Kurang lebih dua minggu yang lalu, saya membuat survey sederhana pada teman-teman saya, para ibu. Pertanyaan dalam survey itu adalah; “sebutkan 5 kualitas/keterampilan/kemampuan yang ingin dimiliki oleh anak kita melalui pengasuhan yang kita lakukan pada mereka, 1-5 sifatnya adalah ranking”. Ada yang menarik dari jawaban yang saya terima dan saya catat. Dua nomor pertama yang dituliskan oleh ibu-ibu yang menjawab pertanyaan tersebut, adalah dua hal yang terkait dengan nilai agama. Misalnya “religius, spiritual, tauhid yang kuat, berakhlak mulia,sholeh/sholehah”.
Tulisan ini berisi renungan saya terhadap pertanyaan itu. Tepatnya, renungan saya terhadap jawaban para ibu dari pertanyaan itu. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang teman saya, seharusnya tahap selanjutnya saya memberikan pertanyaan : “apa yang dimaksud dengan religius, spiritual, tauhid yang kuat, berakhlak mulia, sholeh/sholehah itu?” Tapi saya belum melakukannya. Saya baru melakukannya pada diri saya sendiri, saya ajukan pertanyaan tersebut pada diri saya, dan berusaha menjawabnya.
Saya “sok tahu” membayangkan bahwa jawaban terhadap pertanyaan “bagaimana gambaran operasionalisasi dari anak yang religius, spiritual, tauhid yang kuat, berakhlak mulia, sholeh/sholehah” itu adalah …. segala kualitas yang baik. Tapi saya lebih tertarik pada pertanyaan selanjutnya: “bagaimana cara kita mengasuh anak kita, hingga tujuan tersebut tercapai?”
Ini adalah BIG QUESTION saya selama ini. Bagaimana mengajarkan AGAMA pada anak-anak kita. Menurut saya, kita harus punya blueprint ini. Ada banyak teori dan saran, baik itu yang sifatnya abstrak maupun teknis. Tapi rasanya buat saya belum memuaskan. Entah terlalu abstrak misalnya “mengajarkan anak mengenal Tuhannya”, ataupun menimbulkan pertanyaan yang belum terjawab. Misalnya : jumlah jam pelajaran agama di sekolah harus ditambah. Memasukkan ke lingkungan yang kondusif terutama pesantren. Atau orangtua harus jadi tauladan. Atau membuat anak menjadi penghafal AlQur’an. Oke….apa itu cukup????
Sedangkan pelajaran AGAMA ini adalah pelajaran yang ….orang-orang pendidikan atau orang training pasti tahu, betapa kompleksnya tujuan pembelajaran agama ini. Apakah bisa kita mencapai tujuan pembelajaran agama ini hanya dengan memberikan contoh atau memberikan jumlah jam pelajaran agama yang banyak? atau dengan memasukkan anak ke pesantren yang super oke?
Kalau kita tak bisa menghayati betapa kompleksnya tujuan pembelajaran AGAMA ini, bagaimana kita bisa mendesain bagaimana cara mengajarkannya? Saya mencoba menjawab wara-wiri di pikiran saya tersebut dengan pendekatan tujuan pembelajaran. Teman-teman yang bergelut di dunia pendidikan pasti tahu bahwa ada sebuah taxonomi yang sangat populer digunakan dalam merumuskan tujuan pembelajaran dan cara mencapainya, yaitu Taxonomi yang disusun oleh Benjamin Bloom dan rekan-rekannya. Dikenal dengan “Taxonomi Bloom”.
Taxonomi Bloom menguraikan klasifikasi tujuan pendidikan. Ada 3 domain yang beliau jelaskan: Domain Pikir (Cognitive), Domain Rasa (Affective), dan Domain gerak (Psikomotor). Dari masing-masing domain, diuraikan secara bertahap tujuan pembelajaran. Misalnya untuk domain kognitif, terdiri dari 6 tujuan : (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) pengaplikasian, (4) analisa, (5) sintesa dan (6) evaluasi (sebenarnya teori yang sekarang sudah ada revisi, namun gapapa lah kita pakai versi sebelumnya). Biasanya, tujuan pembelajaran dalam tataran kognitif disimbolkan dengan C….Misalnya kalau tujuan pembelajarannya sampai bisa mengaplikasikan, maka dituliskan C3.
Nah…kalau saya hayati, maka tujuan pembelajaran agama pada anak kita, bukan agar anak kita tahu. Bukan hanya paham. Tapi juga harus mengaplikasikan. Menganalisa. Mensintesa. Bahkan ia harus mengevaluasi situasi menggunakan prinsip ajaran agamanya dengan benar. Dulu, saya gak kebayang loh, menganalisa, mensitesa mengevaluasi ini dalam konteks pelajaran agama. Tapi sekarang, kebayang banget. Mana yang lebih baik, berprestasi dan banyak membantu sesama tapi bertato atau berjilbab tapi korupsi? Ini, menurut saya adalah sebuah pertanyaan “cerdas” yang jawabannya nanti, akan bisa menunjukkan sejauh mana kemampuan seseorang bisa menganalisa, mensintesa dan mengevaluasi situasi berdasarkan ajaran AGAMA nya, yang harus jadi WAY OF LIFE buat dia. Soal ini akan saya simpan untuk skrining calon mantu nanti haha……
Itu dari segi kognitif. Nah, sekarang….kalau tujuan pembelajaran agama itu begitu “tinggi” dan kompleksnya (C6) , gimana metoda mengajarkannya? Secara ringkas bisa dilihat di gambar di samping ini.
Inti yang ingin saya sampaikan adalah, ajaran agama tak bisa hanya diajarkan melalui satu arah. Guru agama menjelaskan. Ustadz menerangkan. Orangtua menasehati. Itu hanya akan sampai pada level pengetahuan. Atau pemahaman. Dan itu tak cukup. Tak cukup anak kita tahu, pahan, bisa mengaplikasikan….dunia yang akan ia hadapi akan semakin rumit. Ajaran agama yang kita bekalkan pada mereka harus membuat mereka bisa mengevaluasi situasi. Berapa banyak kita dengar berita anak-anak “sholeh” yang tiba-tiba berubah 180% mengikuti ajaran-ajaran yang berbeda dengan ajaran agama yang diberikan padanya? itu terjadi karena begitu ia disodorkan analogi, situasi dan komparasi, dia mudah dibelokkan. Saya ingat tausyiah seorang ulama. “agama itu hanya bisa dipahami dengan diskusi. dua arah”. Kita mau “meminta bantuan” SDIT, guru ngaji, pesantren…untuk menanamkan ajaran agama yang kuat, monggo….tapi jangan lupa cek, proses belajar yang dilakukan, akan mengantarkan anak kita sampai pada pemahaman agama tahap mana.
Jadi, mari kita kenalkan anak-anak kita dengan kewajiban berjilbab, konsep halal-haram, baik-buruk….tapi pastikan bahwa ajaran itu tak hanya sekedar pengetahuan atau pemahaman. Jangan langsung merasa anak kita tak soleh ketika ia bilang … “ngapain sih ma kita harus pake jilbab? yang penting kan berbuat baik” ; “emang kenapa sih, gak boleh pacaran? kan bisa memotivasi?”; “kenapa kita harus sodaqoh sama orang miskin, enak aja dia gak kerja terus kita kasih gitu aja”, “kok islam kejam banget, yang zina harus dilemparin batu, sampai meninggal lagi”. dll dll pertanyaan lain. Itu adalah gerbang pembuka bagi kita untuk mengajaknya mengevaluasi ajaran agama ini, hingga sampai pada kesimpulan betapa sempurnanya ajaran agama ini.
Metode pengajaran ini hanya bisa dilakukan pada orang dewasa? gak lah…memang anak-anak gak bisa melakukan analisa? hei … memisahkan mainan dan memasukkan ke tempatnya sesuai dengan jenisnya itu kemampuan analisa looh… kita tetap bisa mengajaknya diskusi mengenai masalah yang bisa mengasah kemampuan evaluasinya, tentu kasusnya yang konkrit, yang sehari-hari dia liat.
Ribet? yah….no gain without pain atuh laaaah….. dan…emang akan “memaksa” kita untuk belajar….
Nah, itu baru Kognisi. Ada satu lagi yang ingin saya ulas. Bahwa ajaran agama itu, kalau emang mau jadi WAY OF LIFE, tak hanya terkait dengan pikiran saja. Ia harus DIHAYATI. Nah, dalam istilah tujuan pembelajaran, itu namanya doamin AFFECTIVE. Tujuan pembelajaran agama dalam domain ini, adalah sampai A5. Nilai agama itu jadi KARAKTER buat dia.
Kalau tak kita sentuh domain afektif ini…ya…anak kita tahu baca qur’an itu berpahala….tapi apakah dengan itu ia otomatis akan terdorong untuk melakukannya? Ini adalah jawaban mengapa kita lihat banyak orang yang pengetahuan agamanya yahud, namun amalnya minim.
Sebenarnya, ajaran agama juga harus sampai pada domain psikomotorik. Terutama untuk yang sifatnya fiqih. Tapi jujur saja, saya kurang menguasai pemahaman terhadap domain ini.
Mmmmhhh…alhamdulillah….draft tulisan ini, yang 2 minggu nangkring di dashboard blog saya, akhirnya beres juga. Meskipun kalau saya baca lagi, belum sepenuhnya mewakili apa yang ingin saya “teriakkan”.
Saya setuju dengan kalimat di samping ini. Kita tak akan bisa mencapai sesuatu yang tak bisa kita bayangkan. Melalui tulisan ini, saya ingin mencoba memberikan bayangan, gambaran konkrit. Seberapa besar sih PR pendidikan agama buat anak-anak kita.Yang namanya “BELAJAR AGAMA” itu prosesnya harus bagaimana.
Kalau kita bisa bayangkan…kalau kita bisa hayati … maka semoga akan menggugah kesadaran kita akan konsekuensi apa yang harus kita jalani untuk mencapainya. Ya, ada faktor hidayah Allah. Tapi upaya kita sampai titik darah penghabisan, semoga menjadi jalan turunnya dan kekalnya hidayah untuk kita dan anak-anak kita. Sehingga cita-cita yang kita tuliskan, tak hanya sekedar tulisan. Nama indah yang kita sematkan pada anak-anak kita, tak hanya sekadar nama.Tapi mewujud menjadi nyata, jaminan keselamatan kita di dunia abadi nanti. Aamiin…
Jan 22, 2015 @ 04:41:37
Kompleks dan “ruwet” juga ya? Sampe skrg,saya juga kerap gelagapan kalo diajak diskusi ttg AGAMA dgn anak saya.