JODOH : Takdir atau Pilihan?

bu sawApakah jodoh itu takdir atau pilihan? Pertanyaan ini diajukan oleh salah seorang jamaah MPI (Majelis Percikan Iman) di Pengajian rutinnya hari Ahad pagi. Pak Aam, atau lengkapnya Ustd Aam Amiruddin, seorang doktor bidang komunikasi yang mengasuh pengajian tersebut memberikan jawabannya.

Jawabannya menggunakan perspektif tawakkal. Bahwa jika kita mengalami keburukan dari pasangan kita, maka itu adalah TAKDIR jika kita telah berikhtiar maksimal saat proses pemilihannya.

Sebaliknya, bisa jadi keburukan itu adalah PILIHAN kita, jika sebelum kita menikah kita melihat tanda-tanda keburukan, namun tetap menikah dengannya, atau kita sama sekali tak melakukan upaya untuk mengenali calon pasangan hidup kita.

Apakah pengenalan itu = pacaran? NO. KIta tetap bisa mengenal calon pasangan dengan cara-cara yang Syar’i. Yang penting kita tahu hal-hal apa yang harus diwaspadai. Mengenai caranya, itu kembali pada value masing-masing.

……………..

Acara BPIP Pagi berjudul “Mengenali Indikator Gejala Patologis Pada Calon Pasangan” ini diawali oleh keprihatinan kami; tim psikolog di BPIP pada persoalan antar pasangan pernikahan yang kami temui. Salah satu faktor penyebabnya, adalah kurangnya pengenalan terhadap kepribadian “beresiko” dari calon pasangan.

Kenapa faktor kepribadian yang “beresiko” itu perlu dikenali? Karena pernikahan itu adalah teamwork. Membutuhkan kerjasama yang harmonis antara dua orang yang berkomitmen di dalamnya, untuk menghadapi dan mengatasi segala badai yang akan datang. Pernikahan, bisa jadi SYURGA dunia jika kita bekerjasama dengan pasangan yang bisa “memberi” dan “melengkapi” kita. Namun sebaliknya, Pernikahan bisa jadi NERAKA dunia saat pasangan kita, jusru menjadi sumber stress dan “menggerogoti” energi kita.

Yups, tak ada rumah tangga yang tak “bermasalah”. Namun masalah sebesar apapun akan bisa dihadapi saat pasangan bersatu, dengan dewasa mau berubah dan bekerjasama. Nah, pada orang-orang tertentu dengan kecenderungan kepribadian tertentu, kedewasaan dan kemauan untuk bekerjasama ini tak ada. Akibatnya, salah satu pasangan “berjuang sendirian” untuk mempertahankan keluarganya. Yang paling saya sedihkan adalah, dampaknya pada anak jika pasangan ini sudah punya anak.

Kami, yang berlatar belakang psikologi sedikit banyak punya gambaran, perilaku dan kepribadian seperti apa yang mulai masuk area “kuning”, mana yang masuk area “merah”. Namun kami banyak menerima pertanyaan dari teman non-psikologi yang belum menikah, apakah kecenderungan kepribadian “beresiko” ini bisa dideteksi sebelum menikah? Gimana biar kita bisa IKHTIAR maksimal dan menghindarkan diri dari calon pasangan yang setelah menikah nanti melakukan tindak kekerasan pada kita, bermasalah dengan keluarga besar, tak memberi nafkah, gak mau kerja, kecanduan ini-itu, selingkuh, menyiksa anak, dll dll?

Dengan pertimbangan itulah kami akhirnya menggulirkan judul ini, dengan mengundang senior kami, ibu Prof Sawitri yang sudah lebih dari 30 tahun menjadi konselor perkawinan. Saat kami mengunjungi rumahnya nan asri untuk berdiskusi mengenai topik ini, beberapa kasus yang beliau ceritakan memperkuat keyakinan kami bahwa pengetahuan ini penting untuk masyarakat.

Tgl 14 Februari adalah waktu yang kami pilih untuk acara ini. Sebenarnya, sampai detik terakhir masih ragu sih…apakah acara ini akan ada peminatnya, mengingat beberapa orang berkomentar “judulnya serem amat” haha.. Saya masih ingat .. pagi itu, panitia mengirimkan file publikasi untuk saya cek apakah acc atau tidak. Sambil memesan lontong padang Uda Pero di Simpang Dago, saya lihat dan saya kirimkan balasan pada panitia: “ok, acc”. Sepuluh menit kemudian, saat saya sampai di kantor di Dago 438, panitia pendaftaran bilang sudah ada belasan yang mendaftar….. teknologi memang “gila” ….

Dan jumlah itu terus bertambah, sampai seminggu setelah publikasi, kuota 70 orang sudah terpenuhi. Padahal masih ada 3 minggu lagi menuju acara. Akhirnya, kami memutuskan untuk mengadakan batch 2 untuk mengakomodasi pendaftar yang sudah masuk di “waiting list”. Makanya ayo buruan daftar …. nanti keabisan tempat looh (hehe…numpang promo).

Banyak diskusi menarik baik sebelum maupun pada saat acaranya. Beberapa pertanyaan kritis semisal:

  • Apakah orang yang punya kepribadian “beresiko” ini tidak layak bahagia ?
  • Bukankah setiap orang pasti punya kekurangan? dan bukankah pasangan bisa saling memberi dan menerima?
  • Bagaimana kalau sudah terlanjur cinta?

Semua pertanyaan itu dijawab dengan tuntas dan sistematis oleh Ibu Sawitri. Dalam paparannya, beliau menjelaskan terlebih dahulu apa ciri-ciri orang yang “sehat mental”. Dengan gayanya yang komunikatif, Ibu membawa kita untuk “mengevaluasi” diri kita apakah kita tergolong “sehat mental” atau tidak; apakah kalau kita “gelo-gelo saeutik” mah wajar atau engga… Dari situ lalu kita diajak mengenali beberapa perilaku dan kepribadian  yang mengarah pada patologis. Perilaku-perilaku konkrit yang bisa jadi indikator; baik berdasarkan ilmu psikologi klinis maupun berdasarkan pengalaman puluhan tahun beliau menjadi konselor pernikahan.

Note : saat saya bicara “pasangan” dan “kdrt”, bukan hanya mengacu pada laki-laki; tapi juga pada perempuan. Karena pada kenyataannya, memang demikian. Maka, acara ini tak hanya terbatas untuk perempuan, namun juga untuk laki-laki.Karena pengetahuan ini penting untuk laki-laki maupun perempuan, itu sebabnya kami memberi diskon khusus jika yang datang adalah pasangan Di batch pertama, ada 8 pasangan yang ikut.

Acara ini, highly recommended bukan saja untuk pasangan yang sedang melakukan penjajakan, namun juga yang sudah menikah agar bisa me-refresh semangat kita membangun keluarga yang SAMARA. Tak lupa juga, cucok buat kita-kita yang punya anak remaja untuk bekal menyeleksi calon mantu haha….

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: