Hari ahad lalu, di pantai batu karas Pangandaran, ada satu kejadian yang mengingatkan saya pada cerita seorang senior saya.
Suatu saat, dalam proses bimbingan mahasiswa yang akan bertesis-ria dengan topik intervensi psikologis untuk anak-anak yang dirawat di rumah sakit karena penyakit kronis, senior saya yang baru pulang dari Singapura mengantar kerabatnya berobat, bercerita bahwa beliau menyaksikan bagaimana pendekatan yang dilakukan oleh dokter di sana pada seorang anak berusia 6 tahunan yang akan dioperasi.
Sehari sebelum operasi dilaksanakan, sang dokter yang akan mengoperasi mengunjungi anak tersebut, menggendongnya dan mengajak si anak “jalan-jalan” ke ruang operasi. Di sana, si anak diperkenalkan rangkaian prosedur yang akan ia jalani. Secara umum dan menggunakan bahasa anak tentunya. Saat si anak mengatakan takut dan menangis, si dokter pun menjelaskan bahwa ia akan dibius sehingga tidak merasa sakit. Lalu dokter pun mengajak si anak membaca namanya. Ia menjelaskan serentet gelar yang ada di belakang namanya dan meyakinkan si anak bahwa ia sudah ahli menangani operasi. Ia juga menunjuk si suster yang akan menemani anak, dan bertanya apa yang akan bisa mengurangi rasa takut anak. Saat si anak bilang bonekanya, si dokter mengatakan bahwa si anak bisa mengajak bonekanya masuk ruang operasi besok. Kesimpulannya, senior sayamelihat bahwa ada upaya sungguh-sungguh dari pihak rumah sakit dan si dokter untuk memberikan RASA AMAN pada si anak.
Secara garis besar, saya bisa menarik kesimpulan mengenai cara yang dilakukan si dokter : ia menjelaskan situasinya secara objektif, memahami perasaan anak, dan berusaha membantu anak untuk mencari resource apa yang dimiliki anak, baik dari dalam dirinya maupun dari lingkungan, yang bisa mengatasi perasaan negatifnya, dalam hal ini rasa takut yang sangat.
Cara ini, khas sekali ditemukan dalam film atau buku cerita di “barat sonoh”. Saya tidak tahu bagaimana dalam kehidupan nyata masyarakat mereka. Tapi jujur saja, saya sukaaaaa banget formula ini, dibandingkan dengan cara yang “secara otomatis” mungkin lebih sering kita lakukan: “engga sakit kok….kakak kan kuat, hebat. Jangan takut, harus jadi pemberani….adik kan pinter …masa gitu aja takut….”
Peristiwa apa yang membuat saya teringat cerita yang saya paparkan di atas? si bungsu 3 tahun Azzam, begitu kami keluar hotel dan menuju pantai, langsung menangis histeris. Sementara kakak-kakaknya berlarian kegirangan menerjang ombak, dia menangis ketakutan dan berteriak ingin kembali ke hotel. “takut ombak”. Itu yang ia teriakkan. Saya ingat terakhir kami ke pantai adalah tahun baru lalu, ke Parangtritis. Di sana, ada payung-payung dan tikar yang kami sewa. Sampai 5 kali, air pantai naik dan mencapai tikar dan payung kami. Reaksi kami saat itu, tentu “panik” memindakan barang-barang yang menjadi basah. “Kepanikan” kami itu, tampaknya ia rekam dan ia asosiasikan dengan ombak. Ombak jadi ia persepsikan mengancam.
Saat kita siap bersenang-senang dan si anak malah histeris ketakutan, gimana perasaan kita? kesal bukan? saya pun merasakannya. Dan hampir saja secara otomatis, saya akan bersikap 2 hal : 1. “memotivasi” : “ayo, dede kan anak hebat, pemberani…masa sama ombak aja takut”. 2. “kesal dan mengancam”: “ya udah kalau dede gak mau, ibu tinggalin ya”. …. Hampir saja. Alhamdulillah saya ingat kisah senior saya di atas. Sisi rasio saya mengatakan bahwa ini adalah momen untuk menumbuhkan kemampuannya mengatasi perasaan takut.
BUAT AZZAM MERASA AMAN. OMBAKNYA TETAP ADA, RASA TAKUTNYA MASIH TETAP TERASA, TAPI BANTU IA MENUMBUHKAN KEKUATAN UNTUK MENGATASI RASA TAKUTNYA. SEDIKIT DEMI SEDIKIT.
Baiklah. Itu goalnya. Mari kita jalani prosesnya. Saya pun menghampirinya, memeluknya. Dia nangis yang histeris banget. Saya bilang: “kita lihat ombaknya disini aja, ibu temenin dede, ombaknya gak akan kena dede”. 10 menit, 15 menit, 30 menit, dia di pelukan saya, histerisnya gak berkurang. Tapi saya bertahan tak mau menyerah kembali ke hotel. 45 menit….rasanya kesabaran saya mulai berkurang, muncul kebimbangan apakah saya akan berhasil? syukurlah si abah membantu. Ada gunanya juga menceritakan beragam macam teori dan praktek psikologi sama si abah. Gak kebayang kalau dalam situasi sulit begini, si abah berbeda pendapat. Oke…gantian saya mulai refreshing jalan-jalan, si abah yang peluk. Sejam. akhirnya nangisnya berhenti, tapi masih takut.
Si abah bawa tiker. Jarakya 7 meteran dari pantai. 15 menit …. nemenin ini-itu ngobrol di tiker….saya cerita gimana waktu kecil saya juga takut ombak, saya cerita bahwa semua kakaknya juga, ketika umur 3 tahun takut sama ombak. Dia mulai mau ngobrol, lalu mulai mau bergerak. Kebetulan saya menemukan bola. Si abah ngajak dia main bola, bola ditendang agak deket ke pantai, dia masih histeris. Oke, gapapa…saya gantian nemenin dia main. Perlahan-lahan, saya geser tikernya lebih dekat. 6 meter. 5 meter. Kita puja puji dia, kita tunjukkan tempat duduk awal dan garis tempat tiker awal tadi, kita bilang : “wah, de Azzam udah berani lebih deket sama ombak…..”. Eh…dia mundur lagi….15 menit lagi ….
Lalu tanpa kami arahkan, dia mengambil pasir,ia lemparkan ke arah ombak. Awalnya saya pikir main aja. Tapi lama kelamaan dia lempar, saya lihat wajahnya, ada emosi tertentu, terdengar ia berkata “pergi kamu ombak” …”dasar ombak jahat” …… begitu teruuuuuus berulang-ulang…hampir 20 menit. Saya gak ganggu dia….Katanya, pada anak kecil, perilaku repetitif itu membuat nyaman. Itu sebabnya dalam tahap perkembangan bermain pun, ada tahap bermain yang repetitif. Perhatikan anak umur 2-3 tahun: bisa ketawa terus-menerus dan mengulang-ulang satu gerakan atau permainan sederhana.
Setelah terlihat puas, abahnya ngajak dia duduk di pasir tanpa tikar. Membuat bendungan katanya. Dan air pantai pun, lama kelamaan naik dan mengenai badannya. Awalnya dia takut, tapi kakak-kakaknya membuat lingkaran di sekitarnya dan bilang : “tenang de, nanti mas Umar lindungi dede”. Kena kakinya aja, lalu kena pantatnya, kena sepinggang, sampai akhirnya basahlah semua badannya. Dia mulai teryawa….dan sambil tertawa, dia bilang “hebat kan bu, de Azzam gak takut lagi sama ombak”….Ketika dia lihat ombaknya besar, sengaja saya peluk dia sambil bilang “de, ibu takut banget ombaknya besar….kita pelukan yuk, biar gak takut sama ombaknya”. dan kami pun beberapa kali “terseret” ombak sampai keminum air lautnya, dia memeluk saya erat, tapi ketika kami godain ajak pulang, dia bilang gak mau.
Dari pengalaman itu, saya menghayati betul bagaimana formula yang diajarkan di buku-buku psikologi seperti yang dilihat oleh senior saya di atas, benar adanya. Kalau bisa saya simpulkan, saat anak mengalami ketakutan….mulai dari yang konkrit seperti takut gelap, takut ombak, takut ke kamar mandi, takut disuntik atau imajinasi seperti takut monster…itu adalah momen yang bisa kita manfaatkan untuk :
(1) Membantunya mengenali perasaannya. Dalam kajian kecerdasan emosi, mengenali emosi diri selalu menjadi dasar untuk mengembangkan keterampilan mengelola emosi. Pun beragam macam intervensi psikologis, hampir selalu ditujukan untuk membuat seseorang mengenali emosi yang dirasakannya. Sata pernah bertanya-tanya dalam hati. Kenapa sih, mengenali emosi ini tampak begitu penting dan sentral? Akhirnya puzzle-puzzle pengalaman membuat saya bisa menghayati bahwa : sesuatu yang tidak kita kenali, tidak akan bisa kita kendalikan. Kalau kita tidak tahu bahwa kita merasa benci pada suami kita, kita akan merasa “aneh” kenapa sulit sekali bagi kita untuk berbuat baik pada suami. Kalau kita gak tau apa yang membuat kita benci pada suami, sulit bagi kita untuk melakukan upaya mengatsinya. Perubahan perilaku apapun, harus diawali dengan penghayatan, apa yang sebenarnya kita rasakan.
(2) Menerima perasaannya. Jujur saja, ini tidak mudah. Karena kita punya harapan yang bisa jadi 180 derajat sama perasaan anak kita. Ya kayak saya, harapannya kan kita bergembira ria bersama-sama….eeehh….1,5 jam nemenin Azzam mengatasi rasa takutnya itu … tidak mudah. Menyatakan bahwa perasaan yang dirasakan anak adalah wajar, itu menjadi penting pada tahap ini. Sebaliknya, jika kita membandingkan (misal: liat tuh, adek kecil aja berani …masa kamu engga) … itu dampaknya tak akan positif. Saya menghayati, dibandingkan memang selalu tak menyenangkan rasanya, semulia apapun tujuannya. Misalnya suami kita membandingkan kita ama istri tetangga. Meskipun niatnya untuk memotivasi, bagaimana perasaan kita ibu-ibu ?????
