Apa yang lebih mahal dari batu akik? ;)

inisiatip

Tiga bulan lalu, di pin board Umar si kelas 3 di kamarnya, diantara tempelan jadwal pelajarannya, saya mendapatkan surprise. Ada tulisan cakar ayamnya : “Rabu, PR matematika. Kamis, SBK bawa kardus bekas”. Saya tanya itu tulisan apa, dia bilang “Iya, mas Umar kan pelupa, mas Umar tulis biar mas Umar inget”.

Sebulan lalu, waktu kami ke toko buku, seperti biasa dia menghilang dan ketika ketemu, menyodorkan dua buah buku. Tumben bukan buku komik, melainkan buku “Aku Jago Menggambar”. Ada dua Buku: Aku Jago menggambar Bunga dan Aku Jago Menggambar Pemandangan. Saya merasa aneh banget. Menggambar adalah “musuhnya”. Motorik halus adalah kelemahannya.Tak heran kalau mata pelajaran SBK, entah itu menggambar, menggunting, membuat prakarya, nilainya selalu di bawah rata-rata kelas. Saya penasaran banget,  saya tanya kenapa dia pilih dua buku tersebut.  Dia bilang “Mas Umar kan paling gak bisa menggambar bu, nilai SBKnya suka jelek terus…buku ini kan ngajarin langkah-langkahnya menggambar, jadi mas Umar bisa latihan”. katanya

Dalam dua peristiwa tersebut, saya peluk dia, saya bilang saya bangga pada dia…. Kenapa?

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Setiap orangtua, punya “nilai-nilai” tertentu yang ingin ditanamkan dan ditumbuhkembangkan dalam diri anaknya. Salah satu cara bagi kita, orangtua,  mengidentifikasi kualitas penting apa yang ingin kita tanamkan pada anak kita, adalah dengan mengingat momen-momen membahagiakan/membanggakan apa yang kita ingat dari anak-anak kita.

Bisa jadi, peristiwa yang “membanggakan” dari satu anak dengan anak lainnya berbeda. Kalau istilah saya, sebagai orangtua dari waktu ke waktu kita selalu punya “PR” dalam konteks pengasuhan pada anak. PR-nya, bisa jadi pada satu anak atau anak lain,  berubah dari waktu ke waktu.

Misalnya pada si sulung, PR kita adalah menumbuhkan kepercayaan diri, si tengah PR kita menguatkan kemampuan pengendalian emosi, pada si bungsu PR kita untuk mengasah keterampilan sosialnya. Tahun depannya, mungkin PR kita beda lagi.

Kalau saya sendiri, PR saya sekarang ini terutama pada si nomor 2. Umar si kelas 3. Si anak unik yang baru mau makan nasi di usia 4 tahun, satu-satunya anak yang harus “berpisah” di awal-awal kehidupannya karena harus di blue-light (ah, meskipun sudah 9 tahun lalu, masih teringat saat saya sujud syukur karena dapat berita dari RS kalau dia bisa dijemput pulang), si anak yang  beberapa kali tengah malam dibawa ke ugd untuk mengeluarkan feces dan pipisnya …. Si anak yang “terkenal” di TK nya karena “pemberani” dan selalu jadi pemeran utama di setiap pentas, si anak yang jarang belajar tapi  nilainya selalu bagus di kelasnya, si anak yang “lebay” kalau dapat masalah, si anak “pelupa” yang sering sekali  kehilangan jadwal, buku, pensil, penghapus, penyerut, tempat minum, sendal sampai seragam di sekolah. Si anak yang seringkali gak tau kalau besok waktunya ujian.

PR apa yang saya punya buat Umar? PR membangun “mentalnya”. Setiap kali dia menunjukkan nilai ujiannya yang selalu diatas 97 meskipun dengan belajar minim (tanya jawab sama saya sambil sarapan pagi) atau gak belajar sama sekali karena malemnya ketiduran, saya selalu curhat sama si abah, ya…saya senang..tapi rasanya belum tenang.

Menurut pengalaman saya, anak pinter tuh sekarang banyak banget. Gizi yang baik plus stimulasi yang mudah dilakukan pada anak kita sekarang ini, membuat anak yang pinter tuh jadi gak istimewa. Yang IQnya 130, 135, 145, sekarang tuh gak aneh lagi. Tapi, prestasi akademis itu cuman berarti sampai SMA doang. Atau sampai kuliah lah. Setelah itu? kemampuan akademis tak akan banyak bermakna. Ini bukan teori. Ini empirik. Kata temen-temen saya yang bergerak di bidang industri, perusahaan-perusahaan besar sekarang lebih mempersyaratkan “softskill” yang baik, kepribadian yang matang dibandingkan kemampuan kognitif. Apalagi eneterpreuneur.

Maka, saya khawatir banget Umar, yang akan menggantikan abahnya menjadi imam keluarga ini, tak punya “mental” yang matang. Tak punya pribadi yang kuat. Salah satunya yang paling saya takutkan adalah, ia tak punya inisiatif. Aspek ini banyak hilang dari remaja-remana  saat ini. Banyak  anak-anak SMA ber-IQ istimewa namun blank gak tau mau lanjutin ke mana. Jurusan yang dipilihnya adalah “disuruh orangtua”. Informasi yang didapat mengenai jurusan yang akan dimasukinya, “kata mama”/ “kata papa”. Sehari-hari pake gadget canggih, tapi sama sekali tak tergugah untuk mencari informasi.

Inisiatif, menurut penghayatan saya, menjadi amat mahal. Dan dua kejadian di atas, perilaku Umar menempel catatan biar dia gak lupa dan mencari buku untuk latihan menggambar, buat saya membanggakan karena, seperti  yang selalu saya bilang padanya:

“Tidak ada seorang pun anak  yang sempurna mas, pasti setiap anak  punya kekurangan. Anak yang hebat itu bukan anak  yang gak punya kekurangan. Tapi, anak  yang menyadari kekurangannya apa, menerimanya dan berusaha keras  untuk mengatasi kekurangannya. Ibu pengen mas Umar kayak gitu.”

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: