  mereka dan “melindungi” mereka seumur hidup meraka. Jadi, mungkin medianya akan berbeda. Tapi saya akan mengikuti jejak Mamak dalam mendidik kemandirian pada anak-anak mereka.

Saya juga sangat suka cara Mamak dan Bapak menumbuhkan kekuatan pada anak-anak mereka:

Eliana yang pemberani, Pukat yang jenius, Burlian yang istimewa dan Amelia yang kuat…..

Azka the reliable, Umar the explorer, Hana the resilient dan Azzam the little star …. 😉

Hana’s Story : Me, My Bike and my Father ….

monk Salah satu dari sekian banyak episode yang sangat berkesan dari serial Monk yang saya suka adalah episode yang berjudul “Mr. Monk Meets His Dad”. Dalam episode ini, dikisahkan ayah Adrian Monk, si detektif hebat itu bertemu ayahnya yang telah 40 tahun meninggalkannya. Pergulatan psikologis dirasakan oleh Monk; antara keinginan untuk membantu ayahnya yang mengalami kesulitan atau “membalas dendam” dengan “meninggalkan” ayahnya, seperti ayahnya dulu meninggalkannya. Akhirnya, hati nurani untuk membantu ayahnya yang menang, dan dalam perjalanan membantu itu ia banyak bicara dari hati ke hati dengan ayahnya. Salah satunya, ia menceritakan sakit hatinya saat teman-temannya diajarkan mengendarai sepeda oleh ayahnya, dan ia kehilangan momen itu karena ayahnya meninggalkannya. Di akhir episode, digambarkan si ayah memberikan kejutan dengan membelikan Monk sepeda, lalu mengajarkan mengendarai sepeda. Mulai dari dipegangin dari belakang, menyemangati ketika jatuh, sampai akhirnya Monk berhasil sendiri.

Yups, karena serial ini adalah serial komedi, terlihat lucu melihat si Monk dengan gaya kocaknya bersama ayahnya menjerit-jerit kegirangan saat bisa melaju dengan sepedanya. Tapi di satu sisi, saya merasakan bahwa momen sederhana dengan sepeda ini, di mata seorang anak bisa jadi adalah momen yang amat sangat spesial. Minimal buat saya.

Saya masih sangat ingat, diajarin Papa sepeda itu kelas 6. Saat saya mendapat hadiah sepeda BMX yang ukurannya lebih besar dibanding badan saya, sebagai hadiah dapet NEM tertinggi di SD. Saya masih ingat penampakan sepeda BMX hitam itu. Saya masih ingat bagaimana senangnya saya melihat Papa datang membawa sepeda itu, saya masing ingat lapangan tempat saya belajar naik sepeda, saya masih sangat ingat detil kejadian saya terjatuh, nyeri di lutut dan masih bisa merasakan desiran angin saat pertama kali saya melaju sendiri tanpa harus dipegangin. Saya masih ingat detil kejadian dan rasanya, padahal itu sudah 23 tahun lalu …. bukti bahwa pengalaman bisa bersepeda roda dua adalah pengalaman bermakna buat seorang anak…

Berbeda dengan ibunya, anak-anak saya sudah punya sepeda sendiri-sendiri sejak mereka berumur satu tahun. Momen yang paling spesial tentulah saat mereka bisa bersepeda roda dua. Azka dan Umar bisa di umur 4 tahun. Ini berkat teh Ema yang “telaten” ngajarin tiap sore. Berbeda dengan kedua kakaknya, melewati usia 4 tahun Hana belum bisa bersepeda roda dua. Tak ada yang mengajarkannya. Saya, jujur saja lebih suka beraktivitas di dalam rumah. Setiap kali Hana minta diajarin sepeda roda dua, saya mencari banyak alasan. Biasanya saya mengalihkan permintaannya dengan membolehkannya main sepeda roda dua plus roda pembantu di dalam rumah. Abahnya, hanya ada di weekend dan pasti kita keluar rumah sampai sore. Tak ada kesempatan buat mengajarkan Hana bisa sepeda roda dua.

Sampai akhirnya, beberapa bulan terakhir ini Hana merajuk terus ingin diajarkan sepeda roda dua. Maklum, di sekolahnya ada beberapa sepeda. Setiap pagi sebelum bel, beberapa anak yang sudah datang duluan asyik bersepeda roda dua. Dan kenyataan bahwa dia belum bisa, membuatnya sedih.

Beberapa minggu lalu, permintaan Hana ditanggapi serius oleh abahnya. Saya senaaaang sekali. Saya sadar betul, bahwa mengajarkan sepeda itu, butuh kesabaran luar biasa. Harus dalam kondisi emosi yang terbaik, biar respons yang kita tunjukkan untuk meng-encourage anak itu pas untuk memotivasinya. Kondisi “emosi terbaik” itu yang belum bisa saya miliki. Sedangkan kalau kita tak siap, maka bisa jadi respons kita itu membuat anak jadi mengalami pengalaman yang tak menyenangkan.

Hanya beberapa kali berlatih sama abahnya, tentu dengan membawa luka setiap pulang, Hana sudah lancar. Ternyata dia dan abahnya tampaknya punya “teori” 4 pelajaran. Pelajaran pertama adalah mengalahkan rasa takut katanya. Saya ingat, sepulang latihan hari pertama, meskipun dengan luka di kedua lututnya Hana berteriak senang…..”Bu, Kaka udah lulus pelajaran pertama”. Binar bangga, jelas tampak dari mata sipitnya. Saya lupa pelajaran kedua dan ketiga. Tapi sekarang ia sudah sampai di pelajaran ke-4, “melalui tanjakan”.

Kalau abahnya lagi di luar kota dan saya kebetulan pulang lebih awal; jam 4 sudah di rumah, beberapa kali Hana minta saya melanjutkan pelajaran bersepedanya. Namun saya selalu mencari beragam alternatif kegiatan untuk mengalihkan keinginannya. Jujur saja, saya tak bisa menjamin kalau ditemani saya, dia akan mengalami pengalaman seberkesan kalau sama abahnya.

Saya beberapa kali hana sepedamenyaksikan, itu adalah momen “privat” antara dia dan abahnya. Abahnya menjadi begitu amat sabaaaaar, dan menjelma menjadi seorang guru yang amat bijak. Menenangkan, menyemangati, mengajarkan, dengan takaran yang amat pas. Di moment itu, saya lebih ingin jadi penonton. Menyaksikan ayah dan anak itu bersama-sama tersenyum bahagia saat Hana melaju dengan sepeda roda duanya, melihat binar bangga di mata mereka, seolah-olah meneriakkan : “WE DID IT !!!”

Saya punya ribuan momen istimewa dengan Hana. Untuk yang satu ini, biarlah  menjadi momen istimewa Kaka Hana dengan abah, yang akan Kaka Hana ingat dengan detil, sampai puluhan tahun ke depan.