Ridho Suami Dalam Pandangan Psikologi

Dalam Islam, salah satu syarat mutlak bagi istri bekerja adalah, RIDHO SUAMI. Bagi sebagian wanita, hal ini dipandang sebagai aturan yang “merendahkan” wanita. Mengapa kalau mau bekerja, istri harus atas seizin suami namun mengapa tak ada aturan sebaliknya? Saya bisa memahami argumen ini. Berdasarkan asumsi bahwa wanita dan laki-laki itu adalah SAMA dan harus DIPERLAKUKAN SAMA, maka pendapat “merendahkan wanita” ini menjadi logis. Apakah itu berarti bahwa saya juga setuju terhadap pendapat ini? tidak, saya tidak setuju. Saya tidak setuju karena value saya saya berbeda. Dengan demikian, asumsi nya pun menjadi berbeda. Sebagai seorang muslimah, value saya adalah ajaran agama saya.

Meskipun semakin hari semakin kuat keputusan saya untuk “menjalani sajadah panjang” kehidupan ini dengan beraktifitas profesional di luar rumah, namun justru ada kekhawatiran bahwa keputusan ini didasarkan atas “buta mata” tanpa mempertimbangkan berbagai hal yang harus dipertimbangkan. Meskipun ustadz yang saya jadikan rujukan tidak mempermasalahkan seorang wanita untuk bekerja saat pekerjaannya syar’i dan mendapat ridho suami, namun untuk meyakinkan hati, saya pun meminta “second opinion” dari ustadz lain.  Beliau adalah pembimbing saya waktu ke tanah suci. Expertisenya di bidang fiqih, beliau adalah ketua dewan fiqih sebuah pesantren terkenal di Bandung. Saya senang berkonsultasi dengan beliau karena selalu cepat balasannya. Karena memang keterampilan interpersonal beliau baik sekali, maka sesibuk apapun beliau, kalau kita berkonsultasi beliau prioritaskan untuk menjawabnya. Saya kontak beliau via bbm. Berikut percakapan kami :

S : “ustadz, apakah ada ayat al Qur’an atau hadits yang eksplisit mengatakan bahwa wanita itu sebaiknya tinggal di rumah?”// U : “sebaiknya demikian jika ada fitnah” // S : “apa saja yang termasuk fitnah ustadz?”//U : “godaan pria-wanita, kemaksiatan” // S : “berarti kalau pekerjaannya jauh dari maksiat, terhindar dari godaan pria wanita dan diridhoi suami, tidak berdosa jika wanita bekerja/beraktivitas di luar rumah ya ustadz?” //U : “Ya, engga apa-apa”

Noted. Rambu-rambunya Clear.

Saya juga berkali-kali bertanya pada mas, apakah ia ridho kalau saya memilih untuk berkarya di luar rumah. Beberapa kali pertanyaan saya tetap dijawab sama. Mas ridho dengan catatan, keluarga terutama anak-anak menjadi prioritas.

Jujur saja, saya setuju kalau menjadi ibu bekerja itu, BEURAT. Kenapa? karena pengamatan maupun hasil penelitian bahkan di negara-negara Barat yang memandang pria-wanita itu SETARA, seorang ibu bekerja tidak akan terlepas dari tanggung jawab domestiknya. Potensi sumber stressornya menjadi dobel. Satu urusan domestik. Menjamin kelangsungan hidup fisik dan psikologis anggota keluarganya terpenuhi, PLUS menjalankan tugas pekerjaannya. Pekerjaannya itu sendiri sih, mungkin gak terlalu jadi stressor ya…saya melihat banyak wanita bekerja yang memang mencintai pekerjaannya. Saya pernah membaca jurnal bahwa stressor pekerjaan, itu adalah stressor yang konstruktif. Yups, memang hectic kalau udah dikepung deadline. Namun ketika sudah melewatinya, perasaan “I did it!” itu, meningkatkan self esteem wanita bekrja. Yang jadi sumber stressor yang destruktif biasanya relasi. Bos yang nyebelin, teman kerja yang kurang ajar, klien yang neko-neko, gitu-gitu deh….

