Dear Para Ayah, Jangan Under-estimate dirimu …..

Tulisan ini sebenarnya untuk para ayah, meskipun saya pesimis ada ayah yang baca tulisan ini hehe… Yowis lah, gak apa-apa dibaca para ibu juga. Nanti isi tulisan ini tolong bisikin ke suami masing-masing ya…..hehe…

Penelitian terhadap peran ayah pada tumbuh kembang anak dimulai sejak jaman Perang Dunia ke II dulu. Ketika para ahli mempertanyakan apa dampak ketiadaan ayah karena pergi ke medan peran, bagi anak. Dari penelitian-penelitian tersebut, muncullah terminologi “paternal deprivation”. Paternal deprivation is a term that can be used to include various inadequacies in a child’s experience with his father” . Pendekatan penelitian yang menekankan “dampak negatif” pada anak yang diakibatkan oleh ketiadaan ayah disebut  pendekatan deficit model.

Jadi, kalau sekarang ada yang membahas pentingnya peran ayah pada tumbuh kembang anak dengan mengungkapkan kalau ayah tidak ada atau tidak terlibat pada pengasuhan anak maka anaknya akan ini-itu (yang negatif), akan tidak berkembang ininya itunya ….. maka berarti masih memakai pendekatan yang sangat jadul, yang sudah tidak dipakai lagi di dunia akademis. Secara filosofis, deficit model adalah pendekatan yang “pesimistis”, yang sebaiknya memang tidak kita gunakan lagi.

Pendekatan yang sekarang digunakan untuk meneliti mengenai peran ayah pada tumbuh kembang anak adalah pendekatan dengan sudut pandang yang positif. Bagaimana dampak positif keberadaan ayah atau keterlibatan ayah dalam tumbuh kembang anak, pada tumbuh kembang anak.

Pause dulu sampai sini. Saat saya membaca paparan tersebut di buku Conceptualizing and Measuring Father Involvement, yang merupakan kumpulan tulisan para peneliti di bidang ini (2004), saya pun Pause. Apa bedanya dua pendekatan diatas? kayaknya sama aja. Bentar…bentar …ini mah harus dihayati.

Menurut penghayatan saya, ini bedanya :

Pendekatan terdahulu, deficit model yang berfokus pada dampak negatif yang akan dialami anak jika ayah tidak terlibat pengasuhan anak; secara implisit mengatakan bahwa, anak yang ayahnya tidak terlibat dalam pengasuhannya akan kehilangan dan akan kurang sesuatu dalam tumbuh kembangnya. Output dalam diri anak, negatif.

Pendekatan selanjutnya, yang berfokus pada dampak positif yang akan dialami anak jika ayah terlibat pengasuhan anak; secara implisit mengatakan bahwa anak yang ayahnya tidak terlibat, akan baik-baik saja, tidak kurang suatu apapun. Tapi jika ayahnya terlibat, itu akan menambah kualitas pada aspek-aspek tertentu pada diri anak. Output pada diri anak, positif.

Mari kita lanjutkan ….

Maka, sebenarnya kajian tentang peran ayah dalam tumbuh kembang anak  bukanlah masalah tugasku-tugasmu dalam hubungan suami istri. Bukan masalah “gantian” pegang anak-anak. Bukan. Sama sekali bukan. Da ibu-ibu mah, saya yakin…. bisa, sanggup ngurus anak 24 jam 7 hari dalam seminggu sendirian.

Tapi masalahnya adalah, ada kualitas-kualitas tertentu dalam diri para ayah, baik dengan fitrah dia sebagai laki-laki maupun sebagai seorang individu dengan kelebihan-kelebihannya, yang kalau itu “ditransfer” pada anak melalui interaksi dengan anak, akan menambah kualitas diri seorang anak, akan menambah “jaring pengaman psikologis” jika suatu saat nanti anak mengalami hal-hal yang buruk. Ah, sayang banget kalau kesempatan itu ada, dan ayah tak memanfaatkannya. Sayang banget kalau anak merasa ayahnya ada atau engga ada, sama aja. Menurut saya sih, agak kurang mensyukuri nikmat Allah gitu….

Betul, bahwa ayah gak bisa lembut, gak bisa sabar kayak ibu. Tapi apakah itu berarti ayah tidak punya apa-apa buat diajarkan ke anak? jangan under-estimate diri sendiri dong para ayah….. Itu …kehebatan presentasi sana sini, keberanian ambil resiko, kemampuan membuat keputusan, mengelola banyak orang dan banyak projek, teguh hati dan tak mudah menyerah saat menghadapi persaingan, kreativitas yang spontan…..itu kualitas-kualitas yang tak dibutuhkan anak-anak kita gitu?

