Pencitraan : Siapa yang melakukannya?

Wasat_Theatre_Masks_clip_art_hightBeberapa tahun terakhir ini, kata pencitraan begitu akrab di telinga kita. Dalam konteks politik. Karena saya tak paham tentang politik, bukan itu yang akan saya ungkap.

Dalam tataran individual, sebenarnya….setiap dari kita melakukan pencitraan. Meskipun tujuannya bukan dalam konteks politik. Entahlah tujuannya untuk apa. Tapi kalau kita amati, setiap orang, dengan caranya masing-masing, dengan intensitas yang berbeda, pada dasarnya melakukan pencitraan. Termasuk diri kita sendiri. Upaya pencitraan itu seperti “insting” dalam diri kita.

“Citra” yang coba diwujudkan sesuai dengan “value” pribadi masing-masing. Tergantung apa yang dianggap paling “bernilai” bagi dirinya. Bagi yang menganggap yang bernilai itu adalah  kekayaan, maka ia berusaha mencitrakan dirinya kaya. Bagi yang memandang bahwa yang berharga itu  adalah kepintaran, citra itu yang berusaha diwujudkannya. Bagi yang menganggap cantik itu berharga, citra itu yang berusaha ditampilkannya. Terus demikian untuk beragam “nilai” lainnya: kesholehan, kerendahan hati, kebahagiaan keluarga, kebijaksanaan….

Intensitasnya…beragam. Ada yang antara langit dan bumi apa yang ia citrakan dengan diri yang sesungguhnya. Mencitrakan diri sebagai orang yang lembut, penyayang, padahal sesungguhnya ringan tangan dan mudah memaki. Tapi ada juga yang kerja keras mencitrakan sesuatu yang memang melekat pada dirinya. Misalnya ada orang yang pinter banget, sudah mencapai tangga tertinggi dalam penghargaan akademis, tapi tetap mengerahkan upaya untuk mencitrakan dirinya cerdas dan intelek.

Tingkat keberhasilannya…. karena kini ada beragam cara dan metode pencitraan, maka seringkali upaya pencitraan yang dilakukan seseorang itu berhasil. Ia mendapatkan penilaian dari orang lain persis, atau bahkan melebihi apa yang ia harapkan. Kalau tujuan pencitraannya mendapatkan kata HEBAT! mudah sekali sekarang orang mendapatkan pujian HEBAT BANGET!

Lalu, setelah tujuan pencitraannya tercapai, SO WHAT??? Setelah puja puji kita dapatkan, setelah tepuk tangan dan decak kekaguman orang lain akrab bagi kita, lalu apa?

Saya ingat percakapan saya 15 tahunan silam di sebuah kamar kost di Jatinangor, dengan seorang sahabat saya. Waktu itu kami sedang membicarakan visi, misi, impian dan cita-cita kami. Waktu itu kami membayangkan…15 tahun dari saat itu, kami ingin seperti apa. Waktu itu saya memulai menceritakan impian saya dengan mengatakan: “15 tahun dari sekarang, aku mau orang melihat aku sebagai seorang  …. bla..bla..bla…” . Sahabat saya memulai impiannya dengan mengatakan : ” 15 tahun dari sekarang, gue mau jadi seorang … bla…bla..ba…”. Karena perbedaan awal kalimat itu, lalu kami pun “berdebat”. Saya berargumen bahwa redaksi dua awal kalimat itu sama. Sahabat saya bilang, beda. “Kalau kita bilang aku mau orang melihat aku sebagai ABC, itu gak berarti bahwa kita ABC Fit…” begitu argumen sahabat saya. “Nah, sekarang, lo mau orang ngeliat lo ABC, atau lo mau ABC”.

Belasan tahun kemudian, saya harus mengakui argumen sahabat saya itu benar. Orang melihat kita pintar, belum tentu kita pintar. Orang melihat kita sholeh, beda dengan kita sholeh. Orang menilai kita bahagia, tak sama dengan kita bahagia. Apa yang orang lihat dari kita, bisa jadi beda dengan diri kita yang sesungguhnya. Mengapa? karena itu tadi. Karena sudah menjadi “insting” bagi kita untuk melakukan pencitraan. Entah itu caranya vulgar atau halus, entah itu disadari sepenuhnya atau sudah direm sekuatnya.

Beberapa waktu yang lalu saya bertemu seseorang. Bagi saya, ia sudah begitu “sempurna”. Semua orang yang mengenalnya, mengenal kebaikannya. Saat itu, ia berada di akhir masa hidupnya. Ia berkata pada saya, bahwa ia resah. Saya bilang, kenapa resah….bukankah semua yang mengenalnya, mengenal ia dengan penilaian yang baik. Ia berkata: “Ya, di mata orang saya baik. tak diragukan lagi. Tapi apakah saya memang benar sebaik yang dikatakan orang-orang? saya khawatir Allah tak melihat saya seperti orang lain menilai saya selama ini”. Begitu kurang lebih pembicaraan kami. Saya tak bisa menjawab pertanyannya. Hanya Allah dan hati nuraninya yang bisa menjawabnya.

Ya, kalau kita punya kesempatan untuk merenung di akhir sisa waktu kehidupan kita, kita akan bisa merasakan apakah hati kita hampa dan menganga di tengah puja-puji orang lain, karena kita tahu bahwa citra kita tidaklah seperti yang disangak orang lain, atau hati kita lapang dan penuh. Oleh penghayatan diri. Dengan atau tanpa decak kagum orang lain.

Ya, kalau kini kita masih punya segudang energi, jangan habiskan untuk menunjukkan pada dunia siapa kita. Arahkanlah untuk menumbuhkan keteguhan dalam hati kita.

Bukan dunia yang harus kau yakinkan kawan, tapi nuranimu yang perlu kau teguhkan ….

Jangan pedulikan puja-puji dan tepuk tangan dari orang lain. Apakah itu artinya lebih baik kita tak berbuat apa-apa? tak menjadi apa-apa? bukan. Produktiflah. Berkarya-lah. Menjadi kaya-lah. Tangguh-lah. Hebat-lah. Tapi dengan rendah hati. Puja-puji yang tepuk tangan yang kita dapatkan, jadikanlah figuran. Jangan jadikan pemeran utama yang kita masukkan dalam hati.

Hanya penilaian Allah lah yang perlu kita pedulikan. Bukan yang lain.

Sumber gambar: http://blogs.psychcentral.com/life-goals/2014/08/the-comedic-mask-of-depression/