Dalam ajaran agama kita, memperhatikan, menyayangi dan merawat orangtua adalah amalan yang istimewa. Sebagai orang yang mempelajari ilmu perkembangan manusia, saya memiliki penghayatan tersendiri terhadap hal tersebut.
Berawal dari pertanyaan seorang teman tentang “puber kedua”, beberapa bulan lalu saya membaca lagi buku “Life Span Development”. Menemukan buku Karya Santrock Edisi ke-11 tahun 2006, membuat saya menyadari …sudah sangat lama saya tak membaca buku Life Span Development. Mungkin karena bidang profesi saya lebih ke anak dan kadang remaja, maka saya terus terang menjadi “lupa” bahwa perkembangan manusia itu, secara psikologis tak berhenti ketika ia berusia dewasa. Manusia, secara psikologis terus “bergerak dan berubah” sampai akhir hayatnya.
Setelah melewati masa remaja yang “heboh” itu, kita masuk ke tahap perkembangan selanjutnya yaitu masa dewasa. Masa dewasa ini terbagi menjadi 3 fase, dengan dinamika-nya masing-masing. Dewasa awal (early adulthood) kurang lebih di usia 20-40 ; Dewasa tengah/madya (middle adulthood) kurang lebih di usia 40-60 ; dan dewasa akhir (late adulthood) kurang lebih di usia 60 tahun ke atas. Secara sederhana, pembagian ini berdasarkan pada perubahan pada aspek-aspek perkembangan manusia. Fisik, kognisi, emosi dan tuntutan sosial yang dihadapi pada batas-batas usia tersebut berbeda secara signifikan. Interaksi antara perubahan dalam diri dengan perubahan yang terjadi di luar diri inilah yang menjadikan “dunia” yang dijalani oleh manusia sepanjang rentang perjalanan hidupnya, selalu dinamis.
Seringkali tanpa sadar saya berpikir bahwa setelah kita menjadi dewasa. Tak ada lagi “gejolak” psikologis yang akan kita hadapi seperti saat anak dan remaja.Kehidupan yang dijalani menjadi datar dan mapan. Ternyata saya salah. Baik secara teoretis maupun secara empiris, sepanjang manusia masih bernyawa, dinamika dan gejolak psikologis itu tetap akan dirasakannya. Misalnya saja, ada istilah “midlife crisis”. Itu adalah saat transisi ketika kita akan masuk ke tahap perkembangan dewasa tengah/madya. Secara psikologis, itu adalah masa dimana kita “resmi” menjadi “tua”. Apa tandanya? yang paling jelas adalah kondisi fisik yang mulai antiklimaks. Saat itu, katanya secara psikologis kita “menolak” untuk menjadi “tua”. Itulah sebabnya pada sebagian orang ada dorongan untuk menunjukkan “Saya masih muda kok”. Salah satunya, adalah dengan fenomena “puber kedua” tadi. Bahwa saya masih “menawan” loh, saya masih “powerfull” untuk memikat yang masih muda.
Di tahap perkembangan dewasa tengah ini, ada perubahan besar yang terjadi. Salah satunya adalah anak-anak yang menjadi sentral kehidupan, biasanya mulai meninggalkan rumah. Baik untuk sekolah, bekerja atau menikah. Bagi sebagian orang, situasi “kembali berdua” membuat kepuasan pernikahan dan kualitas hidup meningkat. Tapi menurut pengamatan kasar saya, di Indonesia tak semuanya begitu. Teori di Barat yang mengemukakan bahwa anak adalah faktor yang menurunkan kepuasan pernikahan, tak berlaku sepenuhnya di Indoensia. Justru anak sering menjadi faktor pengikat dan peningkat kepuasan pernikahan. Juga sebagai faktor peningkat kebermaknaan hidup.Tak jarang saya mendengar ungkapan kegalauan orangtua saat melepas anaknya. Ternyata, melepas anak yang selama ini menjadi sentral kehidupannya, bagi sebagian orangtua bukanlah hal yang ringan. Di tahap perkembangan ini pula, sebagian ynag bekerja mulai bersiap untuk pensiun, atau mungkin sebagian instansi sudah mem-pensiunkan di usia sebelum 60. Ternyata, bagi sebagian orang pengalaman pensiun itu adalah perubahan yang …. tidak mudah.
