Apakah anak korban kekerasan seksual selalu mengalami trauma?

Beberapa bulan lalu, biro tempat saya beraktivitas menjalin kerjasama dengan sebuah lembaga yang memberikan layanan perlindungan pada anak. Kami membantu penanganan psikologis dari kasus-kasus anak yang ada. Salah satunya adalah  penanganan anak  korban (dan juga pelaku) kekerasan seksual.

Alhamdulillah di Fakultas tercinta Psikopad, kami memiliki  seorang pakar yang telah bertahun-tahun “mewakafkan dirinya” terjun di bidang ini. Maka, dua minggu yang lalu kami pun mengundang beliau untuk berbagi pengalaman. Ini adalah pertemuan pertama yang dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya untuk membahas kasus-kasus yang kami tangani. Tak hanya itu, kami pun berencana untuk membuat “sesuatu” yang bisa kami sumbangkan pada masyarakat, baik masyarakat profesional psikolog maupun masyarakat umum. Sabtu lalu, para pakar yang telah terjun di bidang pencegahan maupun penanganan masalah ini telah berkumpul dan semoga di bulan Mei, kami sudah menghasilkan “sesuatu”.

Tulisan ini adalah hasil sharing pengalaman senior saya dua minggu lalu tersebut. Fokus pembicaraan kami adalah mengenai korban dan pelaku sodomi. Menurut saya, sangat berharga untuk kita ketahui.

Profil pelaku sodomi

Pelaku sodomi, biasanya orang yang “menyenangkan”, punya kemampuan interpersonal yang baik. Makanya, biasanya orang yang dikenal oleh anak. Dan ternyata, perilaku menyodomi ini tidak ada hubungannya sama preferensi seksual pelaku loh….Jadi biasa aja si pelaku itu punya keluarga, punya anak-istri atau punya pacar wanita.

Simptom-simptom anak yang mengalami sodomi, yang biasanya orangtua tidak paham diantaranya adalah:

(1) Anak tiba-tiba/sering menggambar kemaluan

(2) Berubah dalam kata-kata; banyak mengucapkan kata-kata yang berkaitan dengan seksual ; misal: enjot-enjotan, dll. Biasanya, orangtua menganggap kata-kata itu adalah kata-kata yang lucu dari anak.

(3) Jika baru mengalami, anak akan bingung (terutama anak prasekolah dan anak usia sekolah, mereka tidak mengerti dan menjadi bingung)

(4) Jika sudah mengalami berkali-kali, anak akan menganggap itu hal yang biasa. Apalagi biasanya si pelaku memberikan “hadiah”. Mulai dari uang atau barang (misal, boleh main PS punya pelaku, dll)

Apakah anak yang menjadi korban sodomi selalu mengalami trauma?

Tidak. Nah, inilah peliknya. Seringkali “trauma” atau “ketakutan” anak korban sodomi bukan disebabkan oleh sodominya itu sendiri, melainkan disebabkan oleh tanggapan orang lain terhadap peristiwa itu. Misal: dimarahin orang tua, atau diekspose oleh media massa (hindari sejauh mungkin media massa ya…;)

Lalu kami pun berdiskusi mengenai asesmen yang bisa dilakukan untuk melihat apakah ada trauma atau tidak pada anak korban sodomi. Jika ada trauma, kami pun sharing mengenai intervensi yang bisa kami lakukan.

Jika tidak ada trauma pada anak, apakah yang harus dilakukan?

Nah, ini BIG QUESTION saya selama ini. Alhamdulillah terjawab. Jawabannya adalah …. inilah perlunya program preventif/pencegahan. Anak tetap harus “ditangani” untuk:

  • Menanamkan pengetahuan dan pemahaman bahwa ada bagian tubuhnya yang tidak boleh diraba oleh orang lain. Jika hal ini tidak ditanamkan, maka ia akan menganggap meraba atau memperlakukan orang lain seperti ia diperlakukan adalah sah dan wajar.
  • Melatih anak untuk tegas menolak jika diraba oleh orang lain di area yang sudah diajarkan tidak boleh diraba oleh orang lain
  • Menanamkan pengetahuan dan pemahaman siapa saja yang boleh membuka bajunya. Bahwa yang boleh membuka bajunya, hanya IBU dan DOKTER. AYAH tidak boleh.
  • Salah satu upaya preventif yang bisa dilakukan juga adalah, mengajarkan anak untuk tidak telanjang saat keluar kamar mandi.

nspcc_pants_eng_acrostic_white_bg_rgb_0Poin-poin diatas kita kenal sebagai “underware rules” ya… kalau untuk muslim, penanaman konsep aurat pas banget untuk issue ini.

Sudah ada video singkat yang sangat komunikatif buat anak mengenai hal ini (videonya keyyen banggets, buktinya jadi video favorit Azzam si nyaris 3 tahun hehe) … yaitu https://www.youtube.com/watch?v=5eM1U6PXyZk dan https://www.youtube.com/watch?v=oqNyOoX-4e4

Bagaimana penanganan pada pelaku?

Tak jarang pelaku sodomi adalah anak atau remaja. Dalam hal ini, perlu juga ditangani. Pada anak pelaku sodomi atau pelecehan seksual lainnya, yang “hilang” atau “lemah” dalam diri anak tersebut adalah “kontrol” dalam meregulasi kebutuhan/keinginannya, dalam hal ini kebutuhan/keinginan seksual. Maka, penanganan pada anak/remaja pelaku adalah penanaman moral/kontrol diri. Karena setiap individu tidak bisa melepaskan diri dari “potensi seksual” yang ada dalam dirinya, maka yang harus dilatih adalah, bagaimana cara mengendalikannya.Tentu hal ini tidak mudah. Tapi ini harus dilakukan, dengan berbagai tekniknya.

Upaya preventif yang bisa kita lakukan sebagai orangtua/guru adalah mengajarkan self control ini. Dua tulisan mengenai self control:  https://fitriariyanti.wordpress.com/2015/01/03/marshmallow-test-part-one-catatan-tentang-self-control/ dan https://fitriariyanti.wordpress.com/2015/01/03/marshmallow-test-part-one-catatan-tentang-self-control/

Semoga bermanfaat. Ini adalah ikhtiar yang bisa kita lakukan, disamping tentu saja harus dilengkapi oleh senjata kita yang paling ampuh : doa. Doa untuk keselamatan anak-anak kita. Dunia dan akhiratnya.

sumber gambar : http://www.communityni.org/news/children-learning-disabilities-be-taught-underwear-rule#.VO9ZEC7J3IU

Tiga puluh enam : bersiap menghadapi dua titik kritis

36Saya percaya bahwa Allah sudah menciptakan kita sedemikian rupa sehingga dengan pengetahuan, pengalaman dan penghayatan dari aktifitas kita, kita bisa sampai pada keyakinan akan keMAHAannya. Saya, banyak menghayati keMAHAan Allah lewat ilmu yang saya pelajari. Psikologi. Salah satunya adalah ilmu tentang LIFE SPAN DEVELOPMENT. Perkembangan sepanjang rentang kehidupan. Bahwa Allah membuat manusia berubah. Dari segi fisik, kemampuan berpikir, tuntutan sosial, dll seiring dengan usianya.

Kemarin, saya berusia 36 tahun. 36 tahun adalah chronological age saya. Tanpa mengurangi rasa hormat pada teman-teman yang berpendapat bahwa hari lahir bukanlah “apa-apa”, namun saya selalu menjadikan momen hari lahir sebagai salah satu momen untuk … diam sejenak. Mengkalibrasi “kompas kehidupan” yang saya jalani. Apakah masih menuju ke arah yang benar?

Mungkin banyak yang mengalami hal seperti saya, dan seperti beberapa teman saya; bahwa pertambahan usia kronologis setiap tahun, tak selalu diiringi oleh pertambahan penghayatan usia. Kadang, penghayatan dalam diri kita terhadap usia kita berubahnya tidak tiap tahun. Tapi 5 tahunan; atau lebih cepat dari satu tahun.

