Seminggu ini, khususnya 3 hari ini, adalah hari-hari penting bagi sebagian ortu yang memiliki anak kelas 6 SD. Beragam doa untuk kemudahan dan kelancaran UN anak-anaknya, dipanjatkan para ibu baik dalam bentuk status bbm, status facebook maupun pastinya di saat-saat mustajabnya doa. Minggu lalu, beberapa sekolah menggelar semacam “doa bersama” yang dihadiri anak dan orangtua. Pun dengan sekolah Azka.
Setelah program tambahan belajar plus tryot setiap hari Sabtu selama satu semester kemarin, kegiatan ditutup dengan acara mabit anak-anak yang ditujukan untuk “relaksasi” melalui beragam games yang ringan dan lucu. Dan hari Kamis lalu, saat tanggal merah, digelar acara “doa restu”. Tujuannya sama, relaksasi. Tapi lebih diarahkan untuk orangtuanya. Pengisi acaranya pas sih menurut saya, seorang trainer parenting yang kocak abis, mampu mengocok perut para orangtua dengan gayanya yang lucu abissss….
Betul sekali yang disampaikan trainer parenting tersebut, kayaknya yang tegang emak-bapaknya, terutama banget emak-emaknya hehe….. begitu masuk ruangan bawaannya udah pada berkaca-kaca ajah. Padahal anak-anaknya mah udah haha hihi.
Untuk yang berniat masuk SMP negeri, wajar kalau 3 hari ini akan merasa tegang. Karena perjalanan 6 tahun sekolah putera-puterinya, diukur dengan beberapa puluh soal. Beberapa puluh soal dari 3 mata pelajaran yang hasilnya, akan menentukan masuk SMP mana. Sekolah, buat sebagian orangtua, bukan hanya berfungsi sebagai institusi yang mengajarkan pelajaran. Tapi mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang akan masuk menjadi kepribadian anak.
Saya sendiri, jujur saja sudah tak tegang. Sudah antiklimaks buat saya. Tegang dan cemas abis, saya rasakan 5 minggu lalu, waktu Azka test di sebuat SMPIT. SMPIT yang menurut “penerawangan” kami, paling pas untuk jadi partner dalam mendidik Azka. Karena itu satu-satunya sekolah yang dirasa paling pas dalam segala sesuatunya dan kami gak punya pilihan kedua, maka wajarlah kalau saya cemas banget menghadapi testnya. Padahal yang test Azka ya…kkkk
Hihi…kalau saya flashback, suka pengen ketawa sendiri. Beberapa waktu sebelumnya, saya sempat galau abis. Testnya tuh kan 3 ya, psikotest, test akademik dan test praktek ibadah. Nah, untuk test praktek, saya percaya lah…sama Azka. Test akademik….dengan tambahan belajar di sekolah, tryout tiap minggu plus bimbel seminggu tiga kali, cukup lah…kami pun belikan beberapa buku soal sampai Azka bilang…hadeeuh…bosen bu, ngerjain soal terus haha….Nah, yang bikin galau adalah soal psikotest ini. Masalahnya adalah, saya tahu banget lah, apa yang akan diukur, gimana cara ngukurnya daaaan…..alat ukurnya, alias alat psikotestnya, itu ada di ruang kerja sayah….
Beberapa hari menjelang test, kegalauan saya meningkat. Insting seorang ibu kan ingin selalu melindungi anaknya ya? saya galau….saya bisa banget ngasih “latihan psikotest” sama Azka. Atau minimal, kasih tau nanti soalnya kayak apa, Azka harus gimana biar hasil evaluasinya bisa bagus. Tapi….terngiang-ngiang sumpah profesi, kode etik dan…tentunya ingat bahwa nanti saya harus pertanggungjawabkan di akhirat. Tapi sebagai seorang ibu….ingin sekali all out membantu anak….tapi kode etik….tapi sebagai seorang ibu….
Yang akhirnya menguatkan saya untuk tidak melakukan pelanggaran kode etik itu adalah, seorang sahabat saya. Waktu saya curcol soal kecemasan saya pada dia, dia bilang gini …“gw paham banget kecemasan elu, tapi tenang lah, gw yakin Azka punya potensi dan kemampuan”. JLEB. Banget. Saya tertohok. Perasaan saya “ingin membantu” Azka, membuat saya terbutakan akan satu hal. Kalau saya lakukan itu, berarti saya meragukan potensinya. Saya tidak mempercayai kemampuannya. Aduuuhhh….saya menghayati betul sekarang. Itu tidak mudah sodara-sodara….Insting seorang ibu yang ingin selalu melindungi anaknya, membuat kita tidak mudah untuk “percaya” pada kemampuan anak kita ! Ini pengalaman berharga banget buat saya. Struggle to surrender banget lah….
Pas hari h, kecemasan saya udah naik ke ubun-ubun. Subuhnya ampe “berantem” sama si abah. Saking cemasnya takut telat karena jarak dari rumah ke sekolah tsb cukup jauh dan bisa macet, saya pengen anter pake motor. Karena saya gak bisa nyetir apapun kecuali nyetir sepeda, pastinya kami akan bertiga naik motor. Si abah bilang, itu malah riskan ditilang. Jadi lebih baik pake mobil. Saya, keukeuh sureukeuh pengen pake motor, biar kalau macet bisa nyelap-nyelip. Akhirnya, setelah masing-masing keukeuh dengan pendapatnya, dengan wajah manyun dan mata berkaca-kaca saya ikutin saran mas, tapi berangkatnya 2 jam sebelum jam mulai test haha….orang cemas dilawan…. jadilah setengah 7, kami sudah nangkring di sekolah tsb, datang sebagai peserta kedua haha….
Sepanjang perjalanan, cemas saya memuncak sampai sakit perut…Aduh, bener deh,,,seumur-umur kalau menghadapi ujian, 3 kali sidang skripsi-profesi-tesis, gak pernah sampai sakit perut. Ini terjadi …. ! sambil menunggu jam mulai test, ngobrol ini itu dengan ibu-ibu teman Azka, kecemasan mulai reda. Menjelang jam 8, tim psikologi datang. Begitu tim psikologi turun dari mobil, eh…sebelum masuk ke ruang test, mereka menghampiri saya, trus pada cium tangan …. ternyata mereka adalah mahasiswa-mahasiswi saya….dari Biro tetangga yang bekerjasama dengan sekolah ini untuk psikotestnya. Aduuuh, sakit perut lagi. Apalagi saat ibu salah satu teman Azka bertanya mengapa, dan ketika saya bilang itu mahasiswa saya, beliau berkata : “ya ampun, mama Azka teh psikolog, kenapa gak bilang-bilang? kalau tau kan bisa minta latihan dulu..” ….. si syetan bertanduk hadir lagi dan bilang ke saya “iya ih, kenapa resource yang kamu punya gak kamu kasih all out ke anak kamu, kalau gagal, kamu nyesel loh”. Sakit peruuuuuut !!!! Apalagi tambah dapat info kalau persaingannya ketat, plus Azka kan SDnya bukan dari sekolah ini. Meskipun berkali-kali saya tanya ke yayasannya dan mereka bilang gak ada keistimewaan untuk calon yang berasal dari SD mereka, tetep we…liat daftar nama banyak banget yang dari SD mereka, hati jadi ciut.
Selama 2 minggu menunggu pengumuman, saya bener-bener berjuang untuk “ikhlas” berdoa mohon yang terbaik. Bukan berdoa biar diterima. Katanya kan, hakikat muslim itu adalah “berserah”. Puncak ketauhidan kita adalah, saat kita yakin apapun yang terjadi adalah yang terbaik dariNya. Selama kita masih yakin dan merasa yang kita inginkan yang terbaik, ya berarti belum sepenuhnya berserah. Struggle to surrender tea…
Sampai 3 minggu lalu, alhamdulillah Azka diterima. Sejak saat itu, buat saya udah selesai. Udah bayaran, udah dapet seragam, udah antiklimaks.
Minggu lalu, kami diundang oleh SMP tersebut untuk wawancara. Saya dan mas hadir. Satu jam wawancara dan dialog, saya seneng banget. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pihak sekolah pada kami, menurut saya bagus. Karena dalam proses itu, kami menyamakan “nilai”. Dan item pertanyaan yang dipilih pun, pas menurut saya. Tidak hanya yang sifatnya umum dan normatif. Misal mereka bertanya, bagaimana pendapat kami mengenai gadget terutama hape. Mereka juga bertanya bagaimana pendapat kami tentang “rasa suka-sukaan” yang sangat biasa terjadi di usia SMP, lalu bagaimana value kami tentang pacaran. Saya juga banyak bertanya mengenai hal-hal yang saya anggap penting, misalnya saya menanyakan bagaimana prinsip mereka mengenai anak yang “bermasalah”, bagaimana sistem penanganan jika terjadi kasus bullying yang sedang marak, dll dll. Alhamdulillah bikin lega, karena value kami sama. Baik dalam hal “agama” maupun mengenai aspek-aspekkepribadian yang akan dibangun oleh sekolah tersebut. Salah satu konsep yang saya suka adalah, sekolah ini melalui program-programnya tidak mengedepankan kompetisi, melainkan kerjasama. Itu sesuai banget sama kepengenan kami. Juga skeolah ini tidak mencetak individu-individu yang “eksklusif”, tapi berbaur dan terjun ke masyarakat.
Saat tahu ketatnya persaingan masuk sekolah ini plus cukup mahalnya biaya masuk sekolah ini, sopir saya bertanya “bagusnya apa sih bu, sekolah ini?” haha….pertanyaan kritis …. Lalu saya menjawab kurang lebih begini: bahwa dengan pilihan aktifitas saya, harus diakui minim sekali waktu saya untuk Azka. Begitu juga abahnya yang sering di luar kota. Saya perlu bantuan skeolah yang gak cuman ngajarin pelajaran, tapi juga ngajarin nilai. Nilai yang harus sama dengan nilai yang kami ingin tanamkan pada Azka.
Dipikir-pikir, proses ikhtiar mencari skeolah buat anak itu sama dengan proses iktiar “mencari jodoh” ya…hehe
Apa aja prinsipnya?
(1) Tidak ada pasangan yang sempurna, yang ada adalah pasangan yang sesuai. Demikian pula tidak ada sekolah yang sempurna, yang ada adalah sekolah yang sesuai.
Untuk mengetahui apakah sesuai atau tidak, maka kita harus tau dulu siapa kita, apa value kita. Apa yang penting dan gak penting buat kita. Apa yang kurang dalam diri kita, yang ingin kita lengkapi dari pasangan kita. Pokoknya mah harus “kutahu yang kumau” lah. Yups…pastinya kita semua pengen anak kita sholeh. Tapi, kita harus bisa operasionalkan. Karena karakteristik sekolah itu beda-beda. Mau sholeh yang kayak gimana? Mau sholeh yang orientasinya kemana? Seperti apa? Mau sholeh yang kompetitif? its oke. Mau sholeh yang kolaboratif? its oke too. Mau sholeh dengan dominansi pengetahuan agama? okeh. Mau sholeh dengan dominansi pengetahuan sains? bahasa? sosial? its oke too.
(2) Tak ada pasangan yang gak punya kekurangan. Yang penting, dia dewasa dan mau menerima masukan, mau berubah ke arah lebih baik. Tak ada sekolah yang tak punya kekurangan. Yang penting, sekolah itu terbuka menerima masukan, dan mau beruba saat ada masukan yang lebih baik.
Saya sudah menemukan TK dan SD yang “pas” buat anak-anak saya. Apakah TK dan SD itu sempurna? no no no. Beberapa kali saya memberikan masukan terhadap hal yang saya pikir penting untuk diluruskan. Dan ciri sekolah yang baik adalah, ia mau menerima masukan yang objektif. Mau mengakui kesalahan, mau meminta bantuan, mau berubah. Itu pula yang kita harapkan dari pasangan kita bukan?
(3) Dalam proses mencari pasangan hidup yang mengikuti syariat islam, faktor sumber informasi menjadi krusial. Demikian pula saat mencari sekolah.
Kita tidak diperbolehkan melakukan perkenalan dengan berduaan….tapi kita harus pandai-pandai mencari sumber informasi yang akurat mengenai calon pasangan kita. Rasul bilang, seseorang itu menjadi teman setelah menginap bersama. Teman satu kost, informasinya akan lebih valid dibandingkan teman-teman lain yang hanya tahu calon pasangan kita “dari luar” aja.
Saya sering bilang, kalau cari sekolah, jangan percaya brosur. Pasti kalau cuman liat dari brosur atau web, bagus semua. Apalagi sekolah baru. Idealismenya hebat, tapi belum punya pengalaman bagaimana membumikan idealisme tersebut dalam kenyataannya. Salah satu cara ampuh adalah, cari testimoni. Dari orang yang kita percaya, dari orang yang valuenya sama dengan kita. Memilih SMP ini, buat saya cukup dengan meminta pendapat seorang teman, yang anak nya sekolah di situ, dan punya value yang sama dengan saya. Baik value agama maupun value psikologi yang buat saya cukup penting hehe…. Dan beliau pun memberikan informasi yang objektif, sehingga kami bisa timbang-timbang, apakah fit gak dengan kebutuhan kami.
Semoga, di SMPnya nanti, kami mendapatkan sakinah mawaddah warohmah hehe….
Buat ibu-ibu/bapak-bapak yang masih berjuang cari pasangan hidup sekolah yang pas, Semangat ! Insya allah ikhtiar kita smeoga mengundang keberkahan buat anak-anak kita. Aamiin….
Recent Comments