Hari ini, ada kejadian yang mengingatkan saya pada dua orang. Saya akan ceritakan dulu siapa dua orang ini.
Yang pertama adalah seorang ibu, berusia 57 tahun. Beliau bercerita tentang sakit hati yang mendalam atas perilaku anak-anaknya yang “sangat keterlaluan” padanya. Saya ingat beliau, karena itu pengalaman pertama saya bertemu seorang ibu yang “sakit hati” dan “marah” pada anak-anaknya. Saya sudah terbiasa bertemu dengan anak, entah itu usia anak, remaja atau dewasa; yang marah, sakit hati, benci pada orangtuanya, pada ibunya. Kenapa ibu itu saya ingat? karena saat itulah saya menghayati….bener banget ajaran agama yang memberikan tempat mulia bagi seorang ibu. Sampai syurga pun ada di telapak kakinya. Karena bagi seorang ibu, sebenci-bencinya ia pada anaknya, sesakit hati apapun, semarah-marahnya, namun balutan rasa sayang itu, tak pernah lepas. Saya sering mendengar seorang anak yang ingin pergi meninggalkan orangtuanya, meninggalkan ibunya… baik secara fisik maupun psikologis. Dan itu bisa. Banyak yang telah melakukannya. Dan secara “teknis”, itu membuat persoalan yang dihayati anak menjadi lebih mudah. Saya benci ibu saya, saya ingin lari dan pergi dari keluarga saya. Tapi kemarahan dan ke-sakit hati-an seorang ibu terhadap anaknya, merupakan masalah yang amat rumit. Kenapa? karena meskipun bisa dan sangat bisa, seorang ibu tak akan mau meninggalkan anaknya. Meskipun anak-anaknya sudah besar, sudah dewasa…namun baik secara fisik terutama secara psikologis, seorang ibu tak akan pernah bisa “meninggalkan” anaknya. Ini yang membuat masalah menjadi rumit. Karena kemarahan dan rasa sakita hati yang dirasakan ibu tak meluruhkan rasa sayang dan ingin melindungi anaknya.
Yang kedua adalah ibu dari seorang remaja. Anaknya kelas 2 SMA. Suatu saat, saya yang sedang “berguru” menjadi ibu dari seorang remaja mengobrol dengannya. Dia menceritakan bahwa anaknya punya hobi yang sesungguhnya sangat tidak ia sukai. “Tapi saya engga melarangnya. Karena saya tahu, segitu sukanya dia sama hobinya itu, dia tidak akan menuruti kata-kata saya kalaupun saya melarangnya. Nah, kalau kejadian kayak gitu kan dia jadi berdosa melawan ibunya”. Jujur saja, saat itu saya gak ngerti. Logika yang aneh menurut saya.
Tapi kejadian dini hari ini, membuat saya menjadi mengerti.
Dini hari tadi, setelah Azka selesai sholat dan sahur, saya meminta dia membantu pekerjaan saya. Ringan sekali. Hanya mengecek dan merapikan berkas. Tapi saya sangat membutuhkan bantuannya. “Sekalian biar gak ketiduran sampai Subuh” kata saya. Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali, saya panggil … dia tak keluar dari kamarnya. Akhirnya setelah saya datangi ke kamarnya, dia mau, dengan wajah dan sikap ogah-ogahan yang secara demontratif dia tunjukkan. Sikapnya itu membuat saya murka. Gabungan dari kesal, marah, sedih, kecewa, butuh bantuan, merasa dia tidak peduli pada kondisi saya, membuat saya murka. Seperti yang saya katakan padanya, “Ibu gak akan minta bantuan kalau ibu bisa kerjain ini sendiri”.
Campur aduk perasaan negatif tersebut membuat saya menangis, dan tentunya Azka juga. Saya tahu dia sangat kesal, benci, marah sama saya. Saya juga merasakan hal yang sama. Dalam pikiran saya, saya ingin mengatakan betapa “keterlaluannya” dia. Dimintain bantuan gitu aja gak mau. Lalu satu bagian diri saya ingin mengatakan semua pengorbanan yang telah saya lakukan buat dia. Sejak duluuuuuu sampai dengan hari kemarin. Tapi saya tahu, saya tidak boleh mengatakannya. Itu akan menimbulkan yang namanya “psychological destructive” . Kalau saya mengatakan pengorbanan saya untuk dia, pengorbanan ibu pada anaknya, Saya akan menghancurkannya secara psikologis. Dan dampaknya akan dalam.
Saat saya masih menangis karena marah, sedih, kesal, kecewa dan campur aduk perasaan negatif itu, tiba-tiba muncullah rasa takut. Takut kalau kekesalan dan kemarahan saya padanya membuat ia mendapatkan hal buruk, tak diberkahi Allah…dicatat sebagai dosa pada ibu, apalagi dia sudah baligh.
Saya masih mendengar tangisannya di kamar. Sebagai manusia, individu, saya juga masih marah. Tapi sebagai seorang ibu, jauh di lubuk hati saya, saya mendoakannya. Saya memaafkannya.
Sebagai manusia, sebagai individu, sampai saat ini saya masih marah, masih kesal. Mungkin sampai sore dia pulang pun kemarahan saya masih tersisa. Tapi sebagai ibu, saya titipkan makanan dan minuman kesukaannya ke sopir yang akan menjemputnya nanti sore dari sekolah, dan langsung mengantarnya ke tempat les. Pulang les dia jam setengah tujuh, berarti dia akan buka puasa di jalan.
Kalau teringat kejadian tadi, saya masih menangis. Saya paham sekarang. Saya paham perasan dua ibu yang saya ceritakan. Saya pun mengerti makna Rahim. Saya mengerti seberapa besar cinta ibu. Saya mengerti seberapa besar cintaNYa.
Hari ini saya mendapat pelajaran istimewa.
Recent Comments