Peran Ayah pada anak : Penting atau gak penting siiiih? (mengenal risk & protective factors)

ayahMumpung belum ngantuk, malam ini saya teringat utang pada seorang teman. Utang tulisan. Begini ceritanya…

Beberapa minggu yang lalu, saat di perjalanan menuju Jatinangor, seorang teman menelpon saya. Tanpa basa-basi, ia langsung bertanya; “Fit, sebenernya ayah teh gimana sih? Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata pertanyaan tersebut didasari oleh kegalauannya terhadap topik “peran ayah pada anak”, yang sedang “hot” dibahas di dua wa grup yang ia ikuti. Masalahnya adalah, dua wa grupnya ini katanya membahas tema ini dari sudut pandang yang berbeda 180 derajat.

Di grup wa-nya yang kesatu, didiskusikan bagaimana peran ayah buat anak itu PENTING BANGET. Baik pengalaman pribadi, share tulisan maupun cuplikan penelitian entah dari mana diajukan masing-masing anggota grup wa ini untuk mendukung argument betapa vital peran ayah. Anak yang ayahnya tak terlibat dalam pengasuhan mereka, katanya akan tumbuh jadi anak yang terlambat dewasa, kalau laki-laki bisa jadi gay, perempuan tidak akan bisa menjalin hubungan yang kuat dengan lawan jenis, dll dll…pokoknya…serem-serem deh. Pokoknya kalau ayah tak terlibat dalam pengasuhan anak, kayaknya anaknya akan hancur gituh (eh, ini beneran kata-kata temen saya loh …kkkkk). Oleh karena itulah menurut para anggota di grup wa ini, maka ibu-ibu harus “memaksa” para suaminya untuk aktif terlibat dalam pengasuhan anaknya.

Nah, di grup wa-nya yang kedua, pembahasan tentang ayah ini justru sebaliknya. Di grup ini, sebagian besar anggotanya kontra terhadap pendapat pentingnya peran ayah. Ada yang mengkaitkannya dengan sejarah Nabi. Nabi Isa gak punya ayah, baik-baik saja. Rasulullah Muhammad saw, ayahnya sudah wafat saat ia lahir, menjadi manusia sempurna. Ada yang menceritakan pengalaman pribadi ditinggal ayahnya wafat sejak kecil, tapi tumbuh baik-baik saja. Kata teman saya, grup ini memandang isu pelibatan ayah dalam pengasuhan anak adalah upaya-upaya kelompok tertentu untuk membuat para ibu menghindar dari kodratnya, membuat ibu-ibu malas menjalankan kewajiban pengasuhan, tidak empati pada suami yang sudah amat lelah mencari nafkah.

Abis bla..bla..la…teman saya menumpahkan seluruh kegalauannya, tibalah saat saya memberikan tanggapan. Tanggapan pertama saya adalah “ledekan” buat dia; “too much wa-group will kill you” kata saya haha… Tapi beneran loh… dalam wa-grup, biasanya kita cenderung berbagi pengalaman dan perasaan subjektif. Formatnya tidak mendukung untuk membahas sesuatu secara sistematis. Gimana mau sistematis, lha wong pembagian perannya aja gak ada. Kalau dibikin aturan…siapa yang jadi narasumber….kapan waktunya boleh bertanya, antri satu demi satu….buat saya pribadi sih malahan aneh dan “gak enakeun”. Jadi buat saya pribadi, wa grup memang lebih cucok dipake buat ajang silaturahim haha-hehe selingan aktivitas. Kalau mau berargumen atau mempersuasi sesuatu, agak sulit karena di wa group kita kehilangan informasi mengenai “kondisi awal” masing-masing lawan bicara kita, yang akan sangat mempengaruhi konten dan cara kita menyampaikan satu informasi.

Kembali pada kisah teman saya….akhirnya, saya pun membalas uraiannya yang panjang lebar dengan jawaban yang panjang lebar juga. Saya jelaskan mengenai “sejarah” munculnya isu dan penelitian peran ayah dalam perkembangan anak, apa saja sudut pandang dan pendekatannya, serta bagaimana sebaiknya kita memposisikannya. Tak terasa saat itu, saya sudah samapi di Jatinangor. Sebelum menutup telopon, teman saya bilang: “kayaknya yang tadi elu jelaskan perlu ditulis deh….siapa tahu ada beberapa orang lain yang lagi galau kayak aku tentang hal ini” katanya. Saya pun meng-iyakan…dan itulah sejarah utang saya haha…

Saya akan membagi tulisan ini menjadi beberapa bagian. Pada bagian ini, saya akan mengulas peran ayah dalam perkembangan anak dari perspektif risk & protective factor.

Dalam tumbuh kembang anak, para ahli mengenai istilah risk factor dan protective factor. Secara sederhananya begini: Kita, gak akan pernah tau tantangan apa yang akan dihadapi oleh anak-anak kita. Kalau pake bahasa agama, kita gak akan pernah tau ujian apa yang Dia berikan pada anak-anak kita. Mungkin guru yang merendahkannya, teman sekolah yang membully, suami yang melakukan kdrt, kematian orang terdekat, sampai yang tak terduga seperti bencana alam atau peperangan.

Dalam diri dan lingkungan anak-anak kita, ada yang namanya RISK FACTOR , ialah aspek dalam diri atau lingkungan anak yang bisa meningkatkan kemungkinan kondisi negatif pada diri anak. Saat menghadapi kondisi yang tidak diharapkan, faktor ini akan memperburuk situasi anak. Yang termasuk dalam risk factor, bisa dari kesehatan dan lingkungan psikologis. Dari kesehatan misalnya berat lahir rendah, kualitas pengasuhan yang buruk, kecerdasan yang rendah, dll dll. Intinya, ini adalah faktor “kerentanan”.

Di sisi lain, kita pun bisa “menyediakan” PROTECTIVE FACTOR, ialah aspek yang bisa mengurangi dampak buruk dari peristiwa yang tidak menguntungkan bagi anak. Nah, salah satu protective factors adalah, “a strong relationship with a father figure”. Protective factors lainnya apa? pola asuh ibu yang hangat, kecerdasan yang tinggi, kompetensi sosial dan penerimaan teman, serta keterlibatan dalam kegiatan keagamaan.

Risk dan protective factors lainnya apa lagi?  googling aja…. banyak … sesuai dengan konteksnya.

Nah, jumlah dan kualitas si RISK FACTOR dan si PROTECTIVE FACTOR pada anak inilah, yang akan menentukan daya tahan dan daya bangkit si anak saat menghadapi “ujian” kehidupannya, terutama jika ia ditakdirkan mengalami kondisi yang tidak baik. Sederhananya, kita sebagai orangtua harus berupaya sekuat tenaga untuk meminimalisir risk factor dan memaksimalkan protective factor. Karena kita gak pernah tau….ujian apa yang akan dihadapi anak kita.

Nah, upaya untuk mengajak ayah terlibat dalam pengasuhan anak, hendaklah diposisikan dalam kerangka pikir risk & protective factor ini. Artinya, jika kita bisa mengkondisikan suami untuk terlibat dalam pengasuhan anak kita, alhamdulillah ….. berarti kita telah memberikan tambahan satu “senjata perlindungan” buat anak kita. Sebaliknya, jika kita kebetulan diuji dengan suami yang keukeuh berpendapat “tugas suami adalah mencari nafkah, mengasuh anak adalah sepenuhnya tugas istri”, kebetulan suami kita galak, bikin anak-anak kita ketar-ketir kalau ada dalam radius satu meter dekatnya, suami kita sibuk sendiri dengan pengembangan diri atau hobinya, atau suami kita ditakdirkan mendahului kita wafat, atau kita bercerai dengan suami…. ya dont worry be happy.… masih banyak protective factor yang bisa kita upayakan berikan pada anak, di luar hubungan yang kuat antara anak kita sama ayahnya.

Dengan kerangka pikir ini, harusnya tak ada saling menyalahkan sih…Semoga tulisan ini cukup memberikan bekal kerangka pikir yang membuat kita memandang persoalan ayah ini menjadi lebih proporsional.

 

 

Working Mom : Berharga-kah anak kita?

harga Beberapa waktu yang lalu, beredar meme seperti di samping ini. Di jaman media sosial dan wa grup sekarang ini, dimana informasi beredar dalam hitungan detik, maka biasanya meme-meme seperti ini pun beredar dengan cepat. Jangan heran bila kita bisa menerima satu share-an yang sama, dari beragam grup yang kita ikuti, dalam hari yang sama, jam yang sama atau bahkan menit yang sama.

Terkait dengan meme di samping, ada dua hal yang ingin saya ungkapkan.

Yang pertama, sebenarnya jika saya mengetahui siapa penggagas pertama kali tulisan ini, saya ingin memberi masukan pada beliau untuk memberikan “konteks” pada tulisan ini. Tapi saya tidak tahu bagaimana menemukannya, mungkin terjemahan dari versi Inggris, karena saya menemukan versi Inggrisnya. Memang tidak jelas karena tanpa pencantuman sumber. Meskipun tidak eksplisit situasi apa yang digambarkan dalam tulisan tersebut, namun biasanya meme ini disebar untuk membahas mengenai ibu bekerja. Meskipun sebenarnya, bisa jadi “menitipkan anak pada pembantu” terjadi karena situasi lain. Ibunya sekolah, misalnya. Atau sakit. Tanpa konteks dan sering dibahas dalam kaitannya dengan ibu bekerja, maka tulisan ini potensial melukai perasaan ibu-ibu yang tidak punya pilihan lain selain menitipkan anak-anaknya pada pembantu. Ibu-ibu yang single parent, misalnya….yang Allah uji dengan perceraian atau kematian suaminya. Yang harus berjuang mencari nafkah untuk diri dan anak-anaknya. Atau ibu-ibu yang suaminya penghasilannya terbatas dibandingkan kebutuhannya, sehingga terpaksa harus ikut mencari nafkah. Teman saya seorang ibu single parent yang ditinggal wafat suaminya dan terpaksa harus menitipkan tiga anaknya setiap hari pada pembantu, bertanya kepada saya bagaimana ia harus menanggapi tulisan ini, yang tersebar di wa grup yang ia ikuti dan diaminkan oleh hampir seluruh anggota wa grupnya. Sebelum menjawab pertanyaannya, kami berpelukan dulu, saya memeluknya yang menangis sedih karena terluka oleh tulisan itu.

Yang kedua, saya mencoba memahami isu sentral yang ingin diusung oleh tulisan ini. Bahwa anak itu berharga. Jauh lebih berharga dibandingkan uang dan perhiasan. Kalau uang dan perhiasan saja tidak berani kita titipakan pada orang yang tidak kita percaya, apalagi anak. Tampaknya tulisan ini bermaksud mengingatkan para orangtua bahwa jika kita akan menitipkan anak, titipkanlah pada orang yang benar-benar kita percaya. Itu interpretasi a. I agree. One hundred percent.

Interpretasi b adalah, tersirat bahwa tulisan ini ingin menyampaikan pesan bahwa ibu-ibu yang menitipkan anak-(anak)nya pada pembantu, berarti  si ibu menganggap anaknya tak berharga. Dan anaknya merasa ia tak cukup berharga sehingga “dititipkan pada pembantu”. Dua interpretasi itu yang saya tangkap dipersepsi oleh kelompok-kelompok yang aktif menyebarkan tulisan ini.

Poin 2b inilah yang akan saya ulas dalam tulisan ini. Buat saya sebagai ibu bekerja, poin 2b ini memang potensial terjadi. Bahwa anak kita merasa dia tak cukup berharga sehingga ibunya lebih memilih pekerjaan yang “lebih berharga” dibandingkan dirinya, memang mungkin terjadi. Potensial terjadi, dan sangat bisa terjadi pada kita. Padahal, mungkin berharga atau tidak berharganya anak dibanding pekerjaan, bukanlah issue utama pilihan ibu bekerja. Tidak sesederhana itu. Ada beragam isu lain. Maka, saya ingin memfokuskan pikiran saya untuk memikirkan, bagaimana caranya agar para ibu bekerja seperti saya, setelah “menggugat niat” bekerja dan menemukan jawaban bahwa pekerjaannya halal, tidak potensial menimbulkan fitnah dan diridhoi suami, bisa mengkondisikan agar anak-anaknya tidak merasa bahwa mereka “kurang berharga” dibanding pekerjaan ibunya.

Yang terpikir oleh saya, pendekatannya bisa dua cara. Pertama,  pendekatan kognitif. Tujuannya membuat anak memahami bahwa pilihan ibunya bekerja bukan soal bahwa ia kurang berharga. Kedua, pendekatan perilaku. Tujuannya membuat anak meyakini bahwa pemahamannya bahwa ia tidak kurang berharga di mata ibunya adalah benar.

(1) Pendekatan kognitif. Tujuannya membuat anak MEMAHAMI bahwa pilihan ibunya bekerja bukan soal bahwa ia kurang berharga.Cara ini bisa dilakukan dengan “memperluas cakrawala pemikiran” anak. Bahwa isu menitipkan anak atau bukan, itu bukan soal berharga atau tidak berharga. Memahamkan pada anak bahwa ia berharga, adalah perlu. Tapi memberikan pemahaman bahwa ada banyak nilai berharga lain di luar diri anak, menurut saya tak kalah penting.

Saya kenal seorang anak, yang selalu dititipkan pada pembantu selama ibunya pergi. Apakah ia merasa tidak berharga? tidak. Karena ibunya selalu menceritakan apa yang dilakukannya ketika ia pergi. Ibunya terapis. Ibunya selalu menceritakan, kondisi anak-anak yang ia bantu, betapa bahagianya ia saat mendapatkan kliennya mendapat kemajuan, sampai anaknya hafal nama-nama klien ibunya dan malah bertanya, bagaimana perkembangan si ini… si itu udah bisa bicara apa saja, si ini sudah bisa duduk diam berapa lama…. dan anak ini, bangga sekali pada pekerjaan ibunya. Ia merasa berharga, dan ia merasa profesi ibunya membantu anak-anak berkebutuhan khusus juga berharga.

Saya pribadi mulai mencontek cara ini. Setiap hari sepulang beraktivitas, saat menjelang tidur dan ngelonin si 6 tahun dan si 3 tahun, saya ceritakan tentang tingkah polah mahasiswa-mahasiswa saya di kampus, apa yang saya ajarkan dan bagaimana caranya, tentang klien-kilen yang saya temui pas hari praktek….minimal mereka tahu apa yang dikerjakan ibunya, nilai apa yang dikejar ibunya, dan semoga ia memahami bahwa ibunya menitipkannya pada teteh, bukalah karena mereka tidak berharga. Yang saya rasakan, dengan menceritakan aktivitas keseharian kita di luar rumah, kit ajuga jadi mengevaluasi, seberapa berharag sebenarnya aktivitas kita tersebut.

Meskipun sederhana, cara ini tampaknya cukup bermakna, mengingat saya menemukan beberapa remaja yang tidak tahu apa pekerjaan ayahnya, apa pekerjaan ibunya. Anak-anak seperti ini yang mungkin kemudian mengembangkan persepsi bahwa ia “ditinggalkan” oleh ibunya, bahwa ia tak cukup berharga.

(2) Kedua, pendekatan perilaku. Tujuannya membuat anak MEYAKINI  bahwa ia tidak kurang berharga di mata ibunya. Langkah pertama harus digenapkan dengan langkah kedua. Pembuktian. Harus ada bukti bahwa ibunya memang merasa si anak berharga. Caranya? menurut saya melalui exception. Situasi pengecualian. Boleh lah, ibunya tiap hari menitipkannya pada pembantu. Tapi ada situasi-situasi spesial, dimana ibunya akan mencancel apapun untuknya. Pembagian raport, pentas seni, saat anak sakit, perlombaan yang diikuti anak. Itu adalah momen-momen yang buat anak, biasanya berharga.

Seorang teman saya yang meneliti self esteem pada anak usia sekolah menemukan bahwa “harga diri” anak salah satunya ditentukan oleh kehadiran orangtua terutama ibu pada acara-acara sekolah. Exception ini juga bisa menjadi indikator bagi kita untuk menghayati, benarkah memang anak kita berharga buat kita? kalau setiap kali momen istimewa anak kita, kita tak bisa hadir karena tersandera pekerjaan ..maka mungkin saatnya mengevaluasi perasaan kita pada anak, mengevaluasi kembali apa yang menjadi prioritas hidup kita.

Untuk poin kedua ini, saya mendapat banyak role model dari senior saya, para ibu-ibu high achiever yang akan mengorbankan kesempatan sebesar apapun saat berbenturan dengan momen istimewa anaknya. Mereka memberi contoh bagaimana memprioritaskan keluarga dibanding prestasi, bukan menjadikan keluarga sebagai alasan untuk tidak berprestasi.

Well…semoga saya bisa menyampaikan dengan tepat “pesan” yang ingin saya sampaikan. Mengoptimalkan peran ibu, apapun pilihan aktivitasnya. Itu misi saya. Saya yakin dan percaya, setiap ibu-apapun pilihannya dan dimanapun ia beraktivitas, masing-masing memiliki potongan puzzle kebaikan bagi keluarga dan lingkungannya. Daripada saling meniadakan potongan puzzle itu, maka sebaiknya kita mulai merapatkan barisan. Bukan saling membandingkan siapa yang lebih baik, siapa yang lebih hebat, siapa yang lebih “berkorban”. Melainkan saling mengingatkan, saling menolong dan saling melengkapi, dengan puzzle kebaikan yang bisa kita lakukan  masing-masing.

Semangat !!!