Tahun ini, ada satu penghayatan yang berbeda terhadap usia saya, dari tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya sudah mulai berbulan-bulan lalu. Penghayatan bahwa saya kini sudah harus “matang”. Sebenarnya dimulai dari situasi profesi sih. Beberapa bulan lalu, ada satu titik dimana saya menghayati, bahwa sudah saatnya saya “mengambil tanggung jawab yang lebih besar”. Kalau ada kasus “sulit”, sudah saatnya saya belajar menanganinya, tidak selalu merefer ke senior. Demikian juga, beberapa bulan lalu ada situasi-situasi yang membuat saya menyadari bahwa persoalan yang ada di masyarakat, itu banyaaaaaak sekali.  Penghayatan itu akhirnya membuat saya memutuskan bahwa saya, dengan semua yang saya miliki, tak hanya akan tinggal di zona nyaman saya. Saya akan memposisikan diri saya untuk ikut “berjuang”; saya tidak mau menjaga diri tetap suci dengan berdiam diri. Bahwa persoalan tak hanya bisa selesai dengan diskusi di wa atau facebook grup. Akhirnya saya mengerti mengapa beberapa senior2 saya yang “terjun ke lapangan”, saat diminta untuk mengisi acara seminar atau diskusi selalu berkata : “Masalah ini bukan untuk didiskusikan atau diseminarkan. Masalah ini untuk diselesaikan”.

Mmmmh…paragrag di atas tampak abstrak kkkk… intinya adalah, seiring dengan saya dengan usia kronologis yang bertambah, penghayatan peran saya pun berubah. Dan saya senang dengan hal itu. Menunjukkan bahwa saya bergerak. Bahwa saya hidup. Bahwa saya menentukan dengan bentuk seperti apa  saya akan menjalani “sajadah panjang” ini.Semoga perubahan ini menuju ke arah yang lebih baik, di mata Nya.

Penghayatan lainnya di usia ini adalah …. entah mengapa beberapa bulan terakhir ini saya senaaaaang sekali memperhatikan orang-orang yang usianya berada di atas usia saya. Berdasarkan pengetahuan dan pengamatan saya; setelah masa remaja, ada 2 titik kritis lagi yang akan kita hadapi sebagai individu. Usia 40-an, saat kita berpindah tahap perkembangan dari “young adult” ke “middle adult”, dan usia 65-an, saat kita pindah tahap perkembangan dari “middle adut” ke “older adult”. Meskipun teorinya dari Barat, menurut saya tidak salah kalau kita mengapresiasi kesungguhan pada “scholar” di bidang perkembangan manusia, yang menemukan hasil dan membangun teori yang bisa mengambarkan kondisi empirik, sehingga kita punya pengetahuan dan bisa bersiap.

Usia 40. Life begin at 40 kata John Lennon. Rasulullah, menjadi Rasul di usia 40 tahun. Tampaknya ada sesuatu “ayat kauniyah” Allah pada manusia di usia 40 ini. Saya membaca beberapa buku psikologi barat dan literatur islam tentang usia 40 tahun ini. Wow ! panjang lah kalau harus saya tuliskan. Mangga search sendiri … pasti akan merasa wow lah …tapi gak usah pake koproll ya ..hehe

Saking istimewanya, usia 40 tahun ini disebutkan dalam Al Qur’an :

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang tua ibu bapaknya, ibunya mengandung dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan usianya mencapai empat puluh tahun, ia berdo’a : “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat ENGKAU yang telah ENGKAU berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang ENGKAU ridhoi; berilah kebaikan kepadaku dengan memberikan kebaikan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada ENGKAU dan sesungguhnya aku termasuk orang2 yang berserah diri.”” (Al-Qur’an, Surat Al-Ahqaf, ayat 15)

Dan, 40 tahun itu, kalau saya panjang umur, adalah 4 tahun lagi ! saya sendiri menyaksikan ada yang “selamat” melewati usia ini, ada yang “tak selamat”. Dan “keberhasilan” melawati titik kritis ini, akan berpengaruh pada keberhasilannya mengatasi titik kritis selanjutnya; yaitu usia 65 tahun. Usia 65 ini, disebut sebagai usia “empty nest”. Sarang kosong. Bagi ibu bekerja, usia ini adalah usia pensiun. Bagi ibu rumah tangga, usia ini adalah usia saat anak terakhir biasanya meninggalkan rumah. Saya menyaksikan, di usia ini … saatnya kita “bertumpu” pada kekuatan diri pribadi kita. Tak ada lagi pekerjaan ataupun anak-anak yang “menyokong eksistensi” kita. Usia ini menurut penghayatan saya, adalah simulasi bahwa kita akan menghadapNya, sendirian. Tidak bisa bersandar pada siapapun. Dan saya menyaksikan, ada yang “selamat” melewati tahap ini, dan tak sedikit yang “tak selamat”.