(3) Menumbuhkan rasa mampu. Seorang senior saya, mengalami kecelakaan sehingga tidak bisa berjalan dan harus pakai kursi roda dalam jangka waktu ynag cukup lama. Ketika ia mulai belajar berjalan lagi dan didampingi oleh fisioterapisnya, beliau bercerita : “Ternyata ya, kalau dimotivasi dengan cara “disemangati” : ayo, kamu pasti bisa…..itu rasanya malah menjadi beban. Saya merasakan banget….saat saya takut lalu orang bilang “ayo, pasti bisa lah…” itu malah membebani. Tapi bukan itu yang dilakukan terapis saya. Terapis saya bilang: “kemarin ibu jalan satu meter, sekarang dua meter loh bu…” Itu ternyata lebih membangkitkan perasaan “aku bisa”. Rasa mampu ini, bisa kita tumbuhkan dengan sumber yang berasal dari dalam dirinya seperti yang dilakukan si terapi tersebut, dilengkapi dengan meyakinkan bahwa ada sumberdaya lingkungan yang bisa dia manfaatkan. Ada keluarga yang menyayanginya, ada ahli yang akan membantunya…..implisitnya: you are not alone, i’m here for you, you are worthed.
(4) Memberi waktu baginya untuk menghayati dan mengatasi perasaannya, setahap demi setahap; dengan tetap mendampinginya. Setiap anak punya cara sendiri untuk menghayati dan mengatasi perasaannya. Menangis adalah cara bagi anak usia dini. Berikan waktu bagi mereka untuk menumbuhkan keberanian sedikit demi sedikit, dengan tetap mendampinginya. Tidak membiarkannya berjuang sendirian, atau malah me”reject”nya : “Ibu gak mau, punya anak penakut kayak kamu….udah tinggalin aja nih…” . Mendampingi anak dalam keadaan yang “buruk”, akan menumbuhkan keyakinan pada anak bahwa ia dicintai tanpa syarat. Unconditional love. Tahu gak…sikap “sederhana” ini, akan menjadi bahan bakar baginya untuk tetap punya HARAPAN. Sesuatu yang amat berharga. Itulah sebabnya dalam Islam, bunuh diri tak mendapat ampunan. Mengapa? karena orang yang bunuh diri, tak punya harapan. Ia putus asa. Ia merasa tak ada yang mencintainya di seluruh dunia ini. oleh karena itu, lebih baik mati baginya.
No Gain Without Pain. Itu adalah prinsip dasar pengasuhan menurut saya. Yups, akan jauuuuuh lebih mudah memang menghindarkan anak dari sumber ketakutannya. Misalnya anak takut tidur sendiri, ya udah tidur sama ibu aja. Sangat mudah juga “menenangkan” anak dengan mengatakan: “engga sakit kok”….”enggak nakutin kok”…. mudah juga baik kita mengatakan “ayo, masa gitu aja takut….dede kan pemberani” ..Tapi mungkin kita perlu bertanya lebih dalam pada diri kita, untuk kepentingan siapa sebenarnya hal tersebut kita lakukan.Untuk kepentingan kita, atau kepentingan anak?
Membuat situasi yang menakutkan bagi anak menjadi media untuk menumbuhkan penghayatan akan perasaanya, mengembangkan kemampuannya mengatasi masalah, memberikan pengalaman bahwa ia dipahami serta dilindungi…..akan memberikan jejak mendalam dalam kepribadian anak. Pengalaman menghadapi rasa takut pada hal yang konkrit, akan menjadi bekal bagia naka untuk mengatasi ketakutan ynag lebih abstrak: takut gagal, takut ditolak, takut kalah, dan 1001 takut lainnya.
Dan percayalah, semua “pengorbanan” kita akan terbalas setiap kali kita mendengar si anak dengan bangganya bercerita pada orang-orang yang ia temui : “dede kan takut sama ombak, terus dede teh lempar aja ombaknya pake pasir….jadi gak takut deeeh…. terus ada ombak besar….dede teh sampe hanyut….untung dede pelukan sama ibu…jadi gak takut lagi…”
Kau tak akan pernah terbebas dari ketakutan di hari-harimu ke depannya nak, tapi kau punya pengalaman bahwa kau mampu mengatasi rasa takut itu. Rasa takut itu, tak perlu dihilangkan, tak bisa dihindari. Tapi saat menghadapinya, kau tidak sendirian. Ada orang-orang yang mencintaimu yang akan menemanimu menghadapi rasa takutmu. Kelak kalau kau sudah paham, dengan dasar rasa percaya yang besar, Kau juga akan mudah menumbuhkan rasa percaya pada sang Maha.
Recent Comments