Saya ingat, suatu saat setelah saya mengisi sesi parenting di sebuah sekolah, beberapa ibu usia 50-60 tahunan menghampiri saya. “Neng, bisa gak suatu hari mengisi di pengajian ibu…kayaknya ibu-ibu seperti saya membutuhkan materi psikologi. Soalnya…gimana ya, kita ini kan …rasanya sudah gak berarti gitu….anak-anak udah gak butuh kita lagi, sibuk ngurus keluarga mereka sendiri…kerja udah pensiun….jadi rasanya hidup ini udah gak bermakna gitu…”. Dalam satu acara dengan kementrian tertentu, saya mendapatkan paparan bahwa para lansia, memang kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Tampaknya pemerintah tak mau “mengeluarkan biaya” untuk program-program lansia ini, karena mereka kan bukan kelompok produktif.
Nah, temans….orangtua kita, pastilah berada pada tahap perkembangan dewasa madya atau bahkan dewasa akhir. Alhamdulillah kalau mereka hidup bahagia, memiliki makna hidup yang membuat mereka masih merasa “berharga” meskipun tak ada lagi yang membutuhkan mereka: anak atau pekerjaan. Semoga mereka tetap semangat meskipun fisik mereka semakin terbatas dan kesehatan mereka semakin menurun.
Namun mungkin, sebagian orangtua kita tengah “bergumul” dengan beragam persoalan psikologisnya. Kebermaknaan diri. Baik intensitasnya ringan maupun berat.Pasti mereka tak akan minta kita sms atau menelpon mereka tiap minggu. Pasti mereka tak minta perhatian dari kita.
Namun perhatian kecil kita; menelpon, mengirimi makanan kesukaan, mendengarkan keluhan, atau sekadar menceritakan tingkah polah si cucu, mungkin bermakna besar bagi mereka.
Mungkin kita melihat orangtua kita banyak melakukan “hal yang gak penting” atau “hal kecil” . Tapi bisa jadi, kegiatan itu adalah hal penting dan hal besar untuk menjaga kestabilan psikologis mereka.
Mungkin, aktifitas pekerjaan dan rumah tangga menyita waktu, tenaga dan emosi kita. Dengan alasan itulah kita tanpa sadar “memutuskan” ikatan psikologis kita dengan orangtua. Mereka hanya ada di pikiran dan hati kita saat hari-hari perayaan besar. Mungkin kita sering menganggap mereka adalah “orangtua yang tak punya lagi gejolak psikologis”. Padahal sebenarnya mungkin tidak.
Kita harus cari cara untuk tetap membangun ikatan psikologis dengan mereka. Caranya? setiap orang berbeda. Unik. Dengan kebiasaan dan pengalaman berkesannya masing-masing. Mendoakan mereka setiap habis shalat sambil membayangkan wajah mereka, adalah salah satu caranya. Meminta doa mereka, adalah cara lainnya. Tak hanya membuat mereka merasa berarti, namun doa mereka memang berarti. Tak hanya membuat mereka merasa dibutuhkan, tapi kita memang membutuhkannya.
Sssttt…khusus buat para istri, biasanya bapak-bapak lebih lupa sama orangtuanya. Kita yang harus ingatkan dan lakukan #self reminder.
Kalau dulu mereka menjaga kita secara psikologis, maka kini saatnya kita menjaga mereka agar selalu sejahtera psikologisnya.
Sumber gambar : http://www.friendsstatus.com/love-your-parents-we-often-forget-best-quotes-for-parents/
Apr 11, 2016 @ 12:26:49
jazakillah khayran tulisannya mbak. benar-benar menyentuh dan membuat saya tersadarkan bahwa selama ini saya sudah “melupakan” orang tua karena fikiran terkuras kepada bagaimana mewujudkan keluarga samara bersama suami, bagaimana menjadi orang tua yg baik bagi anak-anak, namun lupa cara menjadi anak yg shalih bagi kedua orang tua. karena tulisan mbak, saya ingin merubah sikap mbak.