Orang-orang anti mainstream : Para Penjaga Nurani

Dulu waktu saya masih muda (kkk…ngaku sekarang gak muda lagi….) sebelum menikah, bayangan saya tentang keluarga …. selain hal-hal “normatif” seperti ingin mendapatkan imam yang mumpuni, anak-anak sholih-sholihah… ingin juga punya ekonomi yang mapan….rumah bagus, mobil keyyen, liburan keluarga ke luar negeri setiap tahun ….

Yang dulu dibayangkan “nanti” itu, kini menjelma menjadi “sekarang”. Yups, alhamdulillah rejeki yang Allah berikan lewat penghasilan mas plus penghasilan saya, kian hari kian melampaui standar “cukup” menurut kami. Walaupun saya selalu ingat pesan mas : “Meskipun penghasilan kita bertambah, life style kita gak boleh ikutan berubah. Yang nambah hanya boleh dua: tabungan dan shodaqoh”; namun ya….yang namanya perasaan, masih pengen aja gitu bergaya keren membeli yang tak dibutuhkan namun diinginkan….jalan2 keluarga ke tempat keren di dalam maupun luar negeri …. kartu yang saya punya adalah : “biarin uangnya dari aku” … rasanya worthed lah, selama ini full aktivitas, kompensasinya adalah “liburan istimewa”.

Eh, tapi kenyataan berkata lain. Entah kenapa, sejak awal tahun ini saya selalu bertemu dengan orang-orang yang … “anti mainstream”. Saya akan cerita siapa orang-orang itu :

(1) Seorang senior saya, senior seusia papa saya…beliau punya beberapa kompetensi psikologis yang keren banget. Istilah kami mah “dewa” lah 😉 Kalau beliau mau, beliau bisa “pasang tarif” tinggi untuk keahliannya. Tapi apa yang terjadi? saya masih ingat waktu masih di Salman dulu, zaman saya masih mahasiswa mengundang beliau untuk mengisi salah satu seminar. Pas waktunya ngasih amplop, saya udah merasa malu banget, minta maaf beberapa kali karena yang bisa kami beri kecil sekali. Saya masih ingat jawaban beliau saat menerima amplop dari saya: “Ini saya terima ya, terima kasih. Tapi saya berikan kembali, untuk panitia”. Saya masih ingat senyumnya. Senyum yang sama ketika beberapa tahun kemudian, kami sudah jadi kolega, beliau melakukan hal yang sama setelah kami mengundangnya memberikan materi. Setiap akhir pekan, beliau yang bergabung dalam sebuah jaringan relawan; “blusukan” ke desa-desa, free of charge untuk membantu menyelesaikan masalah kdrt dan kekerasan seksual yang dialami wanita dan anak-anak. Sampai pensiunnya, beliau tetap “ngangkot” meskipun suami beliau seorang Jendral.

(2) Masih senior saya. Seusia mama saya juga. Cantik dan menarik. Saya ingat kata-kata teman saya. “Kalau beliau rajin “manggung”, pasti tenar deh”. Yups… kompetensi yang dimilikinya, plus penampilan yang mempesona meskipun usianya sudah lebih dari paruh baya, pastilah membuat orang terpana. Tapi apa yang dilakukannya? Beliau selalu menolak undangan media yang meminta beliau bicara “basa-basi” untuk satu topik. Beberapa bulan lalu, Beliau menolak “mentah-mentah” ketika kami meminta beliau berbagi mengenai satu kompetensinya, ketika tau acara itu akan kami “jual mahal” pada para profesional. “Kalau kayak gitu, aku gak mau. Yang aku mau, yuk kita bikin sesuatu untuk masyarakat. Apa produknya atau programnya, nyata. Nanti kita share ke masyarakat. Gratis. Aku gak usah dibayar” katanya.

(3) Akhirnya, saya pun bergabung dengan dua senior saya di atas dalam sebuah penyusunan program. Dalam kelompok ini, saya bertemu lagi dengan seorang senior yang tidak terlalu saya kenal. Beliau adalah seseorang yang telah mapan secara finansial di bidang industri. Suatu saat, beliau memutuskan keluar, meninggalkan tempat “basah” yang ia tempati dan lalu terjun ke dunia sosial, membantu anak-anak jalanan, anak-anak korban traffiking dan anak-anak “terpinggirkan” lainnya. Beliau juga ada dalam satu tim yang mengelola sebuah rumah belajar bagi para anak “gelandangan”.Ia dedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk itu.