Dan….seorang wanita bekerja pasti merasakan saat-saat “menyebalkan” dan “tertekan” oleh pekerjaannya. Saat pekerjaannya begitu menyita emosi dan pikiran, lalu porsi perhatian pada domestik pun tersedot. “Prioritaskan keluarga” …. menjadi jargon yang pada kenyataannya, tak selalu mudah untuk dilaksanakan. Kenapa? karena pilihannya bukanlah memilih antara baik-buruk. Namun, pilihannya adalah baik-baik. Nah, disitulah mengapa Islam baru memperbolehkan istri bekerja setelah mendapat ridho dari suami.

Semester ini, saya benar-benar “tak bisa bernafas”. Apalagi dua bulan ini. Ada pekerjaan pribadi yang sudah bertahun-tahun saya kerjakan tiap bulan Februari. Sedangkan rutinitas mengajar 4 mata kuliah, 2 jabatan managerial dengan lokasi satu di bandung satu di jatinangor, bimbingan-bimbingan skripsi dan tesis….tugas-tugas kepanitiaan …kalau dulu saya termasuk yang menolak saat akan diterapkan kebijakan “office hour” untuk kami, yang artinya kami harus ngantor dari jam 9-16, kalau sekarang…saya sangat setuju !!! lha wong setiap hari faktanya gitu kok. Itu belum diitung dengan “curi-curi waktu” bimbingan pake imel. Dalam situasi itu, tak kuasa juga menolak beberapa kelompok mahasiswa yang dengan ide-ide brilian mereka minta dibimbing untuk bikin paper yang akan dipresentasikan di konferensi di luar negeri.

Ssssst….sebenarnya, beban ini standard sih, bahkan teman-teman saya, banyak yang bebannya lebih berat. Cuman buat saya pribadi, menjadi ibu 4 anak tanpa pembantu nginep itu…bikin bebannya dua kali lipat. Apalagi si sulung dan si bungsu, sedang berada dalam tahap perkembangan yang “sulit”. Satunya remaja, satunya “terrible two”. Dengan karakteristik egosentris yang amaaaaat menonjol.

Saya sudah komitmen bahwa dengan beban yang padat, saya gak mau bawa kerjaan ke rumah, dan sabtu minggu saya gak mau diganggu kerjaan. Cuman itu tadi… minggu lalu, saya terpaksa harus melanggar komitmen. Dua hari berturut-turut saya pulang lewat maghrib, karena saya sudah konfirmasi mas bisa ada di rumah sebelum maghrib. Minggu lalu kami memberikan training 10 hari pada 12 siswa terbaik dari sebuah kabupaten tertinggal yang akan mendapatkan beasiswa. Tadinya sudah berniat potong materi biar sebelum maghrib udah di rumah. Tapi memandang wajah-wajah laskar pelangi yang begitu antusias dan penuh semangat itu…tak tega saya memotong materi.

Lalu sabtu minggunya, saya pun harus beraktifitas. Ada tiga acara yang harus saya ikuti. Kesemuanya adalah pekerjaan “untuk masyarakat”. Malam itu, kamis malam, dengan takut-takut saya bilang ke mas, minta izin sabtu minggu untuk beraktifitas. Takuuut banget. Karena itu berarti, mas harus asuh anak-anak terutama Hana dan Azzam. Takut banget Karena mas jarang sekali marah. Selama hampir 13 tahun bersama, belum sampai 5 kali ia marah. Kalaupun marah, itu karena ada hal yang sangat prinsip yang saya langgar. Dan harus beraktifitas sabtu minggu, rasanya termasuk pelanggaran prinsip itu. Ah, andai saja kegiatan itu bisa saya cancel atau delegasikan, tapi kegiatan ini adalah kegiatan advokasi yang penting sekali. Yang tak bisa saya delegasikan atau cancel. Akhirnya dengan ragu saya pun mengatakannya. Tanpa diduga, mas berkata : “gapapa, kan gak tiap minggu padet gini. Anak-anak biar sama aku” Ploooong….kadar stress yang tadinya udah di angka 9 menuju 10, langsung turun menuju titik nol.

Pause dulu.