Maka, kalau kita sepakat bahwa ayah juga punya kualitas-kualitas yang akan menambah kualitas anak-anak kita, pembicaraan selanjutnya adalah, bagaimana cara ayah terlibat dalam pengasuhan anak.

Sayangnya, penelitian mengenai peran ayah dalam tumbuh kembang anak banyak dilakukan di negara Barat. Sedikit banyak, hal ini berdampak pada gambaran prototype ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak, versi sana. Digambarkan ayah yang hangat, interaktif, bicara tentang konten-konten perasaan, nyanyi bareng, curhat…..gambaran-gambaran yang mungkin kurang pas dengan budaya kita, dimana laki-laki masih dilihat sebagai gambaran kualitas maskulin. Padahal, bentuk keterlibatan ayah tak harus seperti yang digambarkan di barat itu loh…. Ngajak ke mesjid anak-anaknya…sepanjang perjalanan pergi dan pulang ke masjid ngobrol….anak cape digendong… itu bukan interaksi yang dua arah dan berkualitas gitu? Main bola bareng anak laki-laki, tebak-tebakan lucu sama anak perempuan, ah banyak kok…..be your self, with your own style aja ayah….

Tahun lalu, dalam satu forum saya bertemu dengan para ayah, dan dari situ kita berdiskusi. Ayah-ayah muda jaman sekarang, rata-rata sudah ngeuh loh, bahwa ia bisa memberikan sesuatu pada anak-anaknya. Tapi masalahnya adalah ….waktunya !!!! kapan waktunya????? mana banyak commuter father lagi sekarang, ayah sabtu minggu gituh…kayak ayahnya anak-anak sayah….

Nah, menurut penerawanganfather saya sih…..dua hari wiken, sabtu-minggu, itu cukup loh, buat keterlibatan ayah dalam tumbuh kembang anak. Dengan catatan…nah, ini catatannya…..ayah “mengerem” diri dari aktifitas “untuk diri sendiri”. Ya, kalau sekali-kali ada yang penting dan urgent sih gapapa. Tapi kalau setiap sabtu atau setiap hari minggu, atau sabtu minggu si ayah punya jadwal full untuk dirinya sendiri…entah itu pengembangan diri atau hobi atau apapun, ….ya jadi memang gak ada waktu sih buat sama anak.

Tapi kan ayah butuh refreshing….setelah 5 hari full kerja…ya, itu mah balik lagi ke pilihan masing-masing sih…tapi dengan pertimbangan di atas, dan dengan pengalaman bertemu anak-anak dengan beragam tipe orangtua dan beragam tipe ayah, saya yakin bahwa anak-anak memang butuh ayahnya, dan ayahnya memang punya kualitas yang bisa menguatkan anak. Dengan latar belakang itulah, kalau saya sendiri mengajak si ayah-nya anak-anak  “berkomitmen bersama” untuk “mengerem” sementara kebutuhan pengembangan dirinya di wiken. Sementara aja kok…pengalaman si sulung yang udah remaja….mulai kelas 5 aja…anak-anak tuh udah gak perlu interaksi intensif lagi kok…jadi sabar dulu nunggu anak-anak “gak butuh” orangtuanya. Insya allah, meskipun secara kasat mata mungkin banyak kesempatan yang hilang yang tak diambil saat wiken, keberkahan keluarga mah tak akan tergantikan oleh apapun…

Setahun belakangan ini saya banyak bertemu dengan orangtua yang usia nya cukup lanjut, usia dimana anak-anaknya sudah remaja…sudah  dewasa. Dan saya sering tidak tahan saat menyaksikan orangtua, terutama ayah, menangis karena menyesal dan sedih, begitu ingin mengulang waktu …. menebus saat-saat ia semangat bekerja dan “melupakan” anak-anaknya, yang kini melupakan dirinya.

Dari pengalaman itu, saya jadi menghayati bahwa  pencapaian diri, seharusnya merupakan pencapaian keluarga. Seorang ayah yang hebat, yang dikagumi banyak orang, dijempolin puluhan-ratusan orang di medsos karena prestasinya, diteladani karena kerja kerasnya,  ternyata merasa menjadi tak berarti apa-apa ketika anak-anaknya, tak merasakan ayahnya hebat. Tak kagum sama sekali pada ayahnya, masa bodoh dengan prestasi ayahnya, tak peduli pada kerja keras ayahnya, karena si anak sama sekali tak “terpapar” kualitas-kualitas itu.

Buat ayah-ayah yang anaknya masih kecil, hayu…..jangan sampai menyesal nanti….Waktu tak dapat diulang lagi…