Beberapa hari terakhir ini, diskusi saya dengan mas adalah tentang hal ini. Bahwa kami harus “menyiapkan diri” menghadapi usia 40 tahun. Yang menurut kami, adalah usia untuk “lepas landas”. Gak ada lagi acara “pencarian jati diri” dan “mencari eksistensi”. Baik secara spiritual, fisik, material, psikologis, akademis, kami harus sudah matang. Hiks…moga2 target akademis sayah tercapai ;). Saya yang juga bercerita pada mas tentang kegalauan sebagai hasil dari menyaksikan beberapa figur “hebat” dan “tangguh” yang ternyata “tak selamat” menghadapi titik kritis usia 65 tahun, membuat kami menyiapkan langkah apa yang membuat resiko “tidak selamat” itu menjadi lebih kecil.

Tak ada keraguan dari kebenaran ayat Allah yang menyatakan bahwa hidup ini, adalah ujian. Salah satu sumber ujian  itu, adalah pada perubahan dalam diri kita sendiri.

Mungkin kita tak sampai pada dua titik kritis itu. Mungkin kita akan dipanggilNya kembali sebelum usia 40 atau 65 tahun. Namun upaya kita menyiapkan diri, semoga membuat kita kembali padaNya dalam kondisi jiwa yang tenang.

Yaa Ayyatuhan Nafsul Mutmainnah, Irji’ii Ilaa Rabbiki Radhiyatan Mardhiyah, Fadkhulii fii Ibadii Wadkhulii Jannatii.” (Wahai nafsul mutmainah (jiwa yang tenang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.) #QS.Alfajri :27-30

Nostalgia 3, 6, 9, dan 12 tahun yang lalu

Pagi ini, pas saya terbangun, mamah yang lagi ada di rumah cerita kalau adik saya yang sedang “menghitung hari” untuk melahirkan putranya yang kedua di Cileungsi tadi menelpon. Katanya udah keluar lendir darah tapi gak mules. Jadi belum ke dokter. Saya langsung menelpon adik saya ….. bla..bla..bla.. “jangan berpatokan pada mules, teteh kan empat-empatnya melahirkan gak ngalamin mules di rumah”.

Abis nelpon, tiba-tiba pikiran dan perasaan saya kembali menyelami detik-detik kelahiran 4 anak saya, yang sudah lama tidak saya pikirkan dan rasakan. Hehe…sejak si bungsu lahir, saya sudah “memutuskan” : rasanya gak sanggup hamil lagi, melahirkan lagi … excitement hamil dan melahirkan sudah tak saya miliki …. Secara ikhtiar, stop 4 sajah. Makanya, meskipun si abah suka becanda : “mamah anaknya 5, emak 5, kita minimal 5 dong”… saya suka membalasnya dengan candaan juga : ” silahkan kalau mau menambah dari sumber yang lain” haha…

Tapi mengenai mules-mulesan, beneran loh, berpuluh kali baca buku kehamilan dan pernikahan, gak pernah ngalamin mules sejam sekali, setengah jam sekali, lalu teratur sekian menit sekali… di rumah. Saya masih terbayang detil kejadiannya :

18 Juni 2003. Jam 4, Saya kontrol rutin di Apotik Santi Jl. Merdeka, ke dr. Anita. Tak disangka tak dinyana, dokter bilang: “ibu, ini bayinya kecil, tapi ibu harus melahirkan sore atau malam ini. Ini rujukan ke rumah sakit”. Langsunglah saya nelpon mas, yang kebetulan saat itu sedang di luar kota. Menunggu mas datang menjemput sejam-an, sambil dagdigdug. Umur saya saat itu 24 tahun, akan melahirkan pertama kali. Akhirnya mas datang, kami pulang ke kontrakan kami di Tubagus, lalu berusaha tenang…mandi (seperti yang saya baca di buku), lalu shalat maghrib berjamaah, dan mengingat kata-kata “melahirkan itu bagai hidup dan mati” maka saya sudah bersiap andai itu sholat terakhir saya. Singkat kata singkat cerita, prosesnya dua jam, pake induksi, menjelang tengah malam lahirlah putri pertama kami: 2,4 kg, Azka Rahima. Saat itu saya masih berstatus mahasiswi program profesi psikolog UNPAD 😉

10 Maret 2006. Jam 4, Saya kontrol rutin di Apotik Alkautsar, deket jl. Belitung. Ke dr. Setyorini. Si abah lagi rapat di kantornya di Tubagus Ismail. Masuk, periksa dalem, tak disangka dokternya bilang: “Ibu, ini udah bukaan 6. Ibu gak merasa? harus langsung ke rumah sakit ya bu, gak boleh pulang dulu”. Haaaa? Langsung nelpon si abah yang terkaget-kaget. “Serius? sekarang?” . Singkat kata singkat cerita, prosesnya sejam dengan diiringi pertanyaan heran dari para suster : “Ibu, beneran gak sakit? ini udah bukaan 7 loh….ini bukaan 8 loh….bukaan 9 bu….serius gak sakit?” saya menggeleng. Bahkan sempet terima telpon dari temen yang saya jawab “bentar ya, gue mau melahirkan dulu”. Ah, Umar Abdurrahman. Memang spesial sejak saat dilahirkan. 3,0 kg jam 8 malam. Saat itu saya berstatus PNS dosen dengan masa kerja 3 bulan di Fakultas Psikologi UNPAD, berusia 27 tahun  😉

27 Juli 2009. Saya ingat kata-kata dokter seminggu lalu: Tanggal 27, harus ke rumah sakit. Mules atau gak mules. Eeeh…dr Anita, di RSIA Hermina,  yang mengatakan hal tersebut, lagi keluar kota. Tapi ditelpon, keputusannya tetap. Jadilah saya “honeymoon” berdua si abah di Hotel Hermina 2 hari, sampai tgl 29 Juli dini hari, ketika si mules mulai terasa. 2 jam yang rasanya panjang. Menjelang subuh, lahirlah Aisha Hanadia Rahima, 2,7 kg. Saat itu saya adalah mahasiswa magister Klinis Anak Fapsi UNPAD, berumur 30 tahun 😉

31 Maret 2012. Hari Sabtu, setelah pembagian raport kami akan ke Pizza Hut merayakan nilai-nilai Azka Umar yang bagus. Tapi jadwal kontrol. Jadi ke rumah sakit Emma dulu, periksa ke dr. Setyorini. Periksa, belum saatnya melahirkan. Trus saya yang bawel bilang gini : “saya tuh gak pernah ngerasain mules di rumah dok, bla..bla..bla..saya ceritain tuh 3 cerita di atas. Yang kedua malah sama dokter dulu diperiksa udah bukaan 6 saya gak ngerasa apa-apa dok…” mendengar itu si dokter bilang :“oh gitu? ya udah atuh sekarang periksa dalam”. Hasilnya : “Oh iya bu…ini udah bukaan empat..langsung masuk kamar ya bu” … menjelang isya, lahirlah si bungsu, 3,3 kilo. Saat itu saya PNS dosen dengan masa kerja 7 tahun haha…..Azzam Abdurrahman.

Saat-saat melahirkan adalah saat-saat istimewa. Dimana segala ketakutan berbaur dengan segala harapan dan kebahagiaan. Dan yang membuat saat-saat itu lebih istimewa, selalu ada seorang yang menemani saya. Yang mengelus-elus kepala saya saat rasa sakit tak tertahankan, sambil mulutnya mengucap doa. Kalau kontraksi sudah begitu intens, selalu ada momen saya menatapnya sambil bercucuran air mata menahan sakit, dan ia balik menatap saya sambil memegang tangan saya, memeluk saya dan mengusap-usap kepala saya. Dia adalah belahan jiwa yang tak pernah mengucap kata cinta, tapi cintanya begitu terasa.

I love you all…

Ah, sudah saatnya ke pasar …. mareeee