Perlu saya luruskan, bahwa ilustrasi diatas bukan berarti bahwa suami saya adalah suami terbaik di dunia. Bukan berarti kalau ia tidak mengizinkan saya beraktivitas di akhir pekan artinya dia tidak baik. Itu adalah haknya. Bukan berarti bahwa suami yang lebih senang istrinya memilih sajadah panjang di rumah dan tidak mengizinkan beraktifitas di luar itu bukan suami yang baik. Cerita ini dalam konteks ridho suami terhadap istri bekerja.

Meskipun tak salah, bayangkan kalau pada saat itu mas marah dan berkata “kan sudah komit sabtu minggu tidak beraktivitas”. Bayangkan betapa besarnya konflik dan stress yang akan saya rasakan…. Nah, that’s the point. Menurut penghayatan saya, “rahasia” di balik kewajiban mendapatkan ridho suami bagi istri yang bekerja adalah karena operasionalisasi dari ridho suami secara psikologis adalah, adanya support dari suami. Terutama emotional support. Sudah bukan rahasia umumlah, kalau wanita itu didukung secara emosional maka ia akan mampu “menaklukkan dunia” secara hiperbolanya mah.

Sekali lagi menurut pendapat saya, seorang ibu bekerja tak mungkin sukes, bahkan tak mungkin survive tanpa ridho suaminya. Pengejawantahan Ridho dalam bahasa agama, bahasa psikologisnya adalah support. Emotional support,  informational support, technical support. Semua teman-teman saya yang berprestasi di tempat kerjanya, adalah mereka-meraka yang mendapat restu dan ridho serta dukungan dari suami-suami mereka. Timbal baliknya, Saya melihat meskipun teman-teman saya adalah istri-istri yang mandiri, beberapa memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari suaminya, bahkan secara finansial banyak yang jauh melebihi suaminya, namun meraka sangat menghargai dan menghormati suami-suaminya. Saya pun tak melihat wajah “terhina” dari para suami yang mengantar dan menunggui teman-teman saya beraktivitas sambil mengasuh anak-anaknya…malah romantis kliatannya hehe….

Yups, ternyata ajaran agama itu terbukti kebenarannya.

Saya banyak menyaksikan apa dampaknya bila seorang ibu bekerja tanpa ridho suaminya. Sangat stressfull dan mengganggu keharmonisan keluarga. Sikap suami yang tak ridho istrinya bekerja, menurut pengamatan saya bisa dalam dua bentuk:

(1) Pasif. Suami  tidak memberikan support. Liat istrinya dar-der-dor kena deadline, ia tak mau tau. Mungkin ia marah saat istrinya terlambat menyiapkan sarapan. Pokoknya seolah-olah berkata “itu urusanmu sendiri”.

(2) Aktif. Suami tidak hanya tidak memberikan support, namun juga secar aktif melakukan beragam cara untuk membuat istri MERASA BERSALAH atau BERTANGGUNG JAWAB atau masalah yang ada. Misalnya, suami sengaja bersikap permisif pada anak. Aturan istrinya tidak dipedulikan. Ketika istri protes, ia berkata “makanya, kamu jangan kerja. Kalau kamu gak kerja, aku mau ikutin aturan kamu”. Atau, saat ada masalah dengan anak, si suami berkata pada pihak ketiga : “masalah anak kan tanggungjawab ibu ya…”. Atau lebih vulgar lagi “ibunya kerja sih, coba kalau ibunya di rumah”.

Marriage is a PartnershipSekali lagi, itulah kesempurnaan ajaran agama kita. Buat ibu bekerja, tampaknya kita harus selalu evaluasi kembali “koordinat” keridhoan suami pada kita, ada di titik mana.

Tak salah sebenarnya jika seorang suami ingin seluruh potensi istrinya tercurah di dalam rumah, hanya untuknya dan anak-anaknya. Di sisi lain, tak salah juga keinginan wanita untuk berkiprah di masyarakat dengan rambu-rambu syar’i yang ia patuhi. Jika keinginan suami tak sesuai dengan kebutuhan istri, atau kebutuhan suami tak sesuai dengan keinginan istri, nah disitu potensial mengganggu keharmonisan rumah tangga. Maka, buat yang belum menikah, issue bekerja atau tidak bekerja setelah menika merupakan issue penting dan prinsip yang menurut saya harus dibicarakan saat taaruf.

 

 

 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: