Wiken kemarin, saya mengikuti Pelatihan Asesmen Terapeutik Anak Korban Kekerasan Seksual di Jakarta. Dua hari full Sabtu Minggu. Pembicaranya, ketua APSIFOR (Asosiasi Psikologi Forensik); seorang Psikolog Forensik yang sudah sangat berpengalaman dalam dunia Praktisi. Selain cantik-menarik, beliau juga sangat menguasai banyak terapi dan dasar teoretisnya. Psikolog Forensik adalah Psikolog yang membantu proses hukum dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan kemampuannya sebagai psikolog profesional.
Memang beberapa waktu terakhir ini, muncul kesadaran dalam diri saya. Bahwa kalau kita mau bantu klien dengan maksimal, maka kita udah gak bisa lagi “sendirian”. Mau gak mau, kita harus kerjasama dengan banyak profesi lainnya. Dokter, terapis, termasuk kepolisian maupun kejaksaan. Sudah banyak kasus yang meminta bantuan kami dalam proses hukum; baik kasus-kasus perdata seperti perceraian dan perebutan hak asuh anak, maupu kasus pidana seperti kekerasan seksual. Selama ini saya berusaha “menghindar” karena gak tau ilmunya. Tapi mau sampai kapan menghindar? Balik lagi ke pertanyaan: semaksimal apa usaha kita membantu klien?
Selain mendapatkan “energi” dari pembicara dan juga teman-teman psikolog yang ikutan acara ini, saya seneng banget dapet ilmu baru. 2 dari 5 teknik asesmen terapeutik yang diperkenalkan, sama sekali baru buat saya. Dan keren banget. Gak sabar pengen cepet praktekin ke klien hehe… kalau ke anak-anak saya sendiri sih udah haha… Salah satu sesi “favorit” saya dalam pelatihan-pelatihan semacam ini adalah sesi role play. Biasanya kami berpasangan dan saling bergantian menerapkan satu demi satu teknik yang diajarkan. Dan saya paling menikmati kalau jadi klien. Kapan lagi diasses plus diterapi gratis haha…. Setiap kali pelatihan, selalu muncul insight dalam mengenal diri saya. Termasuk yang kemarin itu, salah satu teknik yang diajarkan membuat saya menjadi CLEAR mengenai perasaan saya pada orang-orang terdekat saya.
Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan salah satu penghayatan lain yang saya dapat, yang tak ada hubungan langsung dengan konteks pelatihan dan profesi saya.
Dalam agama, maksudnya agama Islam yang saya anut, banyak sekali ajaran untuk “menasehati”. Yang paling jelas dalam surat al-Ashr; yang dihafal bahkan oleh anak-anak TK.
(1) Demi massa (2) Sesungguhnya manusia itu benar – banar berada dalam kerugian (3) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Semakin hari, semakin kesini, semakin saya belajar, semakin saya menghayati bahwa….”menasehati” yang dimaksud tampaknya bukan dalam makna TERSURAT. Bukan makna yang sesungguhnya. Tapi makna TERSIRAT.
Kenapa saya menghayati demikian? Karena secara empiris, seringkali nasehat itu tidak efektif mengubah perilaku. Dalam konteks tujuan pembelajaran, kalau kita pake taksonomi dari Bloom, menasehati hanya berada pada tataran kognitif yang paling rendah. Memberi tahu. Dilihat dari sidut pandang komunikasi, menasehati adalah komunikasi satu arah. Dalam konteks parenting, tidak ada satu pun fase perkembangan anak yang cocok untuk diarahkan dengan cara menasehati. 2 tahun? 3 tahun? anak SD? remaja? dewasa? menasehati tidak menstimulasi kemampuan berpikir kritis, tidak membuat anak merasa didengarkan dan diterima, dan pada dasarnya, materi yang dinasehatkan pada umumnya sudah diketahui.
Dalam konteks dakwah pun, menasehati seringkali tak efektif. Beberapa waktu lalu sempat membaca beberapa thread terkait beberapa konteks persoalan salah-benar menurut ajaran agama. Saya tahu, ada beberapa orang berupaya menyampaikan hal yang benar. Tapi cara “menasehati” itu, membuat tulisan-tulisannya menjadi “kurang simpatik”, jadi tak bisa diharapkan untuk “argumentatif” apalagi “persuasif”.
Dulu, saya berpikir efektifitas nasehat itu, kalau dari skala 1 sampai 10….nilainya 1 lah … Sekarang saya berubah pikiran. Pengalaman baik sebagai istri selama 13 tahun, sebagai seorang ibu selama 12 tahun, sebagai seorang psikolog dan dosen selama 10 tahun. Dampak nasehat, bisa jadi MINUS. Kalau saya mengeluhkan sesuatu pada mas dan mas kemudian menasehati saya, yang saya rasa adalah : “sebel…aku juga udah tau…” (hehe…mungkin karena saya belum jadi istri sholehah). Kalau saya nasehatin Kaka Azka, dia pasti jawab : “Iya bu…Kaka juga tau….”. “Nasehatin klien”, itu adalah PANTANGAN. Kalau mau nekad, coba aja. Dijamin kliennya jadi super defensif.
Intinya, saya gak pernah dapet benefit dari kegiatan menasehati. Justru dampaknya adalah….membuat komunikasi tertutup. Mana mau anak cerita terbuka sama kita tentang kesalahan dan kegagalannya kalau dia tau persis yang akan ia terima bukan solusi, tapi nasehat yang dia udah tau. Mana mau pasangan terbuka sama kita kalau curhatan kita dibalas dengan nasehat yang kita juga udah tau. Mana bisa menumbuhkan kekuatan dalam diri klien kalau nasehat yang kita berikan. Mana bisa menstimulasi daya kritis mahasiswa kalau kita mengajarkan dan menasehati, bukan berdialog dan diskusi argumentatif melalui sudut pandang masing-masing.
Penghayatan dan pengamatan itulah yang membuat saya menyimpulkan, tampaknya “menasehati” yang disebutkan dalam ajaran agama, sesungguhnya meminta kita untuk berpikir : “cara-cara menasehati” yang paling pas untuk setiap orang dalam situasi tertentu.
Sesungguhnya seluruh jenis psikoterapi yang saya pelajari, seupriiiiiiit dari banyak teknik terapi yang ada, menurut saya adalah operasionalisasi dari “menasehati”. Sesungguhnya, beragam macam penelitian untuk mencari metoda belajar yang paling tepat adalah upaya untuk mencari cara “menasehati”. Sesungguhnya, berbagai teknik komunikasi dalam parenting, adalah upaya menemukancara untuk “menasehati”.
Bukankah menasehati itu maknanya adalah mengajak orang lain menuju kebaikan dan kebenaran? Dan bukankah itu makna dakwah? Maka, sejatinya bagi kita muslim/muslimah yang pada hakikatnya menjadi “duta” bagi agamanya, yang memiliki kewajiban berdakwah, kita harus belajar bagaimana cara menasehati yang efektif.
Bahasanya, sesuai dengan peran masing-masing. Psikolog mempelajari psikoterapi, Guru dan dosen mempelajari metoda pembelajaran, seorang ibu mempelajari teknik parenting… dan pintu masuk untuk semua itu adalah …. KEMAMPUAN MENDENGAR-KAN. Mendengarkan. Mendengarkan.
Dengarkan pilihan kata, dengarkan rangkaian kalimat, “dengarkan” intonasinya, “dengarkan” volume suaranya, “dengarkan” ekspresi wajahnya, “dengarkan” persepsinya, “dengarkan” harapannya, “dengarkan” kebutuhannya…. BAnyak yang harus kita dengarkan dari orang yang ingin kita ajak menuju kebaikan dan kebenaran. Entah itu klien, mahasiswa, murid, anak, pasangan, mad’u…..
Oleh karena banyak yang harus kita dengar, maka porsi mendengarkan kita haruuuuuuus lebih banyak dari porsi bicara. Coba aja berkomunikasi sama anak kita. Atau pasangan. Pasti mereka lebih senang kalau kita mendengarkan, memperhatikan, sesekali bertanya, sesekali meng-iyakan, lalu di akhir percakapan, mungkin kita hanya perlu satu kalimat, namun akan “powerfull” karena kalimat itu abstraksi dari bermenit-menit atau berjam-jam kita mendengarkan. Itulah proses menasehati seharusnya. Apalagi menasehati dalam konteks agama. Seringkali “semangat” kita menyampaikan kebenaran membuat kita tak mau mendengarkan apapun dari orang lain. Yang penting saya sudah menyampaikan. Soal dia paham atau menerima? Do we Care?
Sudah banyak yang mengingatkan kita untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Tinggal kita mempraktekkannya. Kesungguhan kita belajar mendengarkan dan mencari cara “menasehati” adalah bukti kita peduli, dan itulah kekuatan yang bisa mengubah orang lain menjadi lebih baik.
Recent Comments