Dulu, dulu banget, saya sangat mengagumi orang-orang yang menampilkan dirinya sebagai seorang yang “sempurna”. Hebat gituh, dalam segala hal-nya. Tak punya kekurangan. Namun seiring perjalanan waktu, beragam pengalaman saya temui, diiringi dengan pengetahuan, pemahanan dan penghayatan….. saya tak terlalu suka lagi orang yang menampilkan dirinya sebagai orang yang sempurna. Karena biasanya, orang yang menampilkan dirinya sempurna itu alternatifnya dua: (1) dia orang yang nyebelin banget, karena pada dasarnya gak demikian (2) banyak sisi diri orang tersebut yang ditutupi karena ia tak mau sisi itu terlihat oleh orang lain.
Sudah lama dan sampai sekarang saya “terpesona” oleh orang-orang yang tak sempurna. Orang-orang yang secara alami dan rendah hati mengakui kekuarangan dirinya.
Salah satu buku yang berkesan buat saya adalah buku “Even the Angel Ask”; “Bahkan Malaikat pun Bertanya”. Buku ini ditulis oleh seorang profesor matematika yang menemukan kedamaian dalam Islam melalui logika-logikanya. Buku ini bercerita mengenai penghayatannya terhadap ayat AlQur’an yang mengemukakan mengapa Allah menempatkan menusia -yang tak sempurna seperti malaikat- menjadi Khalifah di bumi ini.
Ini adalah penjelasan mengenai kesempurnaan manusia. Bahwa kesempurnaannya, bukan terletak pada diri yang hanya memiliki sisi kebaikan, tapi justru karena manusia punya sisi keburukan juga. Perjuangan mengalahkan keburukan dengan kebaikanlah yang menjadikannya sempurna.
Yups, orang-orang yang menampilkan atau merasa dirinya sempurna memang akan menyebalkan. Karena ia bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Sebaliknya pengakuan akan kelemahan diri, adalah keberanian dan kekuatan yang sejati.
Dalam peran menjadi ibu, tadinya saya berpikir bahwa kita, sebagai ibu, harus selalu bahagia, dan terlihat bahagia oleh anak-anak kita. Agar bisa menularkan kebahagiaan pada anak-anak kita. Tapi ternyata saya salah. Karena kehidupan anak-anak kita pun tak hanya akan penuh suka cita, kebahagiaan dan keberhasilan. Anak-anak kita juga akan mengalami episode kehidupan yang menyedihkan, kegagalan, penolakan, kesulitan…
Sudah lama saya meninggalkan keinginan untuk menampilkan diri sebagai ibu yang selalu kuat, tangguh, tak pernah nangis, tak pernah marah, tak pernak kesal, tak pernah cemas… selain akan membuat kita lelah dan bisa “meledak” suatu hari nanti, ada satu pelajaran yang akan dipelajari anak-anak kita dari kita kalau kita menampilkan diri kita secara alami: bahwa ibunya adalah manusia biasa, sama seperti mereka.
Itulah sebabnya saya suka sekali buku serial Franklin. Banyak kisah disana yang bisa menjadi media untuk membicarakan isu ini dengan anak-anak. Seperti buku yang berjudul “Franklin Takut Kegelapan”. Kelegaan Franklin saat ia tahu ayah-ibunya punya ketakutan juga, merupakan refleksi perasaan anak-anak kita juga, saya kira.
Menjadi ibu yang selalu “hepi”; jangan-jangan tanpa sadar membuat anak kita merasa “something wrong” kalau dia gak hepi. Menjadi ibu yang selalu berhasil, jangan-jangan membuat anak kita “I’m noone” kala mereka mengalami kegagalan.
Ada satu konsep yang diperkenalkan oleh “Madzhab” Psikologi Positif; WELLBEING. Dibahasa-Indonesiakan sebagai SEJAHTERA, meskipun menurut saya rasa bahasanya “kurang nendang’. WellBeing artinya merasa “sejahtera” entah itu dalam situasi bahagia atau sedih, saat mengalami keberhasilan atau kegagalan. Dan perasaan sejahtera ini, kalau saya boleh meminjam konsepnya Resiliensi-nya Edith Grothberg bersumber dari penghayatan bahwa AKU PUNYA potensi untuk bangkit, AKU BISA mengatasi masalah, dan AKU PUNYA ORANG YANG AKAN MEMBANTU saat aku tak bias mengatasi persoalanku sendirian. Yang sebagai muslimah, tambah stau lagi: penghayatan bahwa Allah yang maha KAsih dan Maha Sayang, tak mungkin menimpakan keburukan pada kita, karena Dia telah mengukur dengan sangat cermat, kesulitan yang kita alami masih lebih kecil dibanding potensi ynag kita miliki untuk mengatasinya.
Ibu yang wellbeing, akan menangis saat mengalami kesulitan. Tapi bukan menangis lebay. Setelah itu ia akan bangkit bergerak. Ibu yang wellbeing akan kesal dan marah, tapi kemudian ia tahu cara mengatasi kekesalan dan kemarahannya. Dan cara kita bangkit dan mengatasi kesulitan kita, itu akan jadi pelajaran yang amat berharga buat anak-anak kita.
Menjadi ibu yang wellbeing, mengajarkan anak-anak menjadi wellbeing, itulah cita-cita saya.
Recent Comments