(4) Beberapa waktu lalu, tempat saya beraktivitas menerima 12 “tamu istimewa”. Kami menyebut mereka “laskar pelangi”. 12 siswa SMA dari sebuah kabupaten miskin di luar pulau Jawa. Selama 10 hari, mereka kami bekali kemampuan psikologis untuk menjalani kuliah. Darimana mereka bisa kuliah? Bahkan 2 orang diantara mereka akan langsung dikirim ke Jerman? Bupatinya, seorang S2 lulusan Amerika, adalah putera daerah yang menempuh seluruh pendidikannya dengan beasiswa. Ia memperjuangkan 40% APBD mereka untuk pendidikan. Daerah mereka tak pernah “dilirik” oleh pemerintah pusat. Maka, Bapak ini lah yang berusaha menjalin kerjasama dengan berbagai pihak di luar negeri untuk memajukan pendidikan di kabupatennya. Saya mendapat cerita dari teman yang pergi kesana, dan kami berdua (saya dan teman saya yang cerita), tak bisa menahan linangan air mata. Mendengar bapak itu “blusukan” ke SD dan menemukan seorang anak yang seragamnya masih setengah kering karena ternyata ia hanya punya satu baju; ia “langsung” memesan mesin jahit dan sejumlah kain dari glodok, lalu mengajarkan keterampilan menjahit pada keluarga si anak. Kedua belas anak ini dibekali pesan oleh beliau: “satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan adalah dengan pendidikan. kita boleh miskin, tapi kita tidak boleh bermental minta-minta” ….

(5) Seorang saudara mas, rumahnya sangat sederhana untuk ukuran penghasilannya. Tapi di kalangan keluarganya, siapapun yang membutuhkan dia tolong, “tanpa tedeng aling-aling”. Berapa banyak saudara yang telah ia bebaskan utangnya.

((6) Masjid di depan komplek kami sedang dibangun. Saat panitianya ke rumah kami dan ngobrol-ngobrol, mereka bilang salah seorang tetangga komplek kami, menyumbang 100 juta !!! padahal di lingkungan kami gak ada sih, yang kaya bangeeeet. ……….

Kalau saya coba abstraksikan dari 6 orang yang saya temui beberapa bulan ini, mereka punya 1 kesamaan. eh dua deng ….. (1) mereka tak memikirkan diri sendiri (2) mereka “mewakafkan” apa yang mereka punya: harta, kemampuan untuk orang lain

Yups…..yups…. kita sudah mendengar beragam kisah sahabat yang memiliki dua sifat di atas: Abu Bakar yang “membeli” untuk membebaskan  Bilal, bahkan pernah menginfakkan seluruh hartanya. Usman membeli sumur dari orang Yahudi dengan harga sangat mahal agar kaum muslimin bisa minum gratis…. Rasulullah… menurut Ust Syafii Antonio, beliau miskin bukan karena penghasilannya kecil. Tapi karena alur hartanya bergerak sangat cepat. Cepat dikeluarkan untuk kepentingan ummat.

Yups, kita sudah hafal kisah-kisah itu. Tapi bertemu dengan orang-orang yang kita kenal, orang-orang “biasa”, membuat konsep dan nilai  itu hadir secara nyata dan ada, dan itu jauh membuat kita lebih….tertampar. Malu, dan semoga akhirnya menggerakkan. timthumb.php

No no no …. tentu tak salah kalau saya menikmati hasil jerih payah saya… toh saya tak merugikan orang lain. Tapi saya berpikir begini… di jaman sekarang ini, dimana segala keburukan : ghibah, fitnah, riya, bisa kita lakukan dengan sekali atau dua kali “klik”; maka kita butuh lingkungan kebaikan yang “extraordinary”. Dan salah satu pintu menuju itu adalah, bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang anti mainstream itu. Yang bisa memberi kita perspektif lain tentang lifestyle yang akan kita pilih.

Mereka, saya sebut “para penjaga nurani”. Mereka tak kaya harta, tapi mereka kaya hati. Di jaman ini ketika narsisisme begitu menggejala, mereka mengingatkan saya pada hadits “Khairunnas anfa’uhum linnas”, “Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga di mana pun aktifitas kita, kita bisa bertemu dengan mereka-mereka, merasa “kabita” dengan lifestyle mereka, dan semoga kiat mendapat hidayah untuk mengikutinya. Aamiin….

Mereka-mereka yang tak hanya hidup untuk diri sendiri. Salam takzim untuk para penjaga nurani. Sumber gambar : http://latinbusinesstoday.com/2014/01/5-steps-less-selfish-want/

1 Comment (+add yours?)

  1. wuryandari hadi
    Apr 02, 2015 @ 08:19:06

    Inspiratif…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: