Beberapa waktu yang lalu, beredar meme seperti di samping ini. Di jaman media sosial dan wa grup sekarang ini, dimana informasi beredar dalam hitungan detik, maka biasanya meme-meme seperti ini pun beredar dengan cepat. Jangan heran bila kita bisa menerima satu share-an yang sama, dari beragam grup yang kita ikuti, dalam hari yang sama, jam yang sama atau bahkan menit yang sama.
Terkait dengan meme di samping, ada dua hal yang ingin saya ungkapkan.
Yang pertama, sebenarnya jika saya mengetahui siapa penggagas pertama kali tulisan ini, saya ingin memberi masukan pada beliau untuk memberikan “konteks” pada tulisan ini. Tapi saya tidak tahu bagaimana menemukannya, mungkin terjemahan dari versi Inggris, karena saya menemukan versi Inggrisnya. Memang tidak jelas karena tanpa pencantuman sumber. Meskipun tidak eksplisit situasi apa yang digambarkan dalam tulisan tersebut, namun biasanya meme ini disebar untuk membahas mengenai ibu bekerja. Meskipun sebenarnya, bisa jadi “menitipkan anak pada pembantu” terjadi karena situasi lain. Ibunya sekolah, misalnya. Atau sakit. Tanpa konteks dan sering dibahas dalam kaitannya dengan ibu bekerja, maka tulisan ini potensial melukai perasaan ibu-ibu yang tidak punya pilihan lain selain menitipkan anak-anaknya pada pembantu. Ibu-ibu yang single parent, misalnya….yang Allah uji dengan perceraian atau kematian suaminya. Yang harus berjuang mencari nafkah untuk diri dan anak-anaknya. Atau ibu-ibu yang suaminya penghasilannya terbatas dibandingkan kebutuhannya, sehingga terpaksa harus ikut mencari nafkah. Teman saya seorang ibu single parent yang ditinggal wafat suaminya dan terpaksa harus menitipkan tiga anaknya setiap hari pada pembantu, bertanya kepada saya bagaimana ia harus menanggapi tulisan ini, yang tersebar di wa grup yang ia ikuti dan diaminkan oleh hampir seluruh anggota wa grupnya. Sebelum menjawab pertanyaannya, kami berpelukan dulu, saya memeluknya yang menangis sedih karena terluka oleh tulisan itu.
Yang kedua, saya mencoba memahami isu sentral yang ingin diusung oleh tulisan ini. Bahwa anak itu berharga. Jauh lebih berharga dibandingkan uang dan perhiasan. Kalau uang dan perhiasan saja tidak berani kita titipakan pada orang yang tidak kita percaya, apalagi anak. Tampaknya tulisan ini bermaksud mengingatkan para orangtua bahwa jika kita akan menitipkan anak, titipkanlah pada orang yang benar-benar kita percaya. Itu interpretasi a. I agree. One hundred percent.
Interpretasi b adalah, tersirat bahwa tulisan ini ingin menyampaikan pesan bahwa ibu-ibu yang menitipkan anak-(anak)nya pada pembantu, berarti si ibu menganggap anaknya tak berharga. Dan anaknya merasa ia tak cukup berharga sehingga “dititipkan pada pembantu”. Dua interpretasi itu yang saya tangkap dipersepsi oleh kelompok-kelompok yang aktif menyebarkan tulisan ini.
Poin 2b inilah yang akan saya ulas dalam tulisan ini. Buat saya sebagai ibu bekerja, poin 2b ini memang potensial terjadi. Bahwa anak kita merasa dia tak cukup berharga sehingga ibunya lebih memilih pekerjaan yang “lebih berharga” dibandingkan dirinya, memang mungkin terjadi. Potensial terjadi, dan sangat bisa terjadi pada kita. Padahal, mungkin berharga atau tidak berharganya anak dibanding pekerjaan, bukanlah issue utama pilihan ibu bekerja. Tidak sesederhana itu. Ada beragam isu lain. Maka, saya ingin memfokuskan pikiran saya untuk memikirkan, bagaimana caranya agar para ibu bekerja seperti saya, setelah “menggugat niat” bekerja dan menemukan jawaban bahwa pekerjaannya halal, tidak potensial menimbulkan fitnah dan diridhoi suami, bisa mengkondisikan agar anak-anaknya tidak merasa bahwa mereka “kurang berharga” dibanding pekerjaan ibunya.
Yang terpikir oleh saya, pendekatannya bisa dua cara. Pertama, pendekatan kognitif. Tujuannya membuat anak memahami bahwa pilihan ibunya bekerja bukan soal bahwa ia kurang berharga. Kedua, pendekatan perilaku. Tujuannya membuat anak meyakini bahwa pemahamannya bahwa ia tidak kurang berharga di mata ibunya adalah benar.
(1) Pendekatan kognitif. Tujuannya membuat anak MEMAHAMI bahwa pilihan ibunya bekerja bukan soal bahwa ia kurang berharga.Cara ini bisa dilakukan dengan “memperluas cakrawala pemikiran” anak. Bahwa isu menitipkan anak atau bukan, itu bukan soal berharga atau tidak berharga. Memahamkan pada anak bahwa ia berharga, adalah perlu. Tapi memberikan pemahaman bahwa ada banyak nilai berharga lain di luar diri anak, menurut saya tak kalah penting.
Saya kenal seorang anak, yang selalu dititipkan pada pembantu selama ibunya pergi. Apakah ia merasa tidak berharga? tidak. Karena ibunya selalu menceritakan apa yang dilakukannya ketika ia pergi. Ibunya terapis. Ibunya selalu menceritakan, kondisi anak-anak yang ia bantu, betapa bahagianya ia saat mendapatkan kliennya mendapat kemajuan, sampai anaknya hafal nama-nama klien ibunya dan malah bertanya, bagaimana perkembangan si ini… si itu udah bisa bicara apa saja, si ini sudah bisa duduk diam berapa lama…. dan anak ini, bangga sekali pada pekerjaan ibunya. Ia merasa berharga, dan ia merasa profesi ibunya membantu anak-anak berkebutuhan khusus juga berharga.
Saya pribadi mulai mencontek cara ini. Setiap hari sepulang beraktivitas, saat menjelang tidur dan ngelonin si 6 tahun dan si 3 tahun, saya ceritakan tentang tingkah polah mahasiswa-mahasiswa saya di kampus, apa yang saya ajarkan dan bagaimana caranya, tentang klien-kilen yang saya temui pas hari praktek….minimal mereka tahu apa yang dikerjakan ibunya, nilai apa yang dikejar ibunya, dan semoga ia memahami bahwa ibunya menitipkannya pada teteh, bukalah karena mereka tidak berharga. Yang saya rasakan, dengan menceritakan aktivitas keseharian kita di luar rumah, kit ajuga jadi mengevaluasi, seberapa berharag sebenarnya aktivitas kita tersebut.
Meskipun sederhana, cara ini tampaknya cukup bermakna, mengingat saya menemukan beberapa remaja yang tidak tahu apa pekerjaan ayahnya, apa pekerjaan ibunya. Anak-anak seperti ini yang mungkin kemudian mengembangkan persepsi bahwa ia “ditinggalkan” oleh ibunya, bahwa ia tak cukup berharga.
(2) Kedua, pendekatan perilaku. Tujuannya membuat anak MEYAKINI bahwa ia tidak kurang berharga di mata ibunya. Langkah pertama harus digenapkan dengan langkah kedua. Pembuktian. Harus ada bukti bahwa ibunya memang merasa si anak berharga. Caranya? menurut saya melalui exception. Situasi pengecualian. Boleh lah, ibunya tiap hari menitipkannya pada pembantu. Tapi ada situasi-situasi spesial, dimana ibunya akan mencancel apapun untuknya. Pembagian raport, pentas seni, saat anak sakit, perlombaan yang diikuti anak. Itu adalah momen-momen yang buat anak, biasanya berharga.
Seorang teman saya yang meneliti self esteem pada anak usia sekolah menemukan bahwa “harga diri” anak salah satunya ditentukan oleh kehadiran orangtua terutama ibu pada acara-acara sekolah. Exception ini juga bisa menjadi indikator bagi kita untuk menghayati, benarkah memang anak kita berharga buat kita? kalau setiap kali momen istimewa anak kita, kita tak bisa hadir karena tersandera pekerjaan ..maka mungkin saatnya mengevaluasi perasaan kita pada anak, mengevaluasi kembali apa yang menjadi prioritas hidup kita.
Untuk poin kedua ini, saya mendapat banyak role model dari senior saya, para ibu-ibu high achiever yang akan mengorbankan kesempatan sebesar apapun saat berbenturan dengan momen istimewa anaknya. Mereka memberi contoh bagaimana memprioritaskan keluarga dibanding prestasi, bukan menjadikan keluarga sebagai alasan untuk tidak berprestasi.
Well…semoga saya bisa menyampaikan dengan tepat “pesan” yang ingin saya sampaikan. Mengoptimalkan peran ibu, apapun pilihan aktivitasnya. Itu misi saya. Saya yakin dan percaya, setiap ibu-apapun pilihannya dan dimanapun ia beraktivitas, masing-masing memiliki potongan puzzle kebaikan bagi keluarga dan lingkungannya. Daripada saling meniadakan potongan puzzle itu, maka sebaiknya kita mulai merapatkan barisan. Bukan saling membandingkan siapa yang lebih baik, siapa yang lebih hebat, siapa yang lebih “berkorban”. Melainkan saling mengingatkan, saling menolong dan saling melengkapi, dengan puzzle kebaikan yang bisa kita lakukan masing-masing.
Semangat !!!
Jun 11, 2015 @ 16:44:48
Aaak, makasiii mbaaak… Makasi pencerahannya 🙂