Besok malam, tahun akan berganti lagi. 2015.
Mungkin banyak diantara kita yang menjadikan momen pergantian tahun ini sebagai momen untuk membuat Rencana. Target. Resolusi.
Ekspresinya, bisa beragam. Mungkin ada yang menuliskan dengan tinta warna-warni di “diary” atau “dreambook”nya, mungkin ada yang menempelkannya di dinding meja belajar atau meja kerjanya, mengetiknya di aplikasi gadgetnya, atau ada yang hanya menuliskannya dalam hati.
Ada yang punya rencana besar yang nyata……. Tahun depan akan jadi sarjana. Dua tahun lagi akan melamar pujaan hati. Tiga tahun lagi akan merintis usaha baru. Empat tahun lagi akan sekolah ke luar negeri. Lima tahun lagi akan punya anak. Enam tahun lagi akan naik haji. Tujuh tahun lagi mau ganti mobil. Delapan tahun lagi mau keliling Eropa. Sembilan tahun lagi mau bikin rumah yatim. Sepuluh tahun lagi mau hafal al-quran……seribu satu resolusi, rencana, cita-cita, mimpi dan harapan kita miliki.
Meskipun beragam cara dan isi rencana kita, ada satu kesamaan…. kita mengasumsikan bahwa kita akan hidup sampai saat itu.
Ya…ya…kita semua tahu… bahwa ajal, mengintai diri kita setiap saat. Dengan 3 rahasia besarnya; rahasia tempat, waktu dan cara. Ya, kita tahu. Tapi apakah kita menghayati??? Tak setiap saat kita menghayati itu. Tak setiap saat kita sadar bahwa bisa jadi, usia kita tak sampai di batas waktu yang kita tetapkan untuk resolusi kita itu.
Beberapa bulan lalu, sahabat saya wafat. Dengan sangat tiba-tiba. Belum lama saya mengenal sahabat ini. Usianya hanya terpaut 10 tahunan dari saya. Saya mengenal dan bersamanya saat menunaikan ibadah haji tahun lalu. Sebulan bersama satu kamar, lalu kemudian beberapa bulan lalu beliau pindah ke Bandung dan putrinya sekelas dengan anak saya, membuat kami sering berinteraksi. Sampai saat ini, saya masih belum percaya ia telah tiada. Saya masih ingat “rencana-rencana” yang beberapa kali kami bicarakan mengenai anak-anak kami.
Saya masih ingat di hari ketika saya mendapat kabar tiba-tiba wafatnya sahabat saya itu, adalah hari senin. Waktu saya melayat, seorang rekan kerjanya (beliau wafat saat pertemuan di tempat kerjanya) menceritakan bahwa beliau sedang dalam keadaan berpuasa. Saya merasa tertampar sekali. Saya ingat hari itu saya berniat puasa juga. Namun menjelang Dzuhur saya batalkan karena saya hanya sempat sahur sedikit dan rencananya, hari itu saya akan beraktifitas sampai sore. Ada satu pelajaran berharga hari itu. Bahwa saya “mengasumsikan” akan hidup sampai sore. Bagaiana kalau hari itu, saya yang diwafatkan? betapa iri saya pada sahabat saya itu, wafat dalam keadaan berpuasa.
Kepergiannya yang tiba-tiba, tanpa disangka oleh siapapun, mengajarkan suatu hal yang amat berharga buat saya. Bahwa “time frame” kehidupan kita, bukanlah dalam satuan puluhan tahun. Bukan dalam satuan tahun. Bukan dalam satuan bulan. Bukan satuan minggu. Hari. Jam.
Ya, kita boleh punya rencana; apa yang akan kita lakukan kalau anak-anak sudah besar. Kita boleh punya rencana sekian tahun lagi akan menyelesaikan kuliah. Kita boleh punya rencana apapun…Tapi seluruh rencana itu harus disertai dengan kesadaran bahwa bisa jadi, bisa jadi kita tak sampai di waktu itu. Lalu kalau kita belum sampai di rencana itu, bagaimana kondisi kita?
Kepergian sahabat saya yang tiba-tiba itu mengajarkan satu satu hal. Bahwa “time frame” kehidupan kita adalah per-helaan nafas. Betapa ruginya sahabat saya itu kalau Allah hanya melihat “hasil”. Anak-anaknya belum “jadi” sesuai rencannya. Tapi bukan itu yang Allah nilai bukan? tapi prosesnya.
Oleh karena itu, bagi setiap muslim….
Setiap helaan nafasnya, adalah proses. Tapi juga bisa jadi ujung perjuangannya. Setiap akhir harinya, bisa jadi proses. Tapi bisa juga jadi ujung perjuangannya. Setiap akhir bulannya, bisa jadi proses. Tapi bisa juga jadi ujung perjuangannya. Setiap akhir tahunnya, bisa jadi proses. Tapi bisa juga jadi ujung perjuangannya.
Oleh karena itu, bagi setiap muslim…
Harusnya tak ada alasan untuk menunda sedetik pun kebaikan yang ingin dilakukannya. Harusnya, tak ada kata “nanti” untuk kebaikan yang muncul dari nurani kita. Mau membantu teman. Nanti? mungkin nanti itu tak akan ada. Mau berinfaq. Nanti? mungkin nanti itu tak akan pernah ada. Mau naik haji. Nanti? tak ada yang menjamin kita akan sampai di saat “nanti” itu. Mau berbakti pada orangtua. Nanti? tak ada jaminan nanti itu kita temui.
Setiap langkah kehidupan kita, bisa jadi proses … namun bisa jadi ujung perjuangan kita. Penghayatan itu, semoga selalu menyertai langkah kita. Jangan ada kata “nanti” untuk kebaikan yang terbersit di nurani kita. Karena bisa jadi, “nanti” itu tak ada buat kita.
gambar diambil dari : http://vtcsp.blogspot.com/2007/05/time-is-running-out-to-provide-csp.html
Dec 31, 2014 @ 07:28:32
MasyaAllah… Terima kasih atas remindernya bunda