Hana’s Story : Me, My Bike and my Father ….

monk Salah satu dari sekian banyak episode yang sangat berkesan dari serial Monk yang saya suka adalah episode yang berjudul “Mr. Monk Meets His Dad”. Dalam episode ini, dikisahkan ayah Adrian Monk, si detektif hebat itu bertemu ayahnya yang telah 40 tahun meninggalkannya. Pergulatan psikologis dirasakan oleh Monk; antara keinginan untuk membantu ayahnya yang mengalami kesulitan atau “membalas dendam” dengan “meninggalkan” ayahnya, seperti ayahnya dulu meninggalkannya. Akhirnya, hati nurani untuk membantu ayahnya yang menang, dan dalam perjalanan membantu itu ia banyak bicara dari hati ke hati dengan ayahnya. Salah satunya, ia menceritakan sakit hatinya saat teman-temannya diajarkan mengendarai sepeda oleh ayahnya, dan ia kehilangan momen itu karena ayahnya meninggalkannya. Di akhir episode, digambarkan si ayah memberikan kejutan dengan membelikan Monk sepeda, lalu mengajarkan mengendarai sepeda. Mulai dari dipegangin dari belakang, menyemangati ketika jatuh, sampai akhirnya Monk berhasil sendiri.

Yups, karena serial ini adalah serial komedi, terlihat lucu melihat si Monk dengan gaya kocaknya bersama ayahnya menjerit-jerit kegirangan saat bisa melaju dengan sepedanya. Tapi di satu sisi, saya merasakan bahwa momen sederhana dengan sepeda ini, di mata seorang anak bisa jadi adalah momen yang amat sangat spesial. Minimal buat saya.

Saya masih sangat ingat, diajarin Papa sepeda itu kelas 6. Saat saya mendapat hadiah sepeda BMX yang ukurannya lebih besar dibanding badan saya, sebagai hadiah dapet NEM tertinggi di SD. Saya masih ingat penampakan sepeda BMX hitam itu. Saya masih ingat bagaimana senangnya saya melihat Papa datang membawa sepeda itu, saya masing ingat lapangan tempat saya belajar naik sepeda, saya masih sangat ingat detil kejadian saya terjatuh, nyeri di lutut dan masih bisa merasakan desiran angin saat pertama kali saya melaju sendiri tanpa harus dipegangin. Saya masih ingat detil kejadian dan rasanya, padahal itu sudah 23 tahun lalu …. bukti bahwa pengalaman bisa bersepeda roda dua adalah pengalaman bermakna buat seorang anak…

Berbeda dengan ibunya, anak-anak saya sudah punya sepeda sendiri-sendiri sejak mereka berumur satu tahun. Momen yang paling spesial tentulah saat mereka bisa bersepeda roda dua. Azka dan Umar bisa di umur 4 tahun. Ini berkat teh Ema yang “telaten” ngajarin tiap sore. Berbeda dengan kedua kakaknya, melewati usia 4 tahun Hana belum bisa bersepeda roda dua. Tak ada yang mengajarkannya. Saya, jujur saja lebih suka beraktivitas di dalam rumah. Setiap kali Hana minta diajarin sepeda roda dua, saya mencari banyak alasan. Biasanya saya mengalihkan permintaannya dengan membolehkannya main sepeda roda dua plus roda pembantu di dalam rumah. Abahnya, hanya ada di weekend dan pasti kita keluar rumah sampai sore. Tak ada kesempatan buat mengajarkan Hana bisa sepeda roda dua.

Sampai akhirnya, beberapa bulan terakhir ini Hana merajuk terus ingin diajarkan sepeda roda dua. Maklum, di sekolahnya ada beberapa sepeda. Setiap pagi sebelum bel, beberapa anak yang sudah datang duluan asyik bersepeda roda dua. Dan kenyataan bahwa dia belum bisa, membuatnya sedih.

Beberapa minggu lalu, permintaan Hana ditanggapi serius oleh abahnya. Saya senaaaang sekali. Saya sadar betul, bahwa mengajarkan sepeda itu, butuh kesabaran luar biasa. Harus dalam kondisi emosi yang terbaik, biar respons yang kita tunjukkan untuk meng-encourage anak itu pas untuk memotivasinya. Kondisi “emosi terbaik” itu yang belum bisa saya miliki. Sedangkan kalau kita tak siap, maka bisa jadi respons kita itu membuat anak jadi mengalami pengalaman yang tak menyenangkan.

Hanya beberapa kali berlatih sama abahnya, tentu dengan membawa luka setiap pulang, Hana sudah lancar. Ternyata dia dan abahnya tampaknya punya “teori” 4 pelajaran. Pelajaran pertama adalah mengalahkan rasa takut katanya. Saya ingat, sepulang latihan hari pertama, meskipun dengan luka di kedua lututnya Hana berteriak senang…..”Bu, Kaka udah lulus pelajaran pertama”. Binar bangga, jelas tampak dari mata sipitnya. Saya lupa pelajaran kedua dan ketiga. Tapi sekarang ia sudah sampai di pelajaran ke-4, “melalui tanjakan”.

Kalau abahnya lagi di luar kota dan saya kebetulan pulang lebih awal; jam 4 sudah di rumah, beberapa kali Hana minta saya melanjutkan pelajaran bersepedanya. Namun saya selalu mencari beragam alternatif kegiatan untuk mengalihkan keinginannya. Jujur saja, saya tak bisa menjamin kalau ditemani saya, dia akan mengalami pengalaman seberkesan kalau sama abahnya.

Saya beberapa kali hana sepedamenyaksikan, itu adalah momen “privat” antara dia dan abahnya. Abahnya menjadi begitu amat sabaaaaar, dan menjelma menjadi seorang guru yang amat bijak. Menenangkan, menyemangati, mengajarkan, dengan takaran yang amat pas. Di moment itu, saya lebih ingin jadi penonton. Menyaksikan ayah dan anak itu bersama-sama tersenyum bahagia saat Hana melaju dengan sepeda roda duanya, melihat binar bangga di mata mereka, seolah-olah meneriakkan : “WE DID IT !!!”

Saya punya ribuan momen istimewa dengan Hana. Untuk yang satu ini, biarlah  menjadi momen istimewa Kaka Hana dengan abah, yang akan Kaka Hana ingat dengan detil, sampai puluhan tahun ke